Sabtu, 08 November 2014

[resensi] Sehimpun Kisah Bertutur Tentang Anomali

Posted by Menukil Aksara | 10:02:00 PM Categories:


Judul Buku      : La Rangku (kumpulan cerpen)
Penulis             : Niduparas Erlang
Editor               : F. Aziz Manna
Desain Sampul: Design @rtbook
Tata Letak       : Metta Fauziyah
Penerbit           : Yayasan Seni Surabaya, November 2011
ISBN                : 978-979-25-9420-1
Jumlah Halaman: viii+128 hal.



Pengantar:
   
Inti kerja sastra dan tentu saja seluruh bentuk seni lainnya termasuk kerja festival kesenian adalah dokumentasi. Dengan dokumentasi yang apik dan bermutu, kerja sastra dan seluruh bentuk seni lainnya termasuk ajang festival kesenian bisa dipanggil ulang, didiskusikan, dicari kelemahan dan kelebihan sehingga langgenglah sastra dan seni itu.


    Buku sehimpun cerita pendek ini merupakan wakil dari FSS 2011 yang mampu membaca kondisi sastra dan kesenian pada umumnya yang sedang mengalami proses anomali. Anomali adalah keganjilan, hal yang tidak normal, penyimpangan dari tata umum, tidak lazim, tidak konsisten, kontradiksi, tidak pantas. Anomali adalah ‘dunia’sehari-hari yang sedang kita hadapi sebagai pengarang.

Sinopsis:

Sepuluh cerpen yang dihimpun dalam satu buku berjudul La Rangku ini merupakan manuskrip pemenang kompetisi pada Festival Seni Surabaya 2011 sekaligus sekumpulan cerpen milik penulis yang pernah menghiasi media cetak lokal maupun nasional. 


Judul-judul di dalam kumpulan cerpen ini antara lain: Api Terus Menggelora Dalam Matanya, La Rangku, Tarawengkal, Pernikahan Itu, Balon Itu Menyimpan Sisa Napasnya, Re, Sayap Malaikat Ini Untukmu, Sesuatu Retak di Senja Itu, Aku Harus Tidur, Purna, Gaco, dan Sula. Kesepuluhnya memiliki kadar kualitas yang berimbang, ide yang setara cerlangnya, dan ending yang serupa tak terduga. Kisah-kisah yang terangkum di dalamnya mengangkat realitas yang biasa kita jumpai, namun dengan penyampaian dan bentuk cerita yang tidak realis murni.


Cerpen La Rangku sendiri yang dijadikan judul buku terinspirasi dari sebuah legenda yang dikisahkan dari mulut ke mulut tentang Kaghati dari Muna. Berkisah tentang seorang raja bernama La Pasindaedaeno yang mengorbankan anaknya, La Rangku. Di makam La Rangku kemudian konon ditumbuhi gadung, lantas dibuatlah layang-layang dari daun gadung tersebut dan benang dari serat nanas. Layang-layang itu disebut Kaghati yang diterbangkan selama tujuh hari tujuh malam lalu benangnya diputus pada malam terakhir. Suku Muna memercayai bahwa Kaghati terbang mencapai matahari dan memberkati mereka. Legenda ini lantas dipadukan dengan kisah lain masa kini tentang seorang anak yang kehilangan seorang ibu. Anak ini memiliki mimpi menjadi La Rangku, menjadi layang-layang, namun alih-alih menuju matahari ia berharap bisa mencapai rumah sang ibunda di surga. 


Kisah-kisah dalam kesembilan cerpen lain tak kalah menawannya. Ada kisah tentang perselingkuhan, fenomena ketidakadilan yang dialamai kalangan menengah ke bawah, tentang cinta dan trauma hebat.

Review:


    Tema “Anomali” yang diusung pada festival menghendaki keutuhan tema serta representasi kode bahasa, kode sastra, dan kode budaya dalam setiap manuskrip yang diikutsertakan. La Rangku mampu mewadahi persoalan anomali ke dalam sastra tanpa harus membuat teks sastra secara sadar disusun secara anomali. Manuskrip karya Niduparas Erlang ini memiliki landasan atau pijakan pada cerita rakyat atau tradisi yang menjadi subjek utama. Menjadi ambang antara tradisi dan modernisme, ambang antara agama dan kepercayaan, ambang antara rasionalitas dan irasionalitas-magis, lokal dan global. 


    “Ia tak tahu, mengapa ia bersikeras ingin mengetahui sejarah kelam perempuan itu, yang konon pernah terjebak dalam tragedi kemanusiaan semacam kasus trafiking yang mengakibatkannya diekspoitasi secara seksual.” (halaman 1-2)


    “Apalagi ketika perempuan bergincu merah darah itu, berkata dengan nada ketus, “Yang tak membawa ‘kartu sehat’ daftar belakangan.” (hal. 42)


    “Tetapi sayang, Sodik, anak semata wayang, dianggap sesepuh desa telah meracuni penduduk kampung dengan madzhab yang berbeda yang dibawanya dari pesantren. Hingga pengusiran secara halus pun dilancarkan para tetua kampung...” (halaman 46-47)


    Anomali yang terdapat di dalam tema cerita juga ditemukan dalam penyajian yang tidak realis murni alias ada cerpen yang mengusung aliran surealis, seperti dalam judul Pernikahan Itu dan Sula.


    “Lalu, sebuah pertanyaan muncul ke permukaan, seperti telah lama terpendam di kedalaman entah, dan menguap dengan bau kebusukan yang menyengat: “Siapakah aku?” Yang kemudian susul-menyusul dengan pertanyaan-pertanyaan berikutnya, dan berikutnya lagi. “Apakah si perempuan adalah Ibu? Si Lelaki adalah Ayah?” “Tapi mengapa?” “Adakah aku merupakan bukti mereka pernah saling bercinta?” (halaman 39)


    “... Taya seperti tersedot-terbetot sesuatu yang tak gampang dicerna. Sesuatu yang kasat mata, tak pernah nyata, tak pernah terjawab oleh fisika atau matematika yang telah lama ditinggalkannya di bangku sekolah. Sesuatu, yang barangkali sebentuk tangan-tangan malam yang mengendalikan kedua lengannya, juga sebentuk kepala yang menggantikan kepalanya. Dan di bawah kesadarannya, tanpa dimauinya, Taya melakukan segala yang diminta.” (hal. 101)


    Sebuah cerpen narasi yang apik membuat saya terkesan berjudul Aku Harus Tidur, Purna. Sang aktor utama bermonolog dengan dirinya, berkonflik dengan batinnya di tengah kesakitan. 


    Ending yang tak terduga di keseluruhan cerpen pun menjadi daya pikat tersendiri sekaligus menunjukkan kepiawaian sang penulis. Penulis menyadari betul bahwa karya sastra tidak dapat dilepaskan dari cara pandang, nilai-nilai, konstruksi, dan ideologinya sebagai pengarang. Namun juga tidak abai akan kesadaran berbahasa, pernak-pernik dan detail, rincian cerita, serta kesabaran berkisah. Penulis mampu menyuguhkan pesan yang padu dalam unsur-unsur intrinsik pembangun sebuah karya sastra. 


    Ciri khas lain dari gaya menulis Niduparas Erlang yang buat saya merupakan anomali itu sendiri adalah kegemarannya membentuk kata ulang yang tak biasa. Simak saja: berjalin-kelindan, menari-tari, berpeluk-cium, memukul-pukul, bepercik-mencelat, terbengong-melompong, menimpa-menusuk, dan masih banyak lagi. Juga sekelompok kosa kata yang jarang digunakan, semisal: menyenyum, terpiuh-piuh, mendusin,bersirobok, lamur, lelatu, dan sederet lainnya. Narasi-deskripsi yang khas, unik, pun berhasil disajikan penulis sehingga menambah cita rasa tinggi pada karyanya.


    “Merekam setiap gerak tubuhmu, menikmati gigil, memerhatikan sepi yang semakin beku di punggungmu, dan sesekali menikmati sejuring pipimu, sesudut matamu, ketika kamu menoleh.” (halaman 21)
    “Katamu: “Senja adalah sugesti semesta; menenangkan sekaligus mengerikan. Sebuah nuansa di antara. Muram tetapi menyenangkan.” (hal. 57)


    Kita juga akan memahami beberapa kecenderungan gaya penulis dari beberapa catatan kaki yang menjelaskan puisi-puisi yang sengaja diambil dengan gubahan dan dimasukkan ke dalam beberapa cerpen. Catatan kaki juga membantu menerangkan sejumlah istilah daerah yang digunakan dalam cerita. Di bagian akhir buku, pembaca mendapat bonus pemaparan juri dan panitia Festival Seni Surabaya terkait tema dan alasan mengapa manuskrip La Rangku ini terpilih sebagai pemenang.

Penutup:


   Tak dapat dipungkiri, masih saja ada celah kekurangan dalam manuskrip ini, terutama terkait kesalahan ketik, tanda baca, dan sejenisnya. Yang paling teringat di benak saya adalah pemakaian elipsis yang berlebihan. Walaupun begitu, secara keseluruhan, manuskrip ini bagus, pesan dan pendalaman karakter  di dalamnya kuat, unsur-unsur pembangun ceritanya pun kokoh. Saya menikmati proses membaca setiap cerpen, terbetot oleh alur-plot yang brilian, memendam rasa penasaran, untuk kemudian dihadiahi kejutan di akhir cerita. Saya berikan 4 bintang dari lima bintang bagi kumpulan cerpen ini.   
   

   

2 komentar:

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube