Minggu, 30 November 2014

[resensi] Ragam Sifat dan Perilaku Manusia dari Sudut Pandang Unik

Posted by Menukil Aksara | 10:25:00 PM Categories:


Judul Novel        : Black Beauty
Penulis               : Anna Sewell
Penerjemah       : Nadiah Abidin
Penyunting        : Azzura Dayana
Desain Sampul : Windu Tampan
Penata Letak    : Nurhasanah
Pemeriksa Aksara: Erdyant
Penerbit           : Orange Books
Cetakan           : Pertama, April 2010
Jumlah Halaman: 388 hlm; 20,5 cm
ISBN                : 978-602-8436-84-7

    Black Beauty bukanlah seekor kuda biasa. Ia berasal dari keturunan terbaik dan sejak kecil diajarkan ibunya untuk mengabdi kepada sang majikan. Sejak masih anak-anak hingga dewasa, ia berpindah tangan dari satu tuan ke tuan yang lain. Dari yang menyayangi hingga yang kerap bersikap kejam. Ia pun berganti-ganti tugas, mulai dari kuda tunggangan, kuda pedati, hingga kuda taksi.   

Sinopsis:

    Novel ini terbagi menjadi empat bagian, yang masing-masingnya menggambarkan fase kehidupan dari tokoh utama, Black Beauty. Kisah diawali dengan fase kelahiran hingga tumbuh kembang Black Beauty bersama sang ibu di peternakan seorang petani yang baik hati. Diceritakan pula nama awal yang diberikan sang tuan, yaitu Darkie karena kulitnya yang hitam legam indah. Nama Black Beauty justru didapat dari tuan keduanya Hakim Gordon yang tinggal di Birtwick. Di rumah kedua inilah Black Beauty mengalami fase kehidupan paling manis dan menyenangkan.

    Selaiknya sebuah fase hidup yang dipergilirkan, rumah kedua ternyata bukanlah rumah terakhir. Sebuah tragedi menyedihkan mengantarkan Black Beauty ke rumah dan tuan baru. Di sinilah petualangan hidup yang sesungguhnya dimulai. Dia harus merasakan pedihnya berpisah dengan kawan-kawan sepermainan, diperlakukan kasar dan kejam, mengalami berbagai luka fisik, dijual ke pasar, berganti-ganti tugas yang tidak melulu ringan, hingga berakhir di rumah seorang kenalan dari tuan terbaiknya.

Ulasan Novel:

    Bercerita dari sudut pandang ‘aku’ sebagai seekor kuda jantan yang sabar dan baik hati, Black Beauty ini tercatat sebagai salah satu novel klasik paling menawan. Anda pun tak perlu menyukai kuda atau mengerti seluk-beluk kehidupan kuda untuk menikmati kisah, karena pada sadarnya novel ini berkisah tentang aneka tabiat manusia . Bahkan sangat mungkin Anda akan jatuh hati dengan taburan filosofi kehidupan di dalamnya.

    Anna Sewell sendiri adalah novelis yang hanya menerbitkan satu novel sepanjang hayatnya. Latar belakang orangtuanya yang merupakan penulis anak sukses; kecelakaan yang mengharuskannya akrab dengan kereta kuda menjadi alasan kepiawaiannya menuturkan kisah indah ini.

    Dalam sebuah novel dengan kuda sebagai tokoh utama, wajar jika kita akan menjumpai banyak istilah asing terkait kehidupan kuda, terutama pada masa dahulu di mana kuda masih menjadi alat transportasi utama. Kita akan mengetahui apa itu breaking in, ban leher, crupper, breeching, chaise, bit, blinkers dari penjelasan sang penulis dengan bahasa yang mudah dipahami. Penjelasan tersebut jangan dibayangkan mirip gaya penjelasan buku nonfiksi, karena penulis melibatkan emosi, menggali bagaimana perasaan para kuda ketika ‘dipaksa’ mengalami proses breaking in, misalnya, atau betapa tidak nyamannya mengenakan berbagai perlengkapan itu. Perlakuan sang tuan akan sangat berdampak pada keberhasilan proses adaptasi tersebut. (halaman 15-28)

    Keberadaan tokoh kuda lain dan tokoh-tokoh manusia yang dideskripsikan oleh Black Beauty menjadi penyempurna keindahan kisah. Simak saja tokoh Ginger, seekor kuda betina yang punya kebiasaan buruk menggigit dan menendang orang. Usut punya usut, tabiatnya ini akibat pengasuhan buruk dari sang tuan di masa-masa belianya. Atau tokoh Jerry Barker, pria sopir taksi yang ramah, baik, ceria, dengan emosi yang terjaga, yang menjadi salah satu tuan Black Beauty yang mengesankan.

    Konflik pun tak lepas dari kisah apik ini. sebagian besar konflik tercipta dari interaksi Black Beauty dengan manusia di sekitarnya. Ada kalanya muncul tokoh-tokoh antagonis semacam Reuben Smith yang pemabuk, atau Filcher yang culas. Pengolahan konflik yang baik pun dijamin akan menghanyutkan emosi pembaca sepanjang cerita.

    Banyak pula kutipan filosofi hidup dan untaian kebajikan yang disampaikan penulis, baik dalam dialog (tokoh hewan maupun manusia) dan narasi. Diantaranya:

    “Apa kau tahu kenapa dunia kita buruk seperti sekarang ini?”
    “Tidak,” jawab temannya.
    “Biar kuberitahu. Itu karena orang-orang hanya memikirkan urusannya sendiri, tidak mau bersusah payah membela yang lemah atau menyadarkan orang-orang yang bertindak salah. Aku tak bisa melihat ada satu kejahatan terjadi tanpa turun tangan dan sejauh ini banyak pemilik kuda berterima kasih padaku karena telah memberitahu mereka tentang seberapa buruk kuda diperlakukan.”
(halaman 289)

    “Prinsipku adalah ketika kita melihat ada sesuatu yang salah atau tindak kejahatan yang dilakukan dan seharusnya bisa kita cegah, namun kita biarkan saja, itu berarti kita ikut bersalah atas kejadian itu.” (halaman 290)

     Saya acungkan jempol untuk novel lawas yang masih dibaca sampai sekarang ini. Kesederhanaan gaya penuturannya tidak mengurangi pesona, berkat pesan kuat yang disampaikan. Sudut pandang tokoh yang diambil pun tak biasa. Novel ini patut direkomendasikan sebagai bacaan segala umur.
   
   

[resensi] Apa yang Kau Tuai, Apa yang Kau Tanam

Posted by Menukil Aksara | 10:06:00 PM Categories:


Judul Novel    : Charlie and the Chocolate Company (Charlie dan Pabrik
                         Cokelat Ajaib)
Penulis           : Roald Dahl
Ilustrasi          : Quentin Blake
Alih Bahasa   : Ade Dina Sigarlaki
Penebit          : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan         : Juli, 2002
Jumlah Halaman: 200 hlm; 20 cm
ISBN              : 979-686-889-X

Sinopsis:

    Willy Wonka dikenal sebagai pria misterius yang memiliki sekaligus mengelola sebuah pabrik cokelat raksasa yang sangat termahsyur kelezatannya. Saking fenomenal cita rasa produk olahan pabrik Mr. Wonka, banyak pesaing yang berlaku curang dengan mengirim mata-mata. Mata-mata tersebut menyamar sebagai pekerja di pabrik Mr. Wonka demi mengulik resep rahasia produk-produk andalannya. Merasa tertipu dan dirugikan, Mr. Wonka yang marah memutuskan memberhentikan semua pekerja dan menutup pabrik.

    Ajaib, sesudah bertahun-tahun tak terlihat asap mengepul dari cerobong pabrik; suatu hari, orang-orang menemukan pabrik Mr. Wonka beroperasi kembali. Anehnya, mereka tak pernah menyaksikan pekerja yang keluar masuk. Hanya tersebar rumor bahwa manusia-manusia pendeklah yang kini mengambil alih tugas para pekerja terdahulu.

    Kegemparan melanda ketika suatu ketika Mr. Wonka mengumumkan peredaran lima tiket emas dalam poduk cokelat yang berisi undangan istimewa bagi lima anak yang beruntung untuk mengunjungi pabrik cokelatnya seharian. Seorang anak laki-laki miskin, Charlie Bucket, menjadi salah satu anak yang sangat mendambakan keberuntungan undangan tersebut. Namun, dia sadar bahwa kemiskinan orangtuanya jelas memperkecil kemungkinan. Hingga, keajaiban itu terjadi. Dari sebatang cokelat yang mampu dibelinya di hari-hari terakhir jelang undangan, Charlie berkesempatan menjadi salah satu tamu kehormatan Mr. Wonka. Petualangan menakjubkan pun dimulai.

Ulasan Novel:

    Novel anak ini termasuk novel klasik terkenal yang bahkan sudah difilmkan. Saya sendiri lebih dulu menonton versi film daripada membaca versi novel. Di sampul depan tertulis pula stempel berbunyi, “Pengarang Favorit Anak-Anak Sedunia”, yang notabene dialamatkan pada Roald Dahl. Membaca ini tentu banyak ekspetasi dari pembaca novel. Tapi setelah menuntaskan bacaan saya sekaligus memutar ulang kaset rekaman otak terkait filmnya, ada bagian-bagian yang menurut saya kurang patut menjadi gaya penceritaan sebuah novel anak.

    Lima anak di dalam Charlie and the Chocolate Company ini menurut saya menggambarkan karakter anak-anak pada umumnya, baik maupun buruk. Bahkan, empat diantara mereka menggambarkan sosok anak yang kerap mendapat cap “anak nakal”. Satu-satunya tokoh anak baik di dalam cerita—sekaligus menjadi tokoh utama—adalah seorang Charlie Bucket yang kesehariannya sangat miskin namun penurut, penyayang pada keluarga, dan penyabar.

    Augustus Gloop dideskripsikan bertubuh kelewat tambun dan rakus. Begini deskripsinya:
    “Dalam foto itu tampak seorang anak laki-laki yang begitu gemuk sehingga tampak seperti habis ditiup dengan pompa yang sangat kuat. Lipatan lemak mencuat dari seluruh tubuhnya, dan wajahnya terlihat seperti gumpalan adonan roti dengan dua mata kismis kecil yang tamak mengintip keluar.” (halaman 36)

    Veruca Salt, anak perempuan yang terlampau dimanja kedua orangtuanya. Dikatakan bahwa ayah Veruca yang seorang pengusaha rela memborong semua cokelat Wonka yang bisa didapatnya, mengangkut dengan truk, lantas memerintahkan para pekerja pabriknya untuk mengupas bungkus satu per satu sampai ditemukan satu tiket emas (halaman 40-41).

    Violet Beauregarde di sisi lain, merupakan sosok anak perempuan yang terobsesi pada permen karet sampai-sampai mengunyahnya sepanjang hari. Anak laki-laki terakhir bernama Mike Teavee, seorang pecandu televisi. Tidak dijelaskan secara gamblang mengapa anak ini bisa mendapat tiket emas. Kemungkinan hanya kebetulan di tengah keasyikannya menatap layar kaca.

    Secara keseluruhan, Roald Dahl di sini mengutamakan sisi-sisi kreatifnya dalam menciptakan tokoh Willy Wonka, aneka kreasi di pabriknya, bahkan para Oompa-Loompa yang mungil. Deskripsi keajaiban seisi pabrik dan nama-nama serta keunggulan produk pabrik Wonka tereksplor secara memukau di sepanjang kisah. Roald Dahl bahkan menyertakan syair-syair lagu yang didendangkan para Oompa-Loompa saban kali terjadi peristiwa mencengangkan pada anak-anak undangan. Tidak heran jika versi layar lebarnya menjelma menjadi film musikal dengan gambaran yang sangat hidup dan visual efek yang menawan.

    Walaupun demikian, saya mendapati cukup banyak adegan, dialog, syair lagu, yang cukup sarkastik untuk ditulis dalam sebuah novel anak. Sebagai contoh, Mr. Wonka acapkali menegaskan pada anak-anak agar tidak mendebat. “Jangan mendebat, Nak, tolong, jangan mendebat!” (salah satunya di halaman120). Juga ‘ending’ mengenaskan bagi empat orang anak dengan karakter buruk mereka. Ya, meskipun saya paham maksudnya untuk pembelajaran. Bahwa kenakalan, ketidakpatuhan, atau manja berlebihan mereka akan mendatangkan petaka, namun rasanya terlalu sadis jika dibacakan dan dipaksakan sebagai sarana menakut-nakuti anak-anak. Apakah ini gaya pengajaran di negeri dari mana penulis berasal? Jadi, sampai sekarang saya gagal paham mengenai maksudnya. Apalagi di cover disebutkan penulis merupakan penulis yang difavoritkan.

    Ilustrasi dalam novel ini pun menurut saya agak ‘menakutkan’, sketsa para tokohnya tidak indah, tapi cenderung artistik. Yang mana, saya rasa kurang cocok sebagai gaya ilustrasi sebuah novel anak.

    Bagi Anda, penulis yang mencari bacaan sebagai sumber inspirasi kreativitas, tentang bagaimana mengoptimalkan imajinasi, novel ini memang layak sebagai referensi. Saya sendiri salut dengan kemahiran Roald Dahl mengeksplor setting dan karakter unik Willy Wonka. Jikalau anak-anak membaca sendiri, sebaiknya ada pendampingan agar orangtua bisa menjelaskan maksud adegan-adegan dalam novel. Ending yang membahagiakan bagi Charlie Bucket pun memang khas novel anak. Selain itu, pesan agar anak-anak lebih dekat dan menyayangi keluarga menjadi satu hal penting yang patut digarisbawahi. Jika menonton flmnya, bahkan ada pesan lain di akhir cerita yang mencontohkan pentingnya merawat kesehatan gigi.




Selasa, 25 November 2014

[resensi] Keliling Dunia Bukan Lagi Sekadar Impian

Posted by Menukil Aksara | 11:14:00 AM Categories:

Judul Buku     : The Jilbab Traveler
Penulis           : Asma Nadia, dkk
Editor             : Khairudin Endy, TheNita, Diyan Sudihardjo
Layout            : Novi Khansa
Desain Sampul: Tuarzuan AFC
Ilustrasi Isi      : Telia, Hilaga
Proofreader    : Ika Prasetya
Foto                : Asma Nadia
Cetakan          : Ketiga, Juni 2013
Jumlah Halaman: xvi & 344 hlm; 13 x 20,5 cm
ISBN               : 978-602-9055-13-9


Sinopsis:

    Jalan-jalan bagi muslimah, apalagi berjilbab tentu tidak sama seharusnya dengan perempuan lain. Miris membaca buku-buku traveling yang menyebarkan paham kebebasan, padahal seharusnya setiap perjalanan mendekatkan diri kita pada Allah. Membuat makin khusyu mengejar ridha-Nya, sebab kita telah diizinkan untuk melihat lebih banyak.

    Untuk menjawab kebutuhan muslimah maka sepenuh hati dan pemikiran dikerahkan tim penulis untuk membuat tulisan-tulisan berupa sederet pengalaman traveling di dalam buku ini, juga pernak-pernik seperti Pojok Tips (baca : for) The Jilbab Traveler, dan Secuil Kamus Survive di negeri orang.

Diharapkan buku ini mampu menjawab kebutuhan pembaca ketimbang buku lain dengan tema senada. Ada pula plus tambahan agar traveling mantap dan terhindar dari melakukan kesalahan yang bisa bikin seluruh rencana perjalanan yang sudah disusun buyar dan bubar.

Penyempurnaan lain dari buku sebelum adalah adanya tips agar traveling lebih aman, termasuk share dari komunitas The Jilbab Traveler, salah satu grup traveler muslimah terbesar di facebook. The Jilbab Traveler ini bukan hanya membekali muslimah yang melakukan perjalanan ke luar negeri, tapi tips-tips di dalamnya juga akan sangat membantu ketika muslimah melakukan perjalanan di tanah air. Edisi ini dilengkapi dengan tujuan wisata dalam negeri yang lebih terjangkau kantong dan keindahannya tak kalah dengan destinasi wisata manca negara.


Ulasan Buku:

    Buku yang isi utamanya berbagi pengalaman perjalanan para muslimah ke sejumlah negara di Asia, Eropa, dan Amerika ini diawali dengan tulisan dari Asma Nadia bertopik impian keliling dunia. Sebuah start yang manis, membagikan kisah Asma Nadia yang memimpikan jalan-jalan keliling dunia setelah kerap memandangi magnet suvenir yang bertaburan di pintu kulkas sang nenek, sanak saudara, hingga tetangga. Kondisi ekonomi yang tak melebihi rata-rata menyadarkan Asma Nadia bahwa impiannya bisa jadi terlampau tinggi. Tapi siapa sangka, bidang menulis yang kemudian digeluti secara serius justru yang mengantarkannya memenuhi mimpi keliling dunia.

    Kisah kemudian mengalir dari satu pengalaman ke pengalaman lain yang kesemuanya unik. Tak cuma unik dari segi kejadian, juga khas dalam penyampaian sesuai karakter masing-masing penulis. Inilah salah satu nilai plus buku semacam antologi. Isinya kaya rasa.

    Mayoritas gaya penuturan yang dipergunakan penulis memang santai, tak melulu menjagokan bahasa baku yang kaku. Banyak selingan bahasa percakapan, humor segar, meskipun tak dapat dielakkan dari istilah-istilah khas traveling. Pengalaman yang disuguhkan pun beraneka rupa. Dari yang versi lengkap nan detail, berisi destinasi, rute, biaya, objek wisata andalan, hingga yang umum namun tetap tak kalah seru. Seperti pengalaman berjudul Berlibur Hemat di Pusat Dunia yang menceritakan perjalanan mengelilingi sejumlah kota di Amerika Serikat (halaman 82-107).. Di sini Dede Mariyah memaparkan dengan detail bagaimana dia mengumpulkan dana untuk perjalanan, kota-kota apa saja yang dikunjungi lengkap dengan keunikan masing-masing, harga tiket, lokasi hiburan gratis, mencari makanan halal, hingga jenis transportasi yang digunakan. Sayangnya, karena mengutamakan detail informasi, kurang mengeksplor gaya bercerita yang menghibur, saya justru dihinggapi rasa bosan membaca penjelasannya.

    Berbeda dengan bab pengalaman di negeri Paman Sam, di kisah berjudul Jerman: Malu-maluin di Negeri Orang saya justru betah berlama-lama membuka lembar demi lembarnya di halaman 130-145. Mengapa? Karena Beby Haryanti Dewi seolah mengajak pembaca merasakan petualangan yang benar-benar seru. Menegangkan sekaligus lucu. Saya bahkan sempat tertawa beberapa kali selama menyimak tingkah polah penulis beserta teman dan kerabat yang diceritakannya. Simak saja:

    “Kalo nggak ngerti bahasa, pingin marahin orang kan susah juga. Ini kayak pengalaman temanku, Didin (lagi-lagi nama samaran).
    Didin baru aja naik tram dan sedang nyari tempat duduk. Tiba-tiba ada seorang cowok Jerman sedang duduk sambil selonjoran, otomatis menghalangi orang yang mau lewat. Tanpa sengaja Didin menyenggol kaki cowok itu. Eh, si bule marah-marah dengan bahasa Jerman yang cepeeet banget.
    Didin gondok berat. Pinginnya ngomelin balik si bule, tapi apa daya, modal bahasa Jerman-nya sekarat. Akhirnya Didin berbalik. Ditatapnya bule itu dalam-dalam sambil ngacungin jari telunjuk.
    “Noch mal. Bitte langsam!” (sekali lagi, tolong pelan-pelan!) kata Didin sangar. Bule itu langsung mingkem”
(Halaman 140)

    Pembaca juga dibekali pengetahuan tentang aneka modus tindak kriminalitas di negeri asing, semisal pencopetan, penipuan, dan pemalakan lengkap dengan kronologis di tempat kejadian (halaman 300-307).

    Terlepas typo, buku ini memang sangat membantu para muslimah yang bermimpi atau bahkan sudah berencana traveling ke berbagai kota di seluruh penjuru dunia. Di bagian akhir pun ditekankan kembali upaya agar perjalanan mendekatkan, bukan menjauhkan kita dengan Allah, salah satunya dengan tetap menjaga shalat dan bacaan Al-Qur’an. Semoga edisi terbaru berisi kisah-kisah seru lain segera terbit dan kian memperkaya khasanah acuan bacaan para penyuka traveling di Indonesia.





[resensi] Mesin Waktu dan Petualang Masa Depan

Posted by Menukil Aksara | 11:07:00 AM Categories:


Judul Novel  : Past and Curious – Saat Hidup Punya Tombol Rewind
Penulis         : Agung Satriawan
Editor           : Nurul Hikmah dan Elly Afriani
Proofreader  : Elly Afriani
Penata Letak: Irene Yuniar
Desain Sampul: Gita Mariana
Penerbit       : Bukune
Cetakan       : Pertama, November 2013
Jumlah Halaman: iv + 276 hlm; 13 x 19 cm
ISBN            : 602-220-118-7


    Hidup tidak seperti remote DVD yang memiliki tombol rewind. Waktu tidak bisa diputar ulang. Tapi, lain dengan kisah Kafi. Mahasiswa kadaluwarsa yang baru ditinggal kekasih ini tersesat ke masa lalu. Tepatnya dua puluh tahun silam, saat seporsi sate kambing masih dua ribu rupiah dan selembar uang lima ratus dihiasi pose orang utan.

    Keanehan demi keanehan ditemui Kafi; uang di kantongnya tidak laku, ponselnya tidak bisa digunakan, Justin Bieber bahkan belum lahir, dan Ksatria Baja Hitam masih membela kebenaran. Dia dibuat bingung dan hampir putus asa. Apa yang sebenarnya terjadi?

    Dalam usaha keluar dari era jadul dan kembali ke masanya, Kafi bertemu dengan sesama petualang waktu; Ardhi—seorang ilmuwan pembuat mesin waktu—dan Soyan yang menginginkan kesempatan kedua. Bersama, mereka mengemban misi untuk kembali ke mas depan. Berhasilkan mereka?


Ulasan Novel:

    Ini kali pertama saya membaca novel karya Agung Satriawan, yang selain menulis juga menjadi crew creative program televisi dan menggeluti bisnis kuliner. Novel berkategori fiksi komedi ini mengetengahkan ide yang cukup lazim, yaitu cerita fantasi mengenai mesin waktu dan lubang hitam yang mampu melemparkan seseorang ke masa lalu maupun masa depan. Meski demikian, humor menggelitik yang disuguhkan dalam tiap lembarnya cukup menghibur, apalagi jika dibaca saat kita sedang jenuh atau suntuk.

    Agung Satriawan memulai kisah novel dengan adegan pertandingan sepak bola kesebelasan Persija sekaligus mengenalkan sang tokoh utama, Kafi, lewat deskripsi kocaknya. Nuansa komedi langsung terasa di sini.

    “Oke. Itulah Kafi. Pria berperawakan sedang, tetapi memiliki perut yang sedikit membuncit. Dialah pemeran utama dalam cerita ini. Pemuda yang hampir tidak muda lagi. Wajahnya cukup tampan sebagai syarat pemeran utama, tetapi tidak cukup tampan untuk masuk televisi; yang ada malah membuat pemirsanya sakit mata. Rambut lurusnya nemplok di wajahnya yang lonjong dengan dagu terbelah. Usianya 26 tahun. Usia pas bagi seorang sarjana..., yang banyak mengulang mata kuliah.” (halaman 2)

    Adegan-adegan selanjutnya mengisahkan Kafi yang hendak berangkat melancong sebelum dipusingkan dengan urusan melamar pekerjaan dan sekaligus demi melupakan kisah cintanya yang kandas. Di rentang alur ini, penulis sesungguhnya sudah menyelipkan petunjuk-petunjuk kecil signifikan dalam pemecahan konflik di bagian pertengahan hingga akhir dengan cukup cerdik. Begitu juga pemilihan kereta barang sebagai alat transportasi yang ditumpangi Kafi pada akhirnya menuju Surabaya, merupakan kunci utama dari misteri tersesatnya Kafi ke masa lalu.

    Selain humor nyeleneh yang bertaburan di sepanjang cerita, penulis pun tak lupa menyisipkan sindiran-sindirannya dalam berbagai adegan. Salah satu yang membuat saya tertawa adalah tatkala Kafi kebingungan harus mencari kerja di masa lalu demi bertahan hidup. Pekerjaan yang langsung mendapatkan upah:
    “Mau jadi penulis, belum punya naskahnya. Kalaupun punya, belum tentu diterima. Kalaupun diterima, proses terbitnya bisa berbulan-bulan. Belum editing, belum desain cover, belum layout. Keburu meninggal karena kelaparan juga.” (halaman 96)

    Ada juga beberapa pernyataan yang diulang-ulang dari tokoh cerita, terkait jawaban ketika ditanyai jauh-tidaknya suatu tempat. Namun, penulis rupanya mahir menempatkan sehingga selalu menjadi kejutan yang masih tetap lucu bagi saya.
    “Mas, Simpang Enam masih jauh?” tanya Kafi kepada pedagang minuman di dekat gerbang terminal.
    “Jauh, Dek. Kayak dari Simpang Enam ke sini.”
(halaman 162)

    Secara keseluruhan, penulis memang patut mendapat acungan jempol untuk tiap kreativitasnya menyajikan cerita yang penuh humor. Mencungkil tiap detail deskripsi, narasi, hingga dialog, dikait-kaitkan dengan banyak hal yang mengundang senyum maupun tawa. Deskripsi setting tahun 1993 pun terasa hidup dengan detail yang tak main-main.

    Kekonsistenan penulis dalam menerapkan logika yang telah diciptakannya dalam cerita fantasi komedi ini pun cukup bagus. Meski selalu kocak, ada pula saat-saat penulis memaparkan teori mesin waktu dengan serius sehingga pembaca memahami logika cerita. Ending yang tak terduga pun memberikan nilai tambah bagi novel ini.

    Meskipun dituturkan secara humoris abis, pesan yang ingin disampaikan Agung Satriawan dalam kisah mesin waktu ini tetap jelas tertangkap. Manusia acapkali meratapi keadaan diri atau kejadian yang menimpa, yang dipandang tidak baik, tidak menguntungkan. Namun, otak terbatas manusia tidak bisa menjangkau kebaikan yang lebih besar yang bisa jadi tersembunyi di balik keburukan tersebut hingga terungkap di masa depan. Karena itulah, kisah ini mengajak kita untuk lebih bersyukur dan bersabar atas tiap kejadian dalam hidup.
   

Senin, 17 November 2014

[resensi] Mari Berbincang Mengenai Bahagia

Posted by Menukil Aksara | 9:53:00 PM Categories:


Judul Buku : Your Happiness is – Karena Rasa Tak Bisa Dipaksa
Penulis        : Yuda, Hamzah, Ian
Penerbit      : Elex Media Komputindo
Cetakan      : Pertama, 2014
Jumlah Halaman: xii + 146 hlm
ISBN          : 978-602-02-4639-0



    Buku Your Happiness is ini berisi 20 catatan tentang sebuah tema yang sebenarnya sederhana, namun justru kian langka kita rasakan di zaman yang menjanjikan banyak kemudahan ini. 


    Kebahagiaan. Satu kata yang mulai langka terdengar ketika sebagian besar kita sibuk dengan aktivitas masing-masing, mencapai impian masing-masing, bersaing untuk menjadi yang terdepan dan terbaik dalam berbagai bidang. Membandingkan diri dengan kelebihan orang lain pun sudah terlampau sering, seolah kita lebih melihat “ke luar”, dan hampir tidak memiliki waktu untuk melihat “ke dalam”. Imbasnya, kita menjadi asing dengan diri sendiri.


    Buku sederhana ini ditulis sebagai pengingat agar kita senantiasa kembali melihat sisi-sisi indah di kedalaman diri masing-masing. Agar kita semakin mencintai diri sendiri.

Review:


    Trio penulis buku Your Happiness is adalah tiga sahabat yang dipertemukan oleh bangku kuliah. Mereka menjuluki ‘geng’ mereka sebagai Chemis-Three, sesuai jurusan yang mereka ambil di ITS, Surabaya.


    Tak heran, jika menyimak penuturan mereka di dalam buku, mereka seakan padu, menjadi penulis tunggal dengan gaya bertutur yang mirip. Ditambah lagi, tak ada keterangan nama penulis di tiap judul catatan. Hal ini di luar perkiraan saya, yang menyangka bahwa buku ini akan berisi catatan-catatan bersifat personal yang disatukan oleh satu tema besar, seperti sebuah buku yang pernah saya baca.


    Judul-judul per catatan yang ditawarkan pun menarik, dengan beberapa judul yang menggelitik atau mengundang dahi mengernyit. Simak saja judul “Bahagia Itu Tidak Munafik”, “Positive Revenge”, atau “Menguak Rahasia Jagang of Happiness”. 


    Perbincangan diawali dengan sebuah catatan berjudul “ Beda Awal, Beda Hasil” yang menurut saya pas, karena mengulik tentang niat. Diselipi dengan sebuah kisah nyata, catatan pembuka ini terasa mengena di hati.
    “Owalah, Nak, kerja kok dibikin repot. Saya ini kerja niatnya untuk ibadah! Senang dan bahagia rasanya kalau bisa membantu orang yang bepergian. Mereka kan belum tentu punya bekal cukup. Apalagi bisa melayani anak-anak sekolah yang uang sakunya pas-pasan. Bahagianya bisa berlipat-lipat. Kalau niatnya mencari duit, tidak akan pernah ada bahagianya. Dikasih 5.000 minta 10.000. Dikasih 10.000 minta 20.000, dan seterusnya.” (halaman 2)


    Penulis juga beberapa kali mencantumkan referensi baik berupa kutipan pernyataan maupun hasil penelitian tokoh atau ilmuwan.
    “Selain Dr. Allan Kuts, Prof. David McClelland juga mengatakan hal yang hampir serupa, “melakukan sesuatu yang positif terhadap orang lain akan dapat memperkuat sistem kekebalan tubuh.” (halaman 25)


    Di tiap bab catatan, disertakan juga penegasan dengan kolom-kolom kecil berisi kutipan penting sebagai benang merah pembahasan. Selain itu, menariknya lagi, buku ini banyak ditaburi dengan definisi kebahagiaan dari orang-orang sekitar penulis, diletakkan manis di bagian bawah sebagai penutup tiap catatan. Jadi, selama membaca buku kita akan diajak merenungkan kutipan-kutipan tersebut. Di halaman 76, kita diajak merenung kembali tentang hal-hal yang memicu amarah lewat “Kotak Marah” dan ada juga “Kotak Parameter Positif” di halaman 127-129, serta “Kotak Perasaan” di halaman 56.


    Sedikit kesalahan terjadi di halaman 137, di mana di sana penulis menyatakan sengaja membiarkan tiga halaman kosong untuk mengekspresikan kebahagiaan sebebas-bebasnya, sejujur-jujurnya. Namun tidak dijumpai lembar kosong yang disebutkan.


    Buku bersampul cantik yang dikategorikan sebagai motivasi Islami ini memang bagus, meski tema yang diusung sudah umum, namun ada saja hal-hal unik yang mampu ditonjolkan penulis. Bahasanya pun mudah dimengerti, seakan penulis sedang mengajak kita mengobrol. Sebagai penutup, saya ingin menuliskan kutipan definisi bahagia yang terdapat dalam buku ini.


  
  “Tidak ada 1 detik pun hal yang terjadi tanpa kehendak Tuhan. Hukum aksi dan reaksi tidak berlaku saat Tuhan telah berkehendak atas sesuatu. Aku enggan bisa mendeskripsikan seperti apa bahagia itu, tapi aku bisa merasakan bahagia saat aku bisa menyandarkan segala sesuatu tentang hidupku pada Tuhan.”
   

Minggu, 16 November 2014

[resensi] Sepuluh Hal Tentang Nadine dan Petualangannya

Posted by Menukil Aksara | 8:33:00 PM Categories:


Judul Buku : Nadrenaline (Catatan Petualangan Nadine Chandrawinata)
Penulis        : Nadine Chandrawinata
Penyunting : Suryo Utomo
Perancang sampul depan: Ismael, Third Eye Studio
Perancang sampul belakang: Adien Dendra
Pemeriksa Aksara: Ine dan Nurani
Penata Aksara: gores_pena
Ilustrasi isi  : Ikan
Penerbit     : B-First
Cetakan     : Pertama, Februari 2012
Jumlah Halaman: xvi + 218 hlm.; 19 cm
ISBN          : 978-602-8864-54-1



Blurb:


    Hiking, diving, dan traveling adalah bagian penting dalam hidup Nadine Chandrawinata. Tak hanya wara-wiri di layar kaca sebagai entertainer, mantan Putri Indonesia ini juga kerap wara-wiri melakukan perjalanan traveling ke berbagai penjuru negeri, bahkan dunia. Laut dan gunung menjadi tujuannya.


    Seru dan tak disangka-sangka. Seperti Nadine yang bisa tak mandi seminggu saat naik boat ke Wakatobi, dengan GPS off. Pun Nadine yang tidur di Stasiun Kolkata, beralaskan keramik kotor, dengan banyak nyamuk dan lalu-lalang orang.


Ulasan:


    Tak seperti umumnya kalangan pesohor yang menerbitkan buku kisah hidup atau biografi, buku dari selebritis satu ini bertutur tentang petualangan ke berbagai belahan bumi. Selain karena dorongan kegemaran berpetualang ke alam bebas, perjalanan Nadine kadang juga dilakukan atas dasar tuntutan pekerjaan. Bisa dibayangkan, sesudah bertahun-tahun bepergian, tentunya banyak keseruan, rintangan, kegembiraan, maupun kekecewaan yang bisa dibagi. Beruntungnya, selain gemar berpetualang, Nadine juga senang menuliskan pengalaman-pengalamannya selama di perjalanan. Tulisan tersebut acapkali dikerjakan selama masa senggang perjalanan dengan ponsel pintar ataupun laptop yang dibawa.


    Nadrenaline diawali dengan sebuah untaian prolog yang menarik. Salah satu kutipan favorit saya di sini adalah: “Saya yakin pasti kamu juga akan membuat cerita perjalanan yang seru. Kesulitan yang kamu temui tentunya berbeda dengan yang saya alami. But, Nadine was there, too. Semua benci, dongkol, marah, pasti kita alami pada tiap perjalanan itu. Ingat, jangan pernah salahkan orangnya apalagi daerahnya, tapi cobalah untuk ubah perilaku dan pikiran kita sendiri, be a flexible person! Bayangkan bila hidup kita tak ada masalah, flat! Tidak ada tantangan hidup. Basi! Tidak baik pula punya segudang pengalaman, tapi tidak kita bagi kepada orang lain.” (halaman xvi)


    Kisah Nadrenaline lantas bergeser ke momen perjalanan Nadine bersama keluarga semasa remaja. Kala itu, mereka bermaksud menempuh perjalanan darat Jakarta-Lombok mengendarai mobil keluaran tahun 90-an. Sudah pasti, keseruan banyak terjadi. Mulai dari menyanyi keras-keras di mobil untuk menghilangkan suntuk, tidur bersempit-sempitan di satu kamar hotel, hingga snorkeling di luar Gili Trawangan.


    Petualangan selanjutnya dalam buku ini diambil dari pengalaman ke berbagai kota di Indonesia, benua Asia-Eropa, negeri empat musim, pantai hingga gunung. Di tiap awal judul baru, selalu ada kutipan, entah itu filosofi hidup yang dipegang Nadine, maupun adegan menarik yang dipenggal dari sebuah kisah lengkap. Ini trik yang jitu, karena pembaca jadi bertanya-tanya tentang kisah utuhnya. 


    Nadine juga tak segan mengisahkan pengalaman konyol, memalukan, yang sempat menimpanya selama berkelana. Contohnya: “Rekor terlama tidak mandi tercatat saat saya menuju Gunung Everest. Ya, tidak terlalu lama, sih, cukup seminggu saja. Badan masih bisa kompromi, kok, alias tidak gatal.” (halaman 67-68). Atau saat dia terkena patahan bulu babi yang cukup parah di bagian bokong (halaman 13-14). Dan masih berderet kisah konyol lain.


    Adakalanya pula Nadine berbagi kisah keyakinan penduduk lokal dan kebiasaan-kebiasaan khas yang berbeda dengan Indonesia. Kita juga akan disuguhi istilah-istilah khusus terkait diving, snorkeling, dan tips untuk mempersiapkan perjalanan jauh.


    Yang paling menarik, dalam buku ini Nadine membuka sisi lain pribadinya lewat daftar sepuluh hal tentang dirinya, semisal sepuluh hal yang suka Nadine lakukan, 10 kelakuan ketika Nadine bosan, dan semacamnya yang menghibur karena umumnya unik dan konyol. Nadine juga memanjakan mata pembaca dengan melampirkan koleksi foto-foto pribadinya selama berjalan-jalan keliling dunia. Meskipun foto-foto tersebut dalam format hitam putih, namun kualitasnya bagus dan memberi gambaran lebih tentang setting alam atau kota yang dikunjungi.


    Gaya bahasa yang digunakan ringan, dipadupadankan dengan bahasa gaul sehari-hari seperti yang biasa digunakan Nadine kala berbicara, yang mana ini bagus, karena ini bukan buku nonfiksi ilmiah yang bahasannya berat. Dengan gaya bercerita mirip orang berbicara, pembaca seakan mendengar kisah langsung dari lisan Nadine.


    Dengan membaca buku ini, banyak kita temukan sisi menarik dan positif dari seorang Nadine Chandrawinata, yang di awal kemunculannya lebih identik dengan dunia modelling. Meskipun, tetap ada sisi kekurangan yang tak usah juga kita teladani. Untuk Anda yang menyukai buku nonfiksi semacam ini, Nadrenaline bisa menjadi pilihan yang tepat.

[resensi] Saat Dunia Tak Sesederhana Yang Kita Lihat

Posted by Menukil Aksara | 6:18:00 PM Categories:


Judul Novel : Bumi
Penulis        : Tere Liye
Desain Sampul : eMTe
Penerbit      : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan      : keempat April, 2014
ISBN           : 978-602-03-0112-9
Jumlah Halaman: 440 hlm.; 20 cm

Blurb:


    Namaku Raib, usiaku 15 tahun, kelas sepuluh.    Aku anak perempuan seperti kalian, adik-adik kalian, tetangga kalian. Aku punya dua kucing, namanya si Putih dan si Hitam. Mama dan papaku menyenangkan. Guru-guru di sekolahku seru. Teman-temanku baik dan kompak.
    Aku sama seperti remaja kebanyakan, kecuali satu hal. Sesuatu yang kusimpan sendiri sejak kecil. Sesuatu yang menakjubkan.
    Namaku Raib. Dan aku bisa menghilang.

 
Sinopsis:


    Membaca ulasan singkat di atas, yang juga dicantumkan di sampul belakang buku, seketika kita bisa menebak bahwa novel remaja satu ini mengusung genre fantasi. 


    Raib, Seli, dan Ali adalah teman satu sekolah, bahkan satu kelas. Raib dan Seli berteman baik. Namun tidak halnya dengan Ali, yang pada mulanya mereka anggap pengganggu, anak yang menyebalkan dan suka berulah. Namun, suatu hari, rahasia besar Raib diketahui tanpa sengaja oleh Ali dan ini memicu rasa penasaran Ali yang seorang jenius. Semenjak itulah hubungan ketiga remaja ini berkembang ke tingkat yang lebih serius, menyusul hadirnya Tamus, makhluk asing berpenampilan misterius yang kemunculannya pun dengan cara yang tak biasa. Kejutan lain datang dari Miss Selena, salah seorang guru sekolah Raib, Seli, dan Ali. Persoalan mulai mencuat ke titik klimaks ketika ketiga remaja dengan kelebihan masing-masing itu melarikan diri dari kejaran Tamus dan tersesat di dunia lain. Di dunia baru inilah mereka juga menemukan banyak fakta menarik, termasuk kekuatan luar biasa yang mereka miliki. Bagaimanakah petualangan Raib, Seli, dan Ali selanjutnya? Siapakah sebenarnya jati diri mereka dan orang-orang yang mengejar mereka? Apakah kisah ini akan ada kelanjutannya? Anda akan menjumpai jawabannya dengan menyimak kisah fantasi yang dibingkai oleh pernak-pernik dunia remaja ini.

Ulasan:


    Novel tebal ini merupakan pembuktian diri (sekali lagi) seorang Tere Liye yang selama ini dikenal lebih banyak menulis novel-novel bertema realis dan romantis. Novel tebal dengan judul sederhana ini mungkin akan dipandang tak menarik jika saja kita tak mengenali nama Tere Liye dan blurb-nya. Bumi. Mengapa judul sederhana ini yang dipilih? Karena judul inilah yang paling pas mewakili isi cerita di dalamnya.


    Walaupun genre fantasi membebaskan penulisnya ‘meliarkan’ imajinasi, namun seperti yang dikatakan oleh Isa Alamsyah dalam buku 101 Dosa Penulis Pemula, penulis fiksi fantasi harus konsisten mengikuti alur logika yang diciptakannya. “Cerita fantasi boleh menciptakan logika sendiri. Tidak harus patuh pada logika umum. Tapi begitu logika itu dibuat, maka semua isi cerita dari awal hingga ending harus patuh dengan logika yang diciptakan si penulis.”


    Maka, demikian halnya dengan Tere Liye di sini. Teinspirasi atau didasarkan pada sebuah ide lapangan olahraga indoor, Bumi mengisahkan sebuah dunia yang tak sesederhana yang terlihat. Ada lebih dari satu kehidupan yang berjalan di atasnya. “Selain untuk rapat, pertemuan guru-wali murid, dan pertunjukan seni, aula itu sekaligus merangkap lapangan olahraga indoor. Ada lapangan bulu tangkis di dalamnya yang garis-garisnya ditimpa lapangan futsal, lapangan voli, dan lapangan basket. Ada empat lapangan sekaligus di lantai aula. Praktis, jika ingin bermain bulu tangkis, tinggal pasang tiang dan netnya. Kalau ingin bermain basket, lepas tiang dan net badminton, dorong tiang-tiang basket yang disimpan di sudut-sudut aula.” (halaman 156)


    Ide dasar ini kemudian dijelaskan lebih jauh terkait fakta dunia baru yang dijelajahi Raib dan kawan-kawannya di halaman 246-250.


    Selain itu, tiap keabnormalan yang dijumpai diberikan penjelasan logis lewat penuturan sang jenius Ali, misalnya tentang makhluk-makhluk dengan gen spesial atau berkembang jauh lebih hebat dari yang lain (halaman 273-274).


 Di dunia tempat ketiga remaja tokoh utama tersesat, juga dideskripsikan secara apik dengan kecanggihan tekonologi, keberadaan kapsul kereta, rumah yang melayang, baju yang bisa otomatis mengikuti bentuk tubuh, makanan yang praktis menyiapkannya, perpustakaan keren, dan masih banyak lagi. pembaca akan dimanjakan dengan imajinasi yang menyenangkan.

    Sebagai sebuah novel remaja, gaya bahasa yang digunakan, karakter para tokohnya sudah pas, tidak terlampau rumit atau susah dipahami. Bahkan ada keindahan tersendiri dari diksi-diksi yang dipilih. Alur-plotnya runut, dengan alur maju dan penceritaan dengan sudut pandang ‘aku’ sebagai Raib. Di beberapa bab, Tere Liye dengan cerdik menyisipkan potongan-potongan petunjuk berupa teka-teki tentang kelanjutan cerita, seperti yang sudah biasa dilakukan di karya-karyanya yang lain.


    Dan seolah tidak ingin mengganggu fokus pembaca, novel ini tidak disertai ilustrasi di dalam, benar-benar polos dan paragraf demi paragrafnya sangat padat tertata. 


    Novel fantasi remaja ini menurut saya lebih mengetengahkan unsur superheroes dengan kekuatan mereka yang tidak lazim lantas digunakan untuk misi penyelamatan bumi. Pengungkapan kekuatan para tokoh utama dilakukan bertahap demi menjaga ritme cerita. Settingnya sendiri tidak spesifik menggambarkan sebuah kota di Indonesia, namun menyimak adegan dan gaya hidupnya, saya yakin Tere Liye tetap mengambil setting dalam negeri.


    Selama membaca kisah petualangan Raib ini, saya bisa turut menikmati sensasi debar kegugupan, keseruan pertarungan, kejutan-kejutan manis yang dihadiahkan pada pembaca hingga akhir. Dan meski ini fantasi, Tere Liye tetap tak melupakan pesan moral di dalam kisah. Simak saja yang berikut:
    “Ketahuilah, sumber kekuatan terbaik adalah yang sering disebut dengan tekad, kehendak. Jutaan tahun usia planet ini, ribuan tahun kehidupan tiba di dunia ini.semua mencoba bertahan hidup. Maka kehendak yang besar bahkan lebih kuat dibandingkan kekuatan itu sendiri.” (halaman 263)


    Hanya satu yang menjadi catatan sekaligus pertanyaan bagi saya. Di dalam kisah ini terdapat adegan panjang kehidupan baru Raib dan kawan-kawan  dengan bahasa lain. Raib pun diceritakan bercakap-cakap menggunakan bahasa itu yang entah bagaimana otomatis dikuasainya. Sayangnya, Tere Liye tidak memberikan bentuk riil dari tata bahasa itu, seperti yang lazim kita dapati di film-film fantasi, semacam bahasa kaum peri di Lord of The Rings atau bahasa ular dalam Harry Potter. Hanya penjelasan itu bahasa berbeda, titik. Apakah Tere Liye tidak ingin berpanjang-panjang fokus pada elemen pendukung ini? Ataukah akan ada kejutan di sekuel selanjutnya, Bulan? Saya berharap kemungkinan kedua ini yang terjadi. Saya pun tidak sabar menantikan kelanjutan petualangan menegangkan Raib, Seli, dan Ali di sekuel Bulan.


    Overall, Bumi menjadi kekayaan karya fiksi fantasi Indonesia yang layak direkomendasikan untuk dibaca, terutama kalangan remaja.

Sabtu, 15 November 2014

[resensi] Bidadari Tak Pernah Ingkar Janji

Posted by Menukil Aksara | 11:29:00 PM Categories:


Judul Novel : Bidadari-Bidadari Surga
Penulis         : Tere Liye
Desain Cover: Eja-creative14
Penerbit       : Republika
Cetakan VI   : Maret, 2010
Jumlah Halaman: vi+368 halaman 20.5 x 13.5 cm
ISBN            : 978-979-1102-26-1

Sinopsis:


    Berkisah tentang sebuah keluarga. Mamak Lanuri, Laisa, Dalimunte, Ikanuri, Wibisana, dan Yashinta, yang hidup di Lembah Lahambay yang indah, terletak persis di tengah-tengah bukit barisan yang membentang membelah pulau. Laisa yang berpenampilan fisik jauh dari cantik akibat kecelakaan di masa bayi, memiliki perangai yang menawan, melebihi kecantikan fisik mana pun. Keteguhan, ketulusan cintanya pada keluarga, terutama pada keempat adik-adiknya—yang bahkan bukan saudara sekandung—yang menjadi poros kisah ini. keluarga miskin yang hidup jauh dari hiruk-pikuk kemajuan kota besar mampu melejitkan kesuksesan individu-individunya berkat pengorbanan tiada tara Laisa. Namun di balik kebahagiaan itu, sempat terbetik lara atas kesendirian Laisa tanpa pendamping hidup. Selain itu, suatu hari keempat adik Laisa diminta pulang di luar jadwal pulang rutin mereka. Ada hal mendesak apa? Apa saja pengorbanan Laisa dan bagaimana akhir kisah mereka? Novel keluarga religi ini akan menuntaskan dahaga keingintahuan Anda.
   
Ulasan:


    Salah satu novel terbaik Tere Liye yang telah difilmkan ini bukan sekadar novel cinta . Dengan seabreg endorsement di dalam maupun di sampul belakang, kita pasti tergoda untuk membawa pulang novel tebal ini. Dan endorsement itu pun bukan isapan jempol belaka.


    Seperti biasa, Tere Liye mampu menciptakan magnet bagi pembacanya dengan suguhan pembuka yang cantik. Dimulai dengan sepenggal adegan menyedihkan dan sebuah pesan darurat yang dikirimkan ke empat nomor berbeda. Alur maju-mundur yang digunakan mengingatkan pembaca pada novel Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin. Flashback diperoleh melalui cukilan-cukilan kenangan dari para tokohnya. Bedanya, kali ini Tere Liye menggunakan sudut pandang orang ketiga. Sudut pandang orang ketiga ini pun nantinya berubah menjadi ‘aku’ di jelang akhir kisah secara tak terduga, sekaligus mengungkap siapa pencerita yang berperan sebagai mata yang melihat segala.


    Setting Lembah Lahambay yang elok dengan kehidupan yang bernaung di sana menjadi pemikat yang tak terbantahkan. Tak cukup sampai di situ, Tere Liye membumbui latar-latar lain yang berpindah-pindah, dari dalam negeri hingga luar negeri yang dituturkan dengan lancar, tanpa kesan dipaksakan, menyatu dengan karakter tokoh dan alur-plot.


    Potongan-potongan ingatan dari masa lalu yang diungkapkan satu per satu oleh para tokoh cerita seolah puzzle yang menjaga rasa penasaran pembaca dan membuat pembaca enggan meletakkan buku atau menjeda proses membaca hingga tiba di halaman terakhir. Selain itu, juga disematkan beberapa kalimat mengandung tanya di bagian akhir bab-bab tertentu. Sebuah kemahiran yang memang menjadi ciri khas Tere Liye.


    Selama menyimak kisah panjang ini, saya tak bisa membendung air mata, bahkan semenjak di awal-awal bab. Namun bukan kisah cinta romantis yang mengaduk-aduk emosi saya. Sama sekali bukan. Ketulusan Laisa-lah yang sukses membuat air mata saya terus mengucur tak terelakkan. Salah satu contoh dialog yang menguras tangis adalah:


    “Tapi sebelum hari itu tiba, sebelum masanya datang, dengarkan Kakak, kalian harus rajin sekolah, rajin belajar, dan bekerja keras. Bukan karena hanya demi Mamak yang sepanjang hari terbakar matahari di ladang. Bukan karena itu. Tapi Ikanuri, Wibisana, Dalimunte, kalian harus selalu bekerja keras, bekerja keras, bekerja keras, karena dengan itulah janji kehidupan yang lebih baik akan berbaik hati datang menjemput...” (halaman 138)


    Adegan tatkala si bungsu Yashinta memberikan sambutan sebagai wakil wisudawan terbaik mengingatkan saya pada adegan serupa di novel Tere Liye yang lain, Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin. Bedanya, kali ini nuansa cintanya jauh lebih menusuk, cinta pada keluarga, terutama pada sang kakak. Dan di adegan ini pulalah saya kembali menitikkan air mata.


    Kemiripan lain dengan novel Tere Liye tersebut di atas adalah pengulangan usia para tokohnya, yang dimaksudkan sebagai penekanan. Sayangnya, kali ini banyak saya temukan kesalahan. Antara usia yang disebutkan satu dengan lainnya ada ketidakcocokan. 


    Secara utuh, kisah Bidadari-Bidadari Surga ini memang luar biasa. Kisah kehidupan yang amat bisa jadi nyata, dapat kita jumpai di sekitar. Yang menjadi catatan saya hanyalah dibanding kekurangan Laisa, keempat adiknya digambarkan nyaris sempurna baik secara fisik, kecerdasan, maupun pencapaian prestasi. Apakah ini dimaksudkan sebagai jurang penegas perbedaan yang memang nyata di dunia ini. Ada orang-orang yang dianugerahi ‘kesempurnaan’, ada pula yang sangat ‘tidak sempurna’. Hanya kemudian, hikmah dalam kisah ini adalah bahwa yang terlihat tak sempurna di mata manusia itu justru yang sempurna di pandangan Allah. Catatan lain untuk novel ini adalah berserakannya typo di sepanjang halaman demi halamannya. Cukup banyak ejaan yang tidak tepat yang diulang-ulang. Bagaimanapun, karya sastra yang telah cetak ulang berkali-kali ini layak diacungi tak hanya satu jempol. Karya yang brilian, yang menyentuh sisi kemanusiaan sekaligus kerelejiusan.

[resensi] Cinta, Pohon Linden, dan Rumah Kardus

Posted by Menukil Aksara | 11:10:00 PM Categories:


Judul Novel : Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin
Penulis        : Tere Liye
Desain dan Ilustrasi Sampul : eMTe
Penerbit      : Gramedia Pustaka Utama, Juni 2010
Jumlah Halaman : 264 hlm.; 20 cm
ISBN          : 978-979-22-5780-9

Sinopsis:


Dia bagai malaikat bagi keluarga kami. Merengkuh aku, adikku, dan Ibu dari kehidupan jalanan yang miskin dan nestapa. Memberikan makan, tempat berteduh, sekolah, dan janji masa depan yang lebih baik.


    Dia sungguh bagai malaikat bagi keluarga kami. Memberikan kasih sayang, perhatian, dan teladan tanpa mengharap budi sekali pun. Dan lihatlah, aku membalas itu semua dengan membiarkan mekar perasaan ini.


    Ibu benar, tak layak aku mencintai malaikat keluarga kami. Tak pantas. Maafkan aku, Ibu. Perasaan kagum, terpesona, atau entahlah itu muncul tak tertahankan bahkan sejak rambutku masih dikepang dua.


    Sekarang, ketika aku tahu dia boleh jadi tidak pernah menganggapku lebih dari seorang adik yang tidak tahu diri, biarlah... Biarlah aku luruh ke bumi seperti sehelai daun... Daun yang tak pernah membenci angin meski harus terenggutkan dari tangkai pohonnya.
   

    Cuplikan di atas diculik dari sampul belakang dan halaman depan novel berdesain sederhana ini. gambar sehelai daun pohon linden menjadi ilustrasi sampul sekaligus sebuah simbol yang terkait dengan kisah.


    Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin bercerita tentang sebuah keluarga kecil yang terdiri atas Ibu, Tania, dan Dede. Sang ayah telah lebih dulu berpulang pada Sang Khaliq. Semenjak kepergian sang ayah, kehidupan menjadi sulit sehingga dua kakak-beradik Tania dan Dede harus berhenti sekolah. Sang ibu juga sakit-sakitan. Kedua bocah itu mengamen dari satu bus ke bus yang lain demi menyambung hidup di rumah kardus. Hingga suatu hari, mereka dipertemukan dengan Danar oleh takdir. Danar, laki-laki muda berusia dua puluh lima tahun tergerak hati membantu keluarga kecil Tania. Pelan namun pasti, kehidupan mulai bersinar di tengah keluarga Tania. Tania dan Dede kembali ke bangku sekolah, mereka pindah ke rumah yang layak, sang ibu mendapat pekerjaan yang lumayan. Tania yang beranjak remaja di usianya yang kedua belas diam-diam menanam benih cinta, kagum kepada Danar, lantas menyiraminya tanpa bisa dicegah. Suatu hari yang kelam, sebuah musibah memporak-porandakan kebahagiaan itu. Sang ibu jatuh sakit hingga meninggal. Danarlah yang sekali lagi mengulurkan tangan menggantikan posisi Ibu. Tania yang sedari dulu telah menampakkan kecerdasan, berhasil lolos dalam tes beasiswa ke sebuah sekolah unggulan di Singapura. Dengan bujukan halus Danar, Tania menerima tawaran tersebut. Sayangnya, perpisahan dan jarak yang terentang tak mampu mengikis rasa kagum dan cinta Tania. Akankah cinta itu berbalas, meskipun jelas-jelas Danar memutuskan menikahi perempuan lain? Cari tahu lengkapnya dalam novel ini.

Ulasan:


    Novel yang tak terlampau tebal ini berkisah dari sudut pandang orang pertama/aku (Tania). Pemilihan ini saya rasa tepat, mengingat kisah cinta yang diangkat, yang bisa terbilang sebagai cinta ‘terlarang’ dan menimbulkan dugaan-dugaan, ketidakpastian, terutama dari pihak sang lelaki. Dari pemilihan sudut pandang ini pun Tere Liye seolah ingin menunjukkan kemampuan sebagai seorang novelis pria yang mampu memainkan peran sebagai tokoh wanita.


    Alur maju-mundur yang diterapkan mencoba mengaduk-aduk rasa penasaran dan perasaan pembaca. Dan meski setting toko buku berarsitektur avant-garde yang dipakai paling banyak dalam keseluruhan adegan terkesan sederhana, namun penulis mampu menebarkan aura keindahan sekaligus misteri dari penggalan-penggalan kenangan sang tokoh utama. Setting yang tak kalah menarik adalah di sepetak tanah dengan pohon linden di mana keluarga kecil Tania awalnya tinggal dalam rumah kardus. Mungkin ketika membaca di awal kisah, setting ini tak kentara keutamaannya, namun di ujung cerita, latar ini digunakan sebagai sebuah twist yang cukup menarik. Tere Liye juga mengambil Singapura sebagai setting lain dan menurut saya ini cukup unik sekaligus relevan dengan alur-plot cerita.


    Saya terkesan dengan dua alinea pembuka bab pertama. Cukup terkesan, hingga mampu ‘menyihir’ saya sehingga menggerakkan jemari membuka lembar berikutnya karena disergap rasa ingin tahu.


    “Malam ini hujan turun lagi. Seperti malam-malam yang lalu. Menyenangkan. Membuat suasana di luar terlihat damai menentramkan. Tidak deras benar. Hanya gerimis. Itu pun jarang-jarang, tetapi cukup untuk membuat indah kerlip lampu.
    Aku menghela napas panjang. Tanganku pelan menyentuh kaca yang berembun. Dingin seketika menyergap ujung jari, mengalir ke telapak tangan, melalui pergelangan, menerobos siku, bahu, kemudian tiba di hatiku.
    Membekukan seluruh perasaan.
    Mengkristalkan semua keinginan.
    Malam ini, semua cerita harus usai.”
(halaman 7)

    Dalam deskripsi usia, Tere Liye acapkali mengulang-ulang hitungan umur Tania, Dede, dan Danar. Menurut saya, meski terlhat membosankan, ini menjadi sebuah penekanan tentang jarak umur yang terentang yang menjadi tembok penghalang cinta Tania.


    Eksplorasi karakter ketiga tokoh utama juga apik, disematkan dalam narasi, deskripsi, maupun dialog. Tania yang cantik, cerdas, pemberani. Danar yang dewasa, bertanggung jawab, dan sangat pandai menyembunyikan perasaan. Dede yang gemar bermain Lego hingga memiliki photographic memory yang bagus. Uniknya, jika pembaca jeli, Tere Liye menyelipkan identitas dan karakter dirinya dalam diri Danar. Seperti nama pena (maibelopah, yang merupakan alamat surel Tere Liye) dan profesi kedua Danar sebagai penulis.


    Dua kutipan favorit saya dalam novel ini adalah:
    “Kebaikan itu seperti pesawat terbang, Tania. Jendela-jendela bergetar, layar teve bergoyang, telepon genggam terinduksi saat pesawat itu lewat. Kebaikan merambat tanpa mengenal batas. Bagai garpu tala yang beresonansi, kebaikan menyebar dengan cepat.” (halaman 184)


    “Tak ada yang sempurna dalam kehidupan ini. Dia memang amat sempurna. Tabiatnya, kebaikannya, semuanya. Tetapi dia tidak sempurna.” (halaman 256)


Selain itu, di halaman-halaman awal bab pertama, penulis menyisipkan kritikan ,sindiran atas fenomena kehidupan lewat deskripsi yang apik.


Secara keseluruhan, novel ini menarik, indah, dengan cara yang tak biasa. Saya cukup terpukau dan terhanyut dengan cerita yang mengalir hingga di halaman terakhir. Kisah cinta terlarang yang diangkat cukup berbeda dari kisah-kisah yang pernah ada dan ending yang dipilih logis sekaligus memuaskan pembaca seperti saya. Kisah Tania dan Danar menuturkan makna cinta yang sempurna dari orang-orang yang tak sempurna.

Minggu, 09 November 2014

[resensi] Bintang yang Terbit dari Hati

Posted by Menukil Aksara | 3:01:00 PM Categories:


Judul Novel       : Bintang Jindo
Penulis                : Susanti Hara
Ilustrasi Isi         : Syarifah Tika
Ilustrasi Sampul : JJ Wind
Penyunting Naskah : Huda Wahid dan Dian Hartati
Penyunting Ilustrasi : Kulniya Sally
Proofreader       : May May Maysarah
Desain Isi           : Nisa Nafisah
Desain Sampul  : Kulniya Sally
Penerbit              : DAR! Mizan
Cetakan               : I, September 2014
Jumlah Halaman : 132 hlm.; ilust.: 21 cm –(Novel)
ISBN                    : 978-602-242-443-7



Blurb:

    “Hyo Ra, apa kamu tidak mau menjadi artis?”
    “Tidak,” geleng Hyo Ra. “Impianku hanya ingin membuat Ayah dan Ibu bahagia.”


    Hyo Ra adalah gadis kecil berusia sepuluh tahun yang sederhana. Impiannya hanyalah membahagiakan orangtuanya. Berbeda dengan Youra si Gadis Centil manja dan ceriwis yang ingin menjadi bintang film terkenal. Bahkan Youra mengaku kalau wajahnya mirip artis tenar di Korea. Youra sering bergaya narsis saat difoto. Lalu dia mengirimkan foto-fotonya ke majalah atau mengunggahnya ke internet. Siapa tahu Youra mendadak jadi artis tenar.


    Perjalanan hidup memang tak pernah bisa ditebak. Seorang sutradara sekaligus pencari bakat berkunjung ke kampung nelayan. Dia sedang mencari bintang baru untuk bermain di film terbarunya. Nah, siapa pemeran utamanya? Kenapa Youra mendorong Hyo Ra sampai ambruk dan tak sadarkan diri? Siapa yang merusak kamera kesayangan sang sutradara?



Sinopsis:


    K-novel (Korean Novel) yang diperuntukkan khusus bagi pembaca belia ini berlatar belakang di sebuah pulau bernama Pulau Jindo, di Korea Selatan. Tiga gadis cilik yang bersahabat menjadi tokoh utama cerita. Ada Hyo Ra, gadis pendiam, sederhana, nan baik hati. Ada pula Eun Hee, gadis yang setahun lebih tua dari Hyo Ra yang bercita-cita menjadi guru. Terakhir, gadis sebaya Eun Hee, berpenampilan paling “wah”, akibat terobsesi menjadi artis ternama seperti seorang idolanya, yang bernama Youra.


    Ketiga gadis kecil itu hidup berdampingan dengan warga lain di sebuah kampung nelayan yang damai. Festival tahunan yang biasa dijuluki Pesta Laut Terbelah Jindo, Jindo Yengdeung Festival, menjadi ajang bersukacita bagi seluruh penduduk asli maupun wisatawan yang berkunjung. Pesta ini pun tak luput dari perhatian Hyo Ra dan kedua sahabatnya.


    Momen langka ini sekaligus menjadi kesempatan berfoto ria dan mengabadikan pose-pose terbaik bagi Youra. Dalam pemikirannya, foto-fotonya nanti akan diunggah ke internet dan dia bermimpi akan ada seorang produser atau pencari bakat yang melihat dan mengorbitkannya menjadi artis. Eun Hee yang kurang menyukai ambisi Youra ini kerap menjaili.


    Tak lama berselang, seorang pria asing berpenampilan nyentrik tanpa sengaja melihat Hyo Ra dan ayahnya yang begitu akrab. Pria tersebut juga diam-diam mengambil foto-foto Hyo Ra. Hingga sebuah insiden menyebabkan Hyo Ra harus berurusan dengan pria itu. Tanpa sepengetahuan Hyo Ra, Eun Hee yang penasaran mencari tahu lewat internet tentang jati diri pria aneh ini dan tiada disangka, pria ini ternyata orang penting dalam dunia hiburan di Seoul.


    Ketika Hyo Ra sedang kebingungan bagaimana menyelesaikan masalahnya dengan pria yang biasa dipanggil Yong Gun tersebut, Paman Yong Gun justru menawarkan penyelesaian yang mengejutkan. Kesepakatan yang terjadi kemudianlah yang membawa perubahan cukup drastis pada kehidupan Hyo Ra. Bagaimana kisah petualangan Hyo Ra bersama kedua sahabatnya selanjutnya? Apa pula rahasia besar yang selama ini disimpan Hyo Ra dengan baik? Baca saja novel manis karya Kak Susanti Hara ini dan temukan hikmah-hikmah menarik di dalamnya.




Ulasan Novel:


    Novel  yang berdesain sampul manis ini memang terbilang unik. Terlahir dari sebuah ide menarik seiring booming-nya dunia hiburan Korea Selatan di banyak negara, termasuk Indonesia, novel ini dikemas dalam nuansa Korea yang khas. Judulnya saja akan mengundang tanya, apa Jindo itu? Apakah itu sebuah nama tempat, budaya, atau bahkan nama seorang tokoh? Judul dilengkapi pula dengan teks huruf Hangul. Di dalamnya nanti pun kita akan cukup banyak menemukan istilah-istilah khas Korea Selatan, termasuk bahasa gaul di sana.


    Uniknya lagi, meskipun terinspirasi dari dunia hiburan yang sedang bersinar terang di Korea Selatan, kisahnya justru berpusat di sebuah pulau, yang bahkan nyaris luput dari publikasi gencar secara mendunia. Dibandingkan Pulau Jeju atau Pulau Nami, misalnya, yang melejit berkat beberapa serial drama yang mengambil adegan di kedua pulau tersebut. Di sini, Kak Susanti Hara cerdik dan kreatif dengan mengunggulkan sesuatu yang baru namun tak kalah menarik. Coba simak narasi berikut yang menjelaskan alasan dipilihnya Pulau Jindo sebagai latar belakang cerita.


    “Lautan yang sebelumnya masih ditutupi air, secara tiba-tiba terbagi menjadi dua. Dalam sekejap, air laut surut. Dasarnya mengering dan terbelah, membentuk jalur daratan sementara. Jalur penghubung antara Pulau Jindo dan Pulau Modo.” (halaman 13)


    Karakter ketiga tokoh cilik yang menjadi pusat cerita juga cukup kuat. Ketiga gadis dalam kisah Bintang Jindo ini mewakili tiga karakter yang biasa kita jumpai di kehidupan nyata. Tengok saja karakter Youra yang terobsesi menjadi artis terkenal. Bukankah fenomena riuhnya ajang-ajang pencarian bakat, terutama di televisi telah mempengaruhi banyak anak-anak di negeri kita juga? Begitu derasnya gempuran ini hingga banyak anak yang rela meninggalkan sementara bangku sekolah, bersibuk-sibuk mengunggah aneka foto diri dan video penampilan mereka lewat situs-situs gratis di internet. Dalam kisah Youra, dilukiskan lewat penggalan adegan berikut:


    “...Menyeberangi Pulau Jindo. Meraih impianku menjadi artis.”
    “Apa?” Eun Hee terbelalak. “Pulau Modo bukan tempat pemilihan artis.”
    “Ya, aku tahu. Tapi, setelah aku kirim ceritaku menyeberangi Laut Jindo ke majalah-majalah, memasukkannya ke internet, bisa saja tiba-tiba aku terkenal,” bela Youra sambil menyisir poninya dengan jari.
(hal. 16-17)


    Untuk mengimbangi karakter Youra, dimunculkanlah sosok Hyo Ra yang sederhana, khas pribadi anak kampung nelayan yang begitu mencintai pantai dan kehidupan bersama kedua orangtuanya. Maka, pemilihan Pulau Jindo menjadi berdasar kuat dalam kisah ini., selain sebagai gambaran bahwa daerah pinggiran atau pedalaman pun tak luput dari pengaruh modernitas.


    “Hyo Ra duduk di pasir tepian pantai. Kedua lututnya menopang dagu. Dia menunggu matahari terbenam. Bagaimanapun keadaannya, menyaksikan langsung matahari merah dan kuning keemasan berpadu merupakan hal menyenangkan.” (hal. 28)


    Sedangkan karakter Eun Hee yang sangat menyukai dunia blogging di usianya yang masih dini, menjadi gambaran lain dunia anak masa kini. Tak dapat disanggah, pesatnya perkembangan teknologi turut berimbas pada melek teknologi di kalangan anak-anak maupun remaja. Tak jarang, maraknya media sosial disalahgunakan oleh kaum muda untuk mengumbar hal-hal pribadi yang kurang layak. Di dalam kisah novel ini, hal tersebut kemudian diarahkan dengan menyelipkan adegan Eun Hee bersama seorang guru.


    “Bu Guru menyarankan Y untuk menuliskan ceritanya di blog pribadi dengan cara berbeda. Misalnya, mengganti nama menjadi huruf atau angka.” (hal. 44)


    Kak Susanti Hara juga cerdik menyisipkan himbauan pada adik-adik yang terlampau asyik dengan dunia maya agar lebih banyak meluangkan waktu bersama keluarga atau teman-teman di dunia nyata.


    “Aku juga berharap temanku menyukai memasak dan akrab dengan neneknya, bukan hanya akrab dengan komputer. Apalagi, menulis terus di blog-nya. Kasihan, kan, neneknya?” (hal. 48)


    Kebiasaan Hyo Ra menabung di celengan Piggy Bank bisa menjadi contoh baik pula bagi anak-anak. Kak Susanti Hara pun mengisahkan hal ini dengan cara yang menarik lewat kisah pengalaman Hyo Ra.


    “Kenangan paling menyenangkan di Seoul adalah ketika Paman Ji Woo mengajak Hyo Ra ke bank... Waktu itu, Hyo Ra menertawakan seorang pembawa celengan yang mau menukarkan uang. Lelaki pembawa celengan itu membuka celengan di depan kasir.” (hal. 25)


    Ketika sebuah tawaran bermain film datang dari seorang sutradara ternama, tanpa kesengajaan, tanpa perencanaan, apalagi obsesi untuk menjadi terkenal, hal ini seakan hendak mengingatkan anak-anak bahwa menjadi anak yang tulus, baik dan rendah hati itu lebih terpuji daripada melakukan segala cara demi sebuah ketenaran. Ketulusan secara otomatis akan menarik orang-orang ke dekat kita tanpa kita harus bersusah-payah mengupayakan agar mereka ‘menoleh’.    


    Dan ketika ketenaran itu diraih, hendaknya seseorang tidak melupakan keluarga, sahabat, dan asal-usulnya. Kejutan manis akan menanti jika tetap bersikap rendah hati.


    “Paman sudah berjanji kalau aku tidak akan bermain film jauh dari tempat ini.”
    “Kamu tidak akan ikut ke Seoul, Hyo Ra. Kamu tunggu saja kedatangan kami setelah shooting Shin Mi di Seoul selesai.”


    Hyo Ra lega sekali. Dia bisa merasakan kebebasannya kembali. (halaman 117)


    Adik-adik akan dihadiahi kejutan manis lain di akhir cerita yang menyematkan pelajaran berarti sekaligus mengungkapkan satu rahasia besar Hyo Ra dan alasan mengapa dia rajin menabung di celengan Piggy Bank.


    Satu catatan dari saya, di awal buku, terdapat ruang khusus bagi pengenalan tokoh. Di bagian tokoh Paman Park Yong Gun, ada baiknya tetap menjaga kejutan dengan tidak mengungkap secara gamblang apa hubungannya dengan Hyo Ra. Mungkin kalimatnya bisa diubah menjadi: “Produser, sutradara, sekaligus pencari bakat yang telah mengorbitkan banyak artis.”



Penutup:


    Sesudah membaca tuntas, saya memuji kemahiran Kak Susanti Hara dalam menuturkan kisah dengan setting luar negeri ini. Riset yang cukup baik tergambar dari deskripsi yang apik, sisipan dialog-dialog bernuansa lokal, dan gaya hidup penduduk asli Korea Selatan. Gaya bahasa, alur-plot yang diterapkan saya rasa sudah cukup mudah dipahami anak-anak usia sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama. Semoga novel ini menjadi bacaan yang menginspirasi bagi anak-anak Indonesia di tengah gempuran arus modernitas yang dahsyat.
   
   
   

[resensi] Kisah Menggelitik Si Gila Belanja

Posted by Menukil Aksara | 12:09:00 PM Categories:

Judul Novel          : Confessions of a Shopaholic
Penulis                   : Sophie Kinsella
Alih Bahasa           : Ade Dina Sigarlaki
Penerbit                 : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan Ketujuh  : Januari 2011
Jumlah Halaman : 472 hlm.; 18 cm
ISBN                       : 978-979-22-0236

Blurb:


    Rebecca Bloomwood adalah seorang jurnalis. Pekerjaannya menulis artikel tentang cara mengatur keuangan. Ia menghabiskan waktu luangnya dengan... berbelanja.


    Terapi belanja adalah jawaban untuk semua masalahnya. Namun belakangan Becky dikejar-kejar surat-surat tagihan. Ia tahu ia harus berhenti, namun ia tidak bisa melakukannya. Ia mencoba mengurangi pengeluaran, mencoba memperbesar penghasilan, tapi tak ada yang berhasil. Satu-satunya penghiburan adalah membeli sesuatu... sesuatu untuk dirinya sendiri...


    Akhirnya sebuah kisah mengusik hatinya dan menggugah rasa tanggung jawabnya, dan artikelnya di halaman depan menggulirkan rangkaian kejadian yang akan mengubah hidupnya—selamanya.

Sinopsis:


    Rebecca Bloomwood, seorang jurnalis dari sebuah majalah keuangan Successful Saving di London, sedang dilanda kegalauan hebat. Tagihan-tagihan mulai menumpuk dan menghantui hari-hari yang sebelumnya tenang. Sesungguhnya hari-hari tenang yang semu, yang menunggu sebuah bom meledak di waktu yang tepat. Kegilaaannya berbelanja—terutama menggunakan fasilitas kartu kredit—yang menyeretnya pada onggokan tagihan pembayaran tersebut. Sebelum benar-benar menyadari kekeliruannya, otak kreatif dan imajinatif  Rebecca selalu siap sedia dengan segudang alasan pembenaran atas kelakuannya. Angan-angan semu tentang mendadak kaya, kejatuhan rezeki entah dari mana, investasi masa depan lewat penampilan, semakin menyurukkannya ke kubangan masalah.


    Di lain pihak, Luke Brandon, seorang pengusaha muda sukses bersama perusahaan jasa public relation-nya acapkali berjumpa dengan Rebecca baik disengaja maupun kebetulan karena Brandon Communications mewakili banyak klien yang bergerak di dunia keuangan.   Rebecca yang kurang suka dengan karakter Luke yang sinis, dingin, dan kaku sempat terlibat insiden kurang menyenangkan dengannya suatu hari. 


    Di saat bersamaan. seorang penagih dari sebuah bank bernama Derek Smeath gigih meminta pertemuan dengan Rebecca demi menyelesaikan tunggakan pembayaran kartu kredit. Rebecca yang lihai berulang kali selamat dari pertemuan yang tak dikehendaki itu, apalagi mengingat kondisi keuangannya yang belum memungkinkan melunasi utang. Ironisnya, alih-alih menekan kegilaan belanja, Rebecca tetap berkali-kali jatuh di lubang kekhilafan yang sama. Dua upaya besar dengan mengurangi pengeluaran dan memperbesar penghasilan gagal dijalaninya. Rebecca pun memilih jalan pintas dengan membeli tiket lotere. Naas, itu pun berujung pada hasil nol. 


    Suatu hari, di ujung keputusasaannya, Rebecca melarikan diri ke rumah orangtuanya di luar kota. Di saat itulah, pasangan tetangganya bercerita bahwa mereka baru saja tertimpa kemalangan, yang salah satunya diakibatkan saran menjerumuskan Rebecca. Demi menebus kesalahan itu, Rebecca bertekad menulis artikel yang berisi analisis terkait pengalaman nyata pasangan tersebut. Artikel inilah yang lantas membawanya ke pintu kehidupan baru. Akankah Rebecca berhasil mengenyahkan kegilaan belanjanya? Bagaimana nasib hubungannya dengan Luke, yang belakangan diketahui menaruh hati padanya? Anda bisa membaca utuh kisah menggelitik ini dalam novel terjemahan penulis Sophie Kinsela bergenre comedy romance ini.

Review:


    Tak banyak menurut saya novel comedy romance bersetting Inggris dan mengangkat tema keuangan dikaitkan dengan kegilaan belanja. Penulis cukup cerdik membidik area yang belum banyak dijamah dan mengemasnya secara apik. Terbukti, novel ini telah diadaptasi ke layar lebar, dan meskipun ada beberapa perubahan dalam alur-plot kisahnya dalam versi film, ide asli tetap tak kalah menarik. 


    Karakter tokoh wanita utama, Rebecca Bloomwood pun terbilang unik. Secara profesi, dia bisa dikatakan beruntung dalam arti menekuni suatu bidang yang tak terlalu dikuasai dan diminati tapi orang-orang sekitar menganggap dia seorang pakar. Simak saja penuturan sang tokoh dalam novel:


    “Aku sendiri mengawali karierku dengan menulis untuk Personal Investment Periodical. Aku belajar mencontek berita press release dan terkantuk-kantuk dalam konferensi pers, melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang menunjukkan seolah-olah aku tahu apa yang kubicarakan. Sesudah satu setengah tahun—percaya atau tidak—aku diminta bekerja di Successful Saving.”
(halaman 21)


    Sayangnya, keberuntungan ini bukannya disyukuri dan dimanfaatkan sebaik mungkin, malah justru menjadikannya ogah-ogahan dan lupa diri. Rebecca bahkan meliarkan kegemarannya berbelanja, terutama barang-barang terkait fashion. 


    “Aku memang punya kebiasaan merinci seluruh pakaian yang kukenakan, seolah untuk ditulis di halaman majalah mode. Aku sudah melakukannya selama bertahun-tahun—sejak getol membaca Just Seventeen.”
(halaman 25)


    Obsesinya terkait fashion ini berimbas pada kegilaannya yang akan mendadak muncul setiap kali melewati toko busana bermerk terkenal yang sedang mengadakan program promo, cuci gudang, atau kerap disebut SALE.


    “Di jendela Denny and George tampaklah tanda kecil yang tak begitu mencolok. Dasarnya hijau tua dengan huruf-huruf krem, bertuliskan: SALE. Aku terpaku menatap tulisan itu, jantungku berdegup keras.”
(hal. 26)


    Cuplikan di atas menggambarkan betapa godaan itu demikian dahsyat bagi seorang penggila belanja seperti Rebecca. Dan fenomena semacam ini bisa jadi menimpa kita atau orang-orang terdekat kita. Bukankah begitu? Juga kebiasaannya yang merasa tidak bisa hidup tanpa mengunjungi toko dalam jangka waktu lama.


    “... aku hampir saja mengintip untuk mencari label harga ketika teringat di mana aku berada. Tentu saja. Ini bukan toko.”
(hal. 140)


    “Dan aneh sekali, sepertinya aku terus menerus mendengar denting mesin kasir. Pasti aku berkhayal.” (hal. 141)


    “Ya Tuhan, tak salah lagi! Itu sebuah toko! Ada toko, persis di hadapanku! Tiba-tiba langkahku menjadi ringan; tenagaku pulih dengan ajaib.”
(halaman 142)


    Ironisnya lagi, bukan sekali-dua kali Rebecca tertipu dengan program promo atau sale besar-besaran demi mengincar produk bermerk tertentu. Ia acapkali berakhir menyesali pilihannya dan berujung pada alibi yang diciptakan otak kreatifnya sebagai pembelaan diri.


    “Jadi, aku beli sebotol besar parfum Samsara untukku sendiri dan itu menambah 150 poin ekstra pada kartuku—lalu aku mendapat alat pengeriting rambut itu gratis! Satu-satunya yang kusayangkan, aku tidak begitu suka parfum Samsara—tapi itu tak kusadari sampai aku tiba di rumah.” (hal, 94)


    “Ya Tuhan. Kau tahu, persoalannya, sudah lama sekali aku mencari kardigan warna abu-abu yang bagus. Sungguh... Dan harganya hanya 45 pound. Dan aku bisa membayarnya dengan VISA... Betul, ini adalah sebuah investasi.” (halaman 95)


    Lucunya lagi, Rebecca juga dengan loyalnya menghadiahi diri sendiri untuk sebuah pencapaian yang tak bisa dibilang signifikan. Ujung-ujungnya, sebagai pembenaran atas hasrat berbelanjanya.


    “Sesudah begitu berbudaya sepagian, aku pantas mendapat sedikit hadiah di siang harinya, jadi aku membeli majalah Vogue dan sekantong Minstrel.” (hal. 145)


    Digambarkan pula bahwa obsesi belanja Rebecca ini sebenarnya tak lain adalah pelarian dari setiap masalah yang menekan.


    “Setiap kali aku menambah sesuatu ke atas tumpukan belanjaanku, ada semburan perasaan senang, seperti kembang api yang memancar. Dan untuk sejenak, semuanya teasa beres.” (hal. 319)


    Ketika sudah terjepit dengan kejaran penagih utang kartu kredit, kegagalan menekan pengeluaran ataupun memperbesar penghasilan, Rebecca pun dengan lihainya berkelit. Sebuah tindakan pengecut untuk lari dari masalah nyata yang terhampar di depan mata. Atau mencari jalan pintas untuk mengakhiri masalah.


    “Dan begitulah, dalam perjalanan menuju rumah orangtuaku aku mampir di pompa bensin untuk membeli dua tiket lotere.”
(hal. 59)


    “Pilihan pertama: menemui mereka dan berterus terang. Aku tak bisa. Pokoknya tak bisa... Pilihan kedua: menemui mereka dan berbohong... Pilihan ketiga: jangan temui mereka... Pilihan keempat: temui mereka dengan cek sebesar seribu pound... Pilihan kelima: melarikan diri.” (hal. 275-277)


    Tentu saja, jalan pintas yang ditempuh dan pelarian yang dijalani tak membuahkan hasil memuaskan. Akhirnya, Rebecca menemukan suatu jalan keluar yang tak diduga-duga berkat kepeduliannya pada sepasang suami-istri kenalan keluarga yang merasa ditipu oleh program promo asuransi. Pengetahuannya, kreativitasnya, yang selama ini dibiarkan tersembunyi di dasar benak, tenggelam oleh obsesi belanja, terkuak sudah.

Penutup:


    Secara keseluruhan, kisah ini menarik. Di banyak halaman, kita akan disuguhi pemandangan surat-menyurat tagihan pembayaran untuk Rebecca, istilah-istilah dunia keuangan, kelihaian Rebecca berkelit, imajinasinya yang kelewatan dan menggelikan, sehingga menjadi sebuah lelucon yang sebenarnya memprihatinkan. Karakter sang tokoh kuat dan meskipun dia adalah tokoh utama pembaca justru seringkali dibuat kesal oleh ulahnya, namun secara bersamaan menginginkan dia berubah dan bisa menyelesaikan masalah. Sebuah penokohan yang tak biasa. Yang mungkin cukup disayangkan adalah karakter Luke Brandon, yang kurang dieksplor, terutama terkait interaksinya dengan Rebecca. Tak mengherankan jika di layar lebar, terjadi perubahan total di bagian ini.


    Penerjemahan novel berbahasa asli Inggris ini juga bagus, kosa katanya mudah dipahami dan menarik, membantu pembaca terlarut dengan alur cerita. Desain sampulnya yang didominasi warna pink dengan ilustrasi kantong-kantong belanja sangat pas dengan isi cerita dan tokoh utamanya.


    Walaupun tetap ada typo di beberapa kata dan kalimat, novel ini cukup mengasyikkan untuk dibaca, terutama oleh kaum wanita sebagai hiburan maupun penyadaran akan fenomena yang cukup familier dan banyak pekajaran menarik lain. Saya berikan 3,5 bintang dari 5 bintang untuk novel terjemahan ini.
   
   
   
  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube