Rabu, 11 Juni 2014

[Flash True Story] Bangunkan Imajinasimu

Posted by Menukil Aksara | 8:04:00 PM Categories:


 
foto dari sini
         Awal semester baru yang sibuk, kantor tata usaha jurusan selalu dipadati para mahasiswa. Mereka hilir mudik menenteng lembar Kartu Rencana Studi (KRS). Janji dengan dosen Pembimbing Akademik (PA) pun dibuat. Aku menatap lembar KRS milikku. Semester ini tercantum beberapa Mata Kuliah (MK) yang cukup berat.
            “Sudah selesai ya mengurus KRS semester ini?” sapa seorang teman.
            “Alhamdulillah sudah.”
            “Semester ini MK apa saja yang kamu ambil?”
            Aku memperlihatkan lembar KRS milikku. Beberapa MK yang kami ambil sama. Nasib sebagai mahasiswi pindahan adalah mengambil MK dan kelas yang tidak persis sama dengan rekan seangkatan. Terkadang aku sekelas dengan teman seangkatan, adakalanya juga justru sekelas dengan angkatan di atasku.
           
            Hari ini adalah hari pertama kuliah di semester baru. Salah satu mata kuliah hari ini adalah English Literature. Dosen yang mengajar bernama Pak Teguh.
            “Kalian harus memiliki diktat kuliah seperti yang saya bawa ini,” ujar Pak teguh seraya menunjukkan sebuah buku.
            “Dalam mata kuliah ini kita akan mempelajari dasar-dasar sastra Inggris. Mengapa hanya dasar? Karena kalian di sini bukanlah mengambil Jurusan Sastra Inggris.”
            Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris memang dititikberatkan untuk mempelajari bahasa Inggris dari sisi metode pembelajarannya.
            “Di pertengahan pembelajaran nanti, kalian akan diwajibkan mengumpulkan sebuah naskah novel pendek dengan tema yang akan saya tentukan.”
            Glek. Ada tugas sastra yang sesungguhnya di mata kuliah ini. Aku mengkhawatirkan kemampuanku menulis cerita.


            “Wah, kira-kira apa tema apa yang akan diangkat ya?” ujar seorang teman gelisah.
            Agaknya bukan aku saja yang menilai tugas akhir kami nanti sulit.
            “Semoga saja tidak terlampau sulit. Oya, mengenai buku diktat wajib, kita kolektif saja mengcopy, buku aslinya jelas susah dicari, mahal juga karena berbahasa Inggris.”
            Beginilah nasib mahasiswa menengah ke bawah seperti kami. Meski sudah jelas tertulis dilarang memperbanyak buku asli tanpa ijin, hal itu terpaksa kami lakukan. Sepengetahuanku, ini juga berlaku di universitas lain.

            “Hari ini kita akan membahas sebuah puisi klasik. Kalian saya wajibkan menghapalkan puisi ini. Nantinya akan saya panggil satu persatu untuk tampil membawakan puisi ini di depan kelas.”
            Agaknya dosen kami yang satu ini senang dengan gaya perkuliahan santai tapi serius. Beliau memang membahas dan menjelaskan teori-teori sastra, namun kami lebih banyak didorong untuk langsung mempraktekkan.

            “Sudah siap dengan hapalan puisinya, Vit?”
            “Sudah, insya Allah. Puisinya bagus dan rimanya indah, sebenarnya cukup mudah dihapal.”
            Maka jadilah hari itu kami dipanggil satu demi satu ke depan kelas. Aku jadi teringat masa-masa sekolah dulu. Perkuliahan ini cukup menyenangkan.
            “Sekarang tiba saatnya saya umumkan tema yang harus kalian angkat dalam penulisan novel pendek nanti.”
            Kami berdebar menanti penjelasan beliau selanjutnya.
            “Novel pendek ini nantinya tidak harus berbahasa Inggris, meski ini adalah mata kuliah sastra Inggris. Panjang tulisan kalian nantinya minimal 30 halaman.”
            Terdengar helaan nafas dari mahasiswa. Panjang tulisan yang cukup menggelisahkan.
            “Untuk tema, saya ingin mengangkat kisah nyata seorang wanita yang tega membunuh dan memakan bangkai anaknya sendiri. Sebut saja dia Sumanto versi perempuan.”
            Kami makin gelisah. Sebuah tema yang tak lazim. Sesuai sekali dengan karakter dosen kami yang juga terbilang unik.
            “Kumpulkan dalam bentuk print out di akhir masa perkuliahan, pada kelas terakhir.”
            Masih cukup lama, pikirku. Aku mulai berpikir keras mengenai pembentukan karakter tokoh dalam ceritaku nanti.
            “Kalian bebas menciptakan alur, setting, tokoh, dan ending cerita. Bebaskan imajinasi kalian. Praktekkan teori unsur-unsur karya sastra yang telah kita pelajari.”
            Seusai perkuliahan, aku dan Amy berdiskusi tentang tugas tadi.
            “Berat juga temanya. Aku belum bisa membayangkan akan dibawa ke mana arah ceritaku nanti.”
            “Iya. Waktunya memang masih cukup lama, tapi kita harus mencicil dari sekarang.”

            Di pertemuan selanjutnya, Pak Teguh membuat pengumuman baru seputar teknis penilaian tugasnya.
            “Kalian wajib menunjukkan draft tulisan kalian. Draft ini sebagai bukti kalian telah berproses dalam menulis. Ini juga akan menyumbangkan nilai pada tugas akhir kalian nanti.”
            Kami mendesah. Itu artinya kami tidak mungkin menerapkan sistem kebut semalam, menyelesaikan tugas pada detik-detik akhir pengumpulan.

            Hari ini aku kalut. Ideku belum juga sempurna. Aku masih terombang-ambing dengan keraguan akan jalan cerita yang akan kutulis. Akibatnya, draft milikku tak terkumpul pada saatnya. Aku sangat khawatir mengenai nilai yang akan kuperoleh dan sanksi yang diberikan.
            Berhari-hari aku mengutuki kreativitasku yang mandeg. Aku harus segera menulis. Akhirnya kuputuskan untuk menciptakan dua tokoh aku dalam cerita.
            “Aduh, bagaimana ini? Tulisanku masih belum memenuhi target jumlah halaman,” seruku panik di depan komputer.
            ‘Vit, sedang mengetik tugas Pak Teguh ya?” sapa seorang teman.
            “Iya. Tulisanmu sudah selesai?”
            “Sudah. Hari ini batas waktu terakhir pengumpulan tugas kan?”
            Aku semakin gelisah. Kesal aku harus bertemu teman di rental komputer ini. Agaknya aku harus lembur mengetik. Sore ini tugasku harus diserahkan apapun yang terjadi.
            Akhirnya, dengan diburu-buru waktu aku berhasil menyelesaikan tulisan. Naskah kuletakkan di loker bertuliskan Pak Teguh, di mana kami biasa meletakkan tugas untuk dosen tertentu. Tulisanku jauh dari sempurna, terutama dari sisi kerapihan dan aturan sastra.
            Pada saat ujian tertulis, kami terkaget-kaget oleh banyaknya soal dan semua berupa pilihan ganda. Materinya mutlak hapalan tentang sejarah kesusastraan Inggris.

            Di akhir semester, kami mendapatkan hasil nilai akhir kami. Aku cukup kecewa dengan nilai yang kuperoleh dari mata kuliah English Literature. Karena rasa ingin tahu, aku menelusuri aspek-aspek nilai dan kutemukan kesalahan dalam persentase kehadiranku di kelas.
            “Pak, maaf saya ingin mengonfirmasikan nilai saya.”
            “Ada apa?” jawab Pak Teguh dingin.
            “Di persentase kehadiran, dinyatakan kehadiran saya tidak seratus persen. Saya rasa ada kesalahan, Pak. Saya yakin saya tidak pernah absen dari kelas Bapak.”
            “Nilai itu sudah final,” ucap Pak Teguh lalu berlalu begitu saja.
            Betapa kecewanya aku saat itu. Aku merasa diperlakukan tidak adil. Aku bisa menerima jika nilai tugasku tidak sempurna, tapi absensiku tidak sesuai. Itu cukup mempengaruhi nilai akhir yang kuperoleh.
            Berhubung tidak ada lagi yang bisa kulakukan, aku akhirnya pasrah dan merelakan.

            Semester baru dimulai. Libur panjang telah usai. Semester ini, tak kusangka aku kembali bertemu mata kuliah yang dipegang oleh Pak Teguh. Dengan berusaha menyingkirkan ingatan akan pengalaman kurang menyenangkan semester lalu, aku kembali menginjakkan kaki di kelas beliau.
            “Kalian mungkin telah mengetahui makna drama. Drama-drama modern yang kalian tonton di televisi, merupakan bentuk drama modern.”
            Pak Teguh mengawali penjelasannya tentang mata kuliah English Drama.
            “Di perkuliahan ini kita akan banyak membahas tentang drama klasik berbahasa Inggris. Mungkin kalian telah sering mendengar nama William Shakespeare. Karya-karya klasiknya banyak yang menjadi rujukan satra hingga sekarang.”
            Kami serius menyimak penjelasan beliau.
            “Tugas akhir kalian di mata kuliah ini adalah menciptakan sebuah pertunjukan drama klasik, dari sebuah judul yang akan saya tentukan nanti.”
            Aku ternganga. Tugas berat lagi rupanya. Pak dosen satu ini memang gemar menantang kreativitas mahasiswanya.

            Selama masa mempersiapkan pertunjukan itu, kami diajak mengenal dan mendiskusikan lebih jauh tentang unsur-unsur sastra dalam drama klasik. Sesungguhnya materi ini masih mirip dengan mata kuliah English Literature.
“Amy, sudah siap untuk ujian tengah semester?”
“Sudah insya Allah. Biasanya soal esai tidak akan jauh dari materi di catatan kuliah.”
            Ujian berlangsung tenang. Di soal akhir, Pak Teguh meminta uraian lengkap kita tentang penokohan dalam sebuah judul drama yang pernah dibahas.
           
            Tanpa kuduga, saat pembagian hasil ujian, nilaiku adalah yang tertinggi. Tidak hanya itu, Pak Teguh juga memuji penjelasanku di soal terakhir dengan menyebutnya sebagai jawaban yang canggih. Aku tersipu sekaligus bangga namaku disebut di depan seluruh warga kelas.
            “Alhamdulillah. Mungkin inilah balasan atas keikhlasanku tempo hari,” pikirku.
            Aku masih teringat akan pengalaman protes atas nilaiku yang tak ditanggapi semester lalu. Aku tersenyum lebar seraya mengucap syukur berulangkali.

            Saat yang dinantikan tiba juga. Kami harus memutuskan akan sekelompok dengan siapa saja dalam pementasan drama nanti.
            “Vitri, kamu sekelompok denganku dan Yanti saja ya. Kita cari anggota kelompok yang lain nanti.”
            “Iya, boleh. Kita usahakan sekelompok dengan yang mudah diajak bekerja sama saja,” usulku pada Amy.
            Maka kesibukan kami pun dimulai. Kami harus membaca skenario naskah asli berbahasa Inggris dari drama ini. Drama ini berjudul MacBeth, sebuah drama klasik berlatar belakang kerajaan Inggris dan tragedi yang menimpa keluarga kerajaan.
           
            “Vit, nanti siang kita berkumpul lagi ya.”
            “Siap, Ketua!” balasku riang.
            Naskah asli telah kami ubah menjadi dialog-dialog berdiksi sederhana, sesuai gaya drama modern. Itu memang harus dilakukan, mengingat naskah aslinya berbahasa Inggris klasik yang kosa katanya cukup sulit dihapal dan dipahami.
            “Ulangi lagi, kurang bagus aktingnya!” seruku pada beberapa teman yang sedang berlatih adegan.
            Kami berlatih di ruang kelas kosong setiap ada kesempatan.
            “Mungkin perannya harus ditukar, Agaknya Yani kurang cocok berperan sebagai ratu.”
            “Iya, tidak masalah.”
            Anggota kelompok yang tidak imbang jumlahnya antara laki-laki dan perempuan mengakibatkan sebagian besar dari mahasiswi berperan sebagai tokoh laki-laki.
            “Besok kita berkumpul di rumah kost Yani. Kita harus memodifikasi musik yang akan menjadi latar drama nanti.”
            “Aku akan menyewa beberapa CD film kolosal. Kita bisa merekam musik dari beberapa film itu dan mengeditnya,” usulku.
            “Ya, ide yang bagus.”

            Beberapa hari menjelang pementasan, kami benar-benar harus bekerja keras. Rekaman musik siap, demikian pula kesiapan para anggota dalam beradu peran. Satu-satunya yang masih menjadi hambatan adalah kostum dan aksesoris pelengkapnya.
            “Besok terpaksa kita harus lembur untuk menyelesaikan perlengkapan pementasan. Kita bawa bahan dan perlengkapan sesuai tugas masing-masing. Kita berkumpul di rumah kost Ade.”
            “Wah, bagus tuh tamengnya. Oya, bagaimana jika para pemeran pria mengecat rambutnya menjadi pirang? Itu untuk menambah daya tarik dan keunikan kelompok kita.”
            Usul yang menggelikan namun cukup bagus. Akhirnya kami menyerahkan keputusan pada para anggota yang memang ingin mengecat rambut.

            Waktu pementasan tiba. Suasana auditorium kampus yang akan kami jadikan panggung pertunjukan ramai oleh mahasiswa-mahasiswi yang mengambil mata kuliah English Drama. Pertunjukan dan penilaian akan dilakukan satu hari penuh.
            “Siap kan teman-teman? Jangan gugup ya, anggap saja kita tidak ditonton siapapun. Berakting saja seperti saat latihan,” ujarku memberi semangat.
            “Oke, siap.”
            Maka giliran kami pun tiba. Satu persatu adegan kami lalui dengan lancar. Aku memperhatikan Pak Teguh dari balik layar. Beliau tampak menikmati pertunjukan drama kami. Kostum gamis muslimah plus kerudung hitam polos dan selendang dari kerudung lebar menjadi pembeda kami dengan kelompok lain.
            “Alhamdulillah, sukses kawan-kawan. Selamat ya, kita berhasil tampil dengan maksimal.”
            “Adegan pertarunganmu dengan Gilang tadi seru, Vit. Meski ada insiden tak terduga, improvisasi kalian keren,” puji Amy.
            Aku tertawa, teringat adegan patahnya pedang bambu yang kugenggam dan kujadikan senjata saat berduel dengan Gilang.
            “Ayo ke toilet. Kita harus menghapus lukisan kumis dari wajah kita sebelum pulang.”

            Keesokan harinya kelas ramai memperbincangkan pertunjukan kemarin.
            “Kudengar Pak Teguh berkomentar positif. Beliau bahkan memuji pementasan kemarin. Menurut beliau pentas drama kelompok kita layak tampil di TVRI.”
            Seketika itu juga kami tertawa senang. Kerja keras kami rupanya membuahkan hasil cemerlang. Di akhir semester, kami bahagia ketika mengetahui bahwa beberapa anggota kelompok kami mendapat nilai A, termasuk aku.
            Sebuah pengalaman yang tak terlupakan. Di semester berikutnya Pak Teguh tak lagi mengangkat tema drama klasik untuk tugas akhir. Adik kelas kami mementaskan drama modern dengan tema bebas. Pertunjukan kami memang tak ada duanya.




0 komentar:

Posting Komentar

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube