Sabtu, 08 November 2014

[resensi] Cinta Sejati yang Terlambat Disadari

Posted by Menukil Aksara | 7:01:00 AM Categories:


Judul Novel : Rain and Tears – until the last day in my life
Penulis     : Faisal Oddang
Editor      : Vita Brevis
Desainer Cover : Ann_Retiree
Layouter       : Fitri Raharjo
Pracetak       : Endang
Cetakan I      : Maret 2014
Penerbit       : PING!!!
Jumlah Hal.    : 315 hal.

Blurb:


    Percayalah, demi cinta, tak sekadar rindu yang membawamu kembali. Sebab luka juga adalah jalan pulang. Dan air mata akan setia membuka pintu masa lalu. Setiap rindu punya alamatnya masing-masing tapi tak semua alamat dapat ditempuh dengan selamat.

Sinopsis:


    Kisah seorang pemuda bernama Faisal Oddang di Wajo, Sulawesi Selatan yang sedang dalam pencarian akan cinta sejati. Dia sempat melabuhkan cinta pada seorang gadis bernama Naf, teman sebaya masa sekolah. Hubungan cinta dua remaja ini sempat tidak direstui orangtua Naf, namun dengan kegigihan akhirnya mereka luluh juga. Sayang, definisi cinta Faisal dan Naf ternyata bertolak belakang. Faisal yang mulanya mengira Naf akan mengikuti gaya percintaan ala anak muda yang cukup bebas, pacaran intim, kecewa sesudah menyadari bahwa Naf menginginkan cinta dalam makna lain, cinta yang suci, yang menanti hingga waktu yang tepat tiba.
    Dibebat kekecewaan, Faisal memutuskan hubungan, meski tetap berpura-pura baik di depan kedua orangtua. Di masa-masa akhir sekolah, petualangannya sejenak di kota rantau membawa pada perkenalan dengan seorang gadis lebih tua dengan gaya hidup bebasnya bernama Zha. Perkenalan yang terus berlanjut hingga masa kuliah. Faisal menemukan cinta yang disangka dicari selama ini. ironisnya, mereka terjerumus kepada pergaulan yang melampaui batas hingga Zha hamil. Mereka pun menikah. Tak dinyana, suatu hari, Faisal menjumpai satu rahasia besar yang membuatnya harus kehilangan Zha, dan terancam akan kehilangan diri sendiri dan anak mereka. Di masa-masa pahit inilah Naf kembali hadir dan menyadarkan Faisal akan cinta sejati yang selama ini dia cari namun terlambat disadari.

Review:


    “Kamu temui aku dalam ringkih paling perih. Lebat duka amat suram di sekujur tubuhku. Cinta pernah terjatuh di tempat yang salah, hingga cinta pun terluka, karenaku—oleh takdir. Juga, cinta pernah menjelma dingin yang salah, di musim hujan yang menandaskan retak-retak rindu. Cinta juga pernah, menjadi panas yang salah, di kemarau parau yang merindui dingin aminkan ingin.” (halaman 7-8)


    Sepenggal paragraf di atas menjadi prolog, pembuka fragmen cerita novel remaja karya perdana Faisal Oddang, penulis muda kelahiran tahun 1993 ini. Sebuah prolog yang manis puitis sekaligus disisipi perih. Sebagai sebuah novel percintaan remaja, karya yang satu ini cukup unik dari gaya bahasa dan sudut pandang dalam menilai kehidupan.  Jika biasanya sebuah novel remaja yang dihasilkan penulis muda memakai bahasa yang sederhana, banyak sisipan bahasa gaul dalam dialognya, tapi tidak dengan novel ini. Secara keseluruhan, novel ini dihiasi diksi yang indah, yang lekat kaitannya dengan penulis yang seorang penyair. Pun, dalam cerpen-cerpennya di media, penulis potensial ini memiliki karakter pada pengulangan diksi-sinonim. Deskripsi latar dan penokohan kadang-kadang dinarasikan secara puitis sehingga lebih ‘padat’ (tapi penafsirannya melampaui batas makna denotatifnya). Karakter tulisan ini juga disorot oleh Basri, redaktur budaya harian “Fajar”, di bagian belakang sebagai sebuah endorsement. Simak penggalan berikut:
    “Tak ada gundah segaduh ini. Tak pernah ada bimbang segamang ini. Tak pernah ada rasa, serasa ini. Senyum Naf membayang—melayang-layang—di sekitar mata yang remang—mata yang penuh kenang—mata yang mulai tak tenang—menggenang rasa paling bimbang.” (hal. 103)
    “Sungguh aku selalu berdoa agar musim tak pernah menanggalkan dan meninggalkan hujan sebagai tamu bagi hangat pagut pelukku... Cinta macam apa yang hanya menukar tatap, menakar senyum...” (hal. 160)


    Novelis muda ini juga piawai dalam deskripsi. Saya ambil beberapa cuplikan di sini:
    “Semua berubah setelah aku membacakan puisi cintaku buat Naf. Aku mulai menyimpulkan bahwa Salim juga cinta kepada gadis pemilik senyum penjara itu. Ya, senyum penjara, dan akulah tahanan yang telah divonis hukuman seumur hidup di dalamnya.” (hal. 61)
    “Waktu bergulir amat lamban, sama halnya matahari yang tak jemu menegaki ubun-ubun. Jarum gendut pada jam kelasku yang berwarna putih gading melata sangat lambat. Jarum itu tersuruk dan menanjak bak siput yang sedang berpuasa. Sangat lelet. Peluhku berceceran hingga memburamkan tulisan model cakar ayam di bukuku. Jam terakhir yang sangat menyiksa” (hal. 128-129)
    Kita juga akan tersenyum-senyum kala disuguhi untaian puisi cinta di beberapa halamannya.


Mengenai gaya menulisnya ini, bahkan Faisal Oddang tak ragu menyatakannya dalam sebuah deskripsi:
    “Aku memiliki kebiasaan yang sangat suka menulis cerita beraliran ekspresionisme—menguntit Gustave Flaubert—dengan tulisannya yang timbul dari gejolak jiwa dari kenyataan yang ia lihat... Sekarang entah kenapa gaya menulisku berubah... Barangkali jika menulis sebuah novel akan lahir karya yang menyerupai gaya novel Romeo and Juiet karya William Shakespeare atau Les Miserables karya Victor Hugo.” (hal. 165)


    Untuk memperkuat deskripsi setting lokal, penulis menyelipkan beberapa kekhasan daerahnya:
    “Aku memang sangat suka makan jangkalote, gorengan khas daerahku—isinya: macam-macam potongan ubi dan aneka jenis sayuran.” (hal. 119)
    “Gendang ditabuh dengan irama yang memukul-mukul relungku. Enam orang penari dengan baju bodo berwarna biru—pakaian khas suku Bugis-Makasar—sedang menarikan tari lipa’ sabbe’. Lipa’ sabbe’ merupakan sarung hasil tenunan sutra masyarakat Wajo yang terkenal sampai mancanegara.” (hal. 225)


Cerita menggunakan sudut pandang orang pertama “aku” yang diawali dengan masa orientasi siswa di sebuah sekolah di Majauleng, Sulawesi Selatan dan setting cerita keseluruhan, ditambah nama tokoh utama yang mengingatkan pada nama penulis sendiri, mulanya membuat saya berpikir bahwa kisah ini diambil dari kisah nyata Faisal Oddang. Bahkan bertebaran banyak deskripsi dan narasi yang menyiratkan pengalaman pribadi, minat literasi, tokoh panutan yang sesuai dengan biodata penulis. Akibatnya, di awal hingga pertengahan cerita, saya sempat dihampiri bosan, karena menganggap ini kisah nyata percintaan remaja yang paling-paling tidak beda dengan cerita kebanyakan. Alur-plot cerita pun agak lambat bagi saya hingga mulai nampak konflik utama yang benar-benar menyulut emosi. Namun, penantian saya akhirnya tertebus di bagian menuju penghujung kisah dan asumsi itu musnah sudah. Di banyak bagian, penulis memang mengambil karakter pribadinya, namun kisah ini telah dibumbui penyedap fiksi yang nyata dan akhir tak terduga.


    “Aku selalu ingat kamu mengibaratkan cinta sebagai bunga mawar... Bunga yang tumbuh di tubuh tangkainya adalah cinta. Ketika hendak kamu petiki ia, itulah nafsu. Lantas bunga dalam genggammu—dalam genggam nafsu, membiarkan waktu tanggal begitu cepat. Layulah ia. Layulah cinta...  Kamu tidak boleh memetik bunga. Bunga mawar. Sebab pada waktunya, ia kan gugur juga. Di sanalah cinta telah berhasil menuntun dirinya. Di waktu nafsu telah sah. Setelah menikah.” (hal. 10)
    Petikan di atas kiranya cukup menggambarkan bagaimana penulis memahami cinta sejati dan arah tulisan yang dibuatnya dalam novel ini.

Penutup:


    Masih ada beberapa typo dan kekuranglogisan adegan di beberapa halamannya, juga judul yang menurut saya kurang menggambarkan isi dan ilustrasi bunga mawar yang terlampau banyak di halaman demi halamannya. Namun, secara keseluruhan novel ini cukup bagus untuk dibaca oleh kaum muda yang sedang terbelenggu dalam definisi pencarian jati diri. Kisah di dalamnya merupakan cermin hidup generasi muda masa sekarang, terutama bagaimana mereka menyalahartikan cinta dalam pacaran, HTS, Valentine’s Day, dan pernikahan. Faisal Oddang juga punya masa depan cerah sebagai penulis kuat. Saya berikan 3,5 bintang dari 5 bintang untuk novel terbitan PING!!! Ini.

2 komentar:

  1. Artikel yang bagus... semoga terus berkembang... Saya ingin berbagi wawancara dengan Victor Hugo (imajiner) di https://stenote-berkata.blogspot.com/2018/07/wawancara-dengan-victor_87.html

    BalasHapus

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube