Jumat, 19 Desember 2014

[resensi] Kacamata Sukses Ibu: Bahagia dengan Konsep Ikhlas

Posted by Menukil Aksara | 11:39:00 PM Categories:


Judul Buku : Bahagia Ketika Ikhlas
Penulis        : Rena Puspa
Penerbit      : PT Elex Media Komputindo
Jumlah Hal. : 186 halaman
ISBN            : 978-602-02-4557-7
Tahun Terbit: 2014



“Merasa bahagia ketika hati ikhlas dalam menjalankan tugas sebagai ibu.”

    Sub judul tersebut otomatis mengerucutkan tebakan pembaca akan isi buku bersampul merah jambu dengan gambar ibu dan anak yang tampak dilingkupi kebahagiaan ini. Apakah standar bahagia itu dan kaitannya dengan ikhlas serta profesi sebagai seorang ibu?

    Berbagai kasus ekstrim mencuat melibatkan hubungan ibu-anak beberapa tahun terakhir, tak terkecuali di Indonesia. Salah satunya yang menggemparkan pemberitaan sejumlah media massa adalah kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Ibu Anik Koriah terhadap ketiga anaknya di Bandung. Padahal menilik latar belakang pendidikan si ibu yang notabene alumni sebuah institusi pendidikan ternama di Kota Kembang dan sepintas penampilannya yang agamis, publik bahkan orang yang mengenal tak akan menyangka ibu muda ini sanggup melakukan tindak tak berperikemanusiaan itu. Pengusutan yang kemudian berkembang meruncingkan pada sebab musabab yang lebih bersifat psikis akibat depresi berkepanjangan.

    Kasus-kasus ekstrim yang telah memukul telak kesadaran berbagai kalangan itu, juga menggelitik penulis buku Bahagia Ketika Ikhlas ini, Mbak Rena Puspa, untuk menelusuri lebih dalam mengenai beberapa penyebab stress yang menimpa ibu-ibu rumah tangga sekaligus mengenali solusi. Penulis juga mengenalkan mengenai konsep ikhlas, serta mencoba menawarkan sejumlah tips dalam rangka mengasah keterampilan hati untuk senantiasa ikhlas. Dari ikhlas yang diamalkan, diharapkan para ibu menggapai kebahagiaan dan sukses yang hakiki.

Ulasan:

    Dengan tampilan layout yang kalem, dihiasi pernik polkadot dan bunga pink, lengkap dengan daftar isi, buku ini seakan hendak memanjakan calon pembaca yang notabene didominasi oleh kaum ibu, sekaligus tampak pula upaya menonjolkan sisi feminin dari isi buku. Layout juga diperkuat dengan kolom-kolom berisi kutipan-kutipan penting pembahasan. Tentu saja hal ini mempermudah pembaca untuk menandai bagian-bagian penting per bab. Cocok jugalah bagi kaum ibu yang terkenal sibuk dan tak mau repot dengan aktivitas corat-coret stabilo atau memindahkan kutipan ke post it hehehe ....



    Sudah banyak, sih, buku dan artikel beredar dalam bentuk cetak maupun elektronik yang mengusung tema permasalahan ibu rumah tangga, tak terkecuali bahasan seputar menjadi ibu bahagia. Lantas, apa yang menjadi pembeda sekaligus nilai tambah dari buku manis ini?

•    mengupas secara runut dan cukup mendetail mengenai seluk-beluk dunia wanita. Para pembaca seolah diajak mengenali diri, menggali apa saja yang menjadi fitrah mereka sebagai wanita. Antara lain: ketika telah resmi menyandang status calon ibu yang disertai proses kehamilan dan kelahiran. Bab dua menguliti cukup tebal mengenai perubahan hormonal yang terjadi, gejala yang menyertai, serta solusi jika timbul permasalahan atau ketidaknyamanan tahap penyesuaian (hal. 13-37). Tak lupa selalu disertakan sumber jelas terkait pembahasan ilmiah

•    membahas penyebab-penyebab stres dari luar diri para ibu, yang erat kaitannya dengan hubungan interpersonal antara ibu-anak, istri-suami, ibu-anggota keluarga lain, juga peran ibu dalam menangani kegiatan domestik rumah tangga (hal. 39-82)

•    mengajak para ibu untuk jujur pada diri sendiri, lebih mencintai diri sebelum bisa mencintai keluarga dan membahagiakan diri maupun orang lain. “Agar kebahagiaan yang terjadi bisa permanen, entah itu sebagai full time mom, working mom atau working at home mom, maka pahami dulu potensi kelebihan dan kekurangan kita. Lakukan pertanyaan dan jawaban dengan jujur, jangan patok kebahagiaan kita berdasarkan kebahagiaan orang lain.” (hal. 85)

•    membantu memahamkan konsep ikhlas yang benar. “Jika kita memiliki konsep ikhlas yang benar, maka tidak akan terjadi penumpukan masalah di hati, karena semua kekecewaan itu dapat kita terima untuk selanjutnya langsung kita buang keluar dari hati.” (hal. 107)

•    meluruskan mengenai makna aktualisasi diri yang masih kerap disalahartikan. “Karena konsep aktualisasi diri yang sejati adalah tidak melulu harus dihargai orang atau menjadi berarti di mata orang banyak, aktualisasi diri yang sejati sesungguhnya adalah di saat kita sudah mampu paripurna menghargai diri kita.” (hal. 111)

•    memperkenalkan aplikasi konsep quantum ikhlas dalam tugas keseharian ibu disertai berbagi pengalaman pribadi (hal. 123-159)

•    mempertemukan kaidah sukses dengan bahagia seorang ibu. Sukses itu datang karena bahagia.

Bisa dilihat dari ulasan di atas, buku parenting ini mencerminkan keberanian sekaligus ketetapan hati penulisnya dalam menuliskan ide, sudut pandang, hingga pengalaman pribadinya. Banyak teori yang disajikan dan tak ragu pula adakalanya antarteori itu disandingkan atau dibandingkan secara cerdas. Sebut saja teori aktualisasi diri, positive thinking, konsep quantum ikhlas, hingga sukses vs bahagia. Mbak Rena Puspa juga cukup objektif membahas,  memberikan saran dan solusi dalam rangka merangkul semua kalangan ibu. Yang mana telah gamblang pula dinyatakan dalam bagian awal, “Rasanya sudah bukan zamannya lagi ya.... membandingkan siapa yang paling baik, working mom, working at home mom atau full time mom, semua pilihan punya konsekuensi, dan punya peluang bahagia di dalamnya....” (hal. 6)

Ditekankan pula agar pembaca tak lantas puas diri usai membaca pembahasan dalam buku ini, melainkan terus menggali sumber lebih banyak dan lebih dalam. “Saya paparkan selintas, hanya ingin mengajak para ibu aware dengan tubuhnya, dan berharap secuil informasi yang saya paparkan di atas, dapat menjadi booster awal untuk mencari informasi yang lebih lengkap lagi.” (hal. 36).

Bisa saya katakan, dari gaya penuturannya pun buku ini bisa jadi sahabat berbagi yang jujur sekaligus guru asyik yang mengajak para ibu untuk lebih mencintai ilmu. Bukankah seorang ibu adalah madrasah yang harus cerdas dan selalu ingin belajar? Dan sebaik-baik ilmu tentulah ilmu yang diamalkan, sehingga materi dalam buku ini tak sekadar untuk dibaca, dipahami, namun wajib diaplikasikan.

Terlepas dari beberapa typo seperti desprete—yang seharusnya desperate, jikalau boleh memberi masukan membangun, saya hendak menyarankan agar pencantuman buku Puberty terbitan Elex Media Komputindo di halaman 54 sebagai rujukan diskusi ibu-anak dihilangkan saja. Sepengetahuan saya, buku ini sudah ditarik dari peredaran karena kontennya yang kontroversial. Jika Bahagia Ketika Ikhlas ini cetak ulang, penulis sangat mungkin mengganti dengan rujukan buku lain. Masukan lain dari saya adalah terkait penyusunan kalimat yang masih didominasi tanda baca koma (,). Maksud saya, jika pemakaian koma dapat dikurangi, akan terdapat kalimat-kalimat yang bisa dipenggal dan menjadi susunan baru yang lebih efektif. Alhasil, pembaca akan lebih cepat mencerna maksud per kalimat dan yang tak kalah penting; pembaca tak kehabisan napas di tengah kalimat hehehe....

     Saya pribadi sebagai istri dan calon ibu berterima kasih dengan hadirnya buku ini. Persiapan mental dan ilmu untuk menyongsong amanah sebagai ibu terasa lebih ringan dengan keberadaan buku ini di tangan saya. Saya juga berharap semoga karya inspiratif ini banyak dibaca, cetak ulang berkali-kali, dan menjadi bagian dari upaya perbaikan kualitas hidup ibu-ibu Indonesia, yang juga berarti perbaikan kualitas anak-anak bangsa.

    Sebagai penutup, saya ingin mengutip sebuah pernyataan favorit saya dari buku ini, “... jalan bahagia dapat kita wujudkan tanpa harus menjadi supermom yang tanpa cela, ... cukup menjadi original mom lengkap dengan segala kekurangan namun kita percaya dengan kekuatan super milik Allah ....”

Minggu, 14 Desember 2014

[resensi] Filosofi Buah Peach dan Cinnamon Cappucino

Posted by Menukil Aksara | 11:44:00 AM Categories:

Judul Novel           : A Cup of Tarapuccino
Penulis                   : Riawani Elyta dan Rika Y. Sari
Penyunting Aksara : Mastris Radyamas
Penata Letak          : Puji Lestari
Desain Sampul       : Andhi Rasydan
Penerbit                  : Indiva
Cetakan                  : Pertama, April 2013
Jumlah Halaman     : 304 hlm.; 19 cm
ISBN                        : 978-602-8277-88-4

Sinopsis:

Tara yang berjilbab sedang sibuk-sibuknya membesarkan sebuah usaha bakery bersama sang sepupu, Raffi, di Batam. Toko yang diberi mana Bread Time itu bahkan berancang-ancang mencetak majalah yang akan rutin terbit sebagai salah satu sarana promosi. Tara memerlukan partner untuk mengelola majalah. Di saat inilah, kehadiran seorang Hazel seakan tepat. Pria muda misterius yang kerap berkunjung sebagai pelanggan toko ini melamar lowongan tersebut dan diterima. Di sisi lain, tak ada karyawan toko yang tahu kehidupan pribadi Hazel yang cukup pelik.
     
Di lain sisi, dikisahkan seorang Diaz yang harus menanggung ‘warisan’ utang bertumpuk dari mendiang ayahnya. Dia juga musti banting tulang menghidupi ketiga adik tiri dan ibu tiri yang belakangan jatuh sakit serius. Upaya pelunasan utang warisan inilah yang menjurumuskannya pada sindikat distributor barang-barang selundupan.

    Di Bread Time sendiri suatu ketika timbul insiden demi insiden ganjil yang bahkan nyaris merenggut nyawa kolega mereka. Diduga ini ada kaitannya dengan pemutusan hubungan kerja dengan mitra distributor utama mereka, Calvin & Co. Meski demikian, baik Tara maupun Raffi telah bulat untuk tak meneruskan kontrak niaga dengan penyuplai mereka itu. Raffi yang sedikit banyak didorong oleh rasa cemburu justru menuding Hazel terlibat dalam serangkaian insiden tersebut. Apa sebenarnya alasan kuat pemutusan tersebut? Benarkah Calvin & Co dan Hazel terlibat dalam tindak sabotase terhadap Bread Time? Lantas bagaimana dengan kisah romansa segitiga antara Tara, Raffi, dan Hazel? Akan adakah sebuah pernikahan? Apa pula hubungan Diaz dengan kisah Hazel? Sebaiknya Anda membaca sendiri kisah seru penuh intrik ini dan temukan keseruan di dalamnya.

Review:

    “Saat pertama kali melihatnya, kau akan merasa seolah melihat sebuah peach dengan warna kulitnya yang cantik, membuat orang pasti tak tahan untuk mengupasnya, dan isi di dalamnya juga tak kalah mempesona. Tapi, di saat kau memakannya, pertama-tama kau akan terkejut akan rasa asamnya yang sangat. Tapi saat kau terus mengunyahnya, kau akan merasakan rasa dan sensasi yang luar biasa, sensasi rasa yang elegan, yang membuat kau tak akan bisa melupakannya,”
(halaman 44)

    Kutipan di atas sesungguhnya ditujukan untuk menggambarkan salah seorang tokoh utama. Namun, bagi saya deskripsi di atas dapat juga berlaku untuk memandang kehidupan. Ada kalanya kita tertipu oleh dunia dan isinya yang sekilas indah, namun sesudah ‘mencicipi’ ujian demi ujian barulah kita sadar bahwa dia juga menyimpan kejutan yang luar biasa dan tak terlupakan.

    “Ini memang bukan pilihan selera yang umum. Tidak semua orang bisa menoleransi rasa kayu manis saat meninggalkan rasa tajam dan spicy di lidah. Namun baginya, secangkir minuman ini seolah-olah menjadi representasi atas kehidupannya yang telah bertahun-tahun memang bergerak di luar kebiasaan dan kelumrahan.” (halaman 39)

    Kali ini secangkir minuman favorit seorang Hazel digunakan dengan cerdas oleh duo penulis sebagai perlambang yang sekaligus mendeskripsikan karakter sang tokoh.

    Menurut saya gaya deskripsi seperti di atas mengena sekaligus unik. Menciptakan suatu keindahan tersendiri dalam novel ini. Setting sebuah bakery yang identik dengan makanan pun seolah mendukung dengan gaya tersebut.

    Jujur, saat membaca selintas judul dan sedikit mengintip resensi seorang blogger, saya sempat berharap akan banyak istilah dunia kuliner, khususnya bakery, pengolahan roti, jenis-jenisnya, atau menu-menu di Bread Time yang menggiurkan. Tapi agaknya tebakan saya itu kurang tepat. Karena berbeda dengan novel salah seorang penulisnya—Mbak Riawani Elyta, The Coffee Memory yang kental dengan istilah-istilah barista dan pengolahan kopi, maka novel A Cup of Tarapuccino ini lebih mengarah pada intrik dan seluk beluk dunia bisnis. Baik pengelolaan, promosi, hubungan kerja sama dengan distributor, kaitan dinas kesehatan, dan semacamnya. Tokoh utama di novel ini bukanlah seorang pastry chef, melainkan pengusaha.

    Dan di luar dugaan saya juga bahwa porsi seluk beluk bisnis kuliner lebih mendominasi ketimbang pasang surut kisah asmara para tokohnya. Bahkan bisa dikatakan saya dijamu oleh suguhan plot sarat suspense yang menggelitik otak dan rasa penasaran saya akan kasus yang dihadirkan. Racikan Mbak Riawani Elyta dan Rika Y. Sari dalam menciptakan alur yang maju-mundur, petunjuk-petunjuk kecil yang sengaja disisipkan, dan kekuatan karakter tokoh yang melebur menjadi bacaan yang mengasyikkan. Bahkan dalam satu bab kita akan disuguhi dua setting berbeda sekaligus, namun masih memiliki keterkaitan.

    Kalau bisa disebut kekurangan, itu sebatas typo, ketidakkonsistenan dua penulis terhadap sejumlah ejaan (kadang dipisah, kadang disambung), dan sejumlah kalimat yang masih kurang efektif (kepanjangan). Daftar isi yang hanya berisi list bab dan halaman menurut saya juga kurang efisien. Berbeda misalnya jika tiap bab diberi judul yang menarik. Atau sekalian saja daftar isi dihilangkan dari lembar novel. Bagi saya itu bukan masalah krusial. Toh, saya menemukan beberapa novel ternama juga tidak mencantumkan daftar isi.

    Novel ini juga dengan cukup lantang menyuarakan inovasi bisnis kuliner yang pro syariah dalam manajemennya. Disisipi juga dengan kritikan dan sindiran atas berbagai fakta mengenaskan di negara kita.

    “Menyelundupkan barang secara ilegal, juga bahkan manusia untuk menjadi pekerja, lebih tepatnya dipekerjakan, atau bahkan diperhambakan. Jelas tak bisa ditoleransi oleh undang-undang manapun. Namun, bukankah undang-undang sendiri bak pisau bermata dua? Menangkap dan menghukum pelaku, namun dengan mudah menggeser sabda hukum untuk dan atas alasan uang? Dan bukankah para illegal worker dan illegal products yang seolah perputarannya tak dapat dibendung itu sebenarnya ‘dampak’ dari lemahnya sistem, rancunya hukum, dan deret panjang barisan oknum pengeruk keuntungan sendiri?” (halaman 223)   

    So, nggak rugi banget baca novel satu ini. Kita tak melulu dihibur kisah cinta romantis nan dramatis tapi diajak merenung lebih dalam mengenai banyak aspek kehidupan.

Minggu, 07 Desember 2014

[book review] Finally ( I Choose) You

Posted by Menukil Aksara | 5:59:00 PM Categories:

   
Judul Novel   : Finally You
Penulis           : Dian Mariani
Editor            : Herlina P. Dewi
Proof Reader: Weka Swasti
Desain Cover: Teguh Santosa
Layout Isi      : Deeje
Penerbit         : Stiletto Book
Cetakan         :Pertama, Juni 2014
ISBN               : 978-602-7572-28-7
Jumlah Hal.    : 277 hlm


Ternyata bukan tentang waktu. Bukan juga tentang masa lalu. Ini tentang menemukan orang yang paling tepat untuk hidupmu.

Sinopis:

    Luisa dan Raka dipersatukan oleh luka. Luisa yang patah hati setelah ditinggal Hans, memilih menghabiskan waktu di kantor sampai malam. Menenggelamkan diri dalam pekerjaan yang bertumpuk. Siapa sangka, ternyata salah satu bos di kantornya—Raka—juga baru putus cinta. Berawal dari perkenalan kebetulan, mereka sama-sama mencari pelarian. Mengisi waktu-waktu lengang selepas jam lembur dengan menyusuri jalan-jalan padat ibukota. Berdua. Berbagi luka dan kecewa.

    Antara bertahan pada kenangan, atau membiarkan waktu yang menyembuhkan. Baik Luisa ataupun Raka membiarkan hubungan mereka berjalan apa adanya. Hubungan yang dewasa tanpa ungkapan cinta. Namun, bagaimana jika seiring berjalannya waktu, Raka mulai benar-benar jatuh cinta pada Luisa? Sedangkan cinta lama Raka, Saskia, dan mantan Luisa, Hans kembali menyapa asa dari kenangan? Apakah benar Luisa berpikir untuk memilih kembali bersama Hans? Anda dapat membaca kisah romansa penuh dilema dalam novel perdana garapan Dian Mariani ini.

Review:

    “Relationships last long not because they’re destined to last long. Relationship last long because two brave people made a choice ... to keep it, fight for it, and work for it.” (halaman 6)

    Kutipan filosofi tersebut saya temukan bersanding manis dengan untaian “Thank’s to ... “ di halaman awal novel. Dari sini, penulis sudah mencuri perhatian saya. Karena, kutipan tersebut manis sekaligus membuat saya menebak bahwa kisah di lembar-lembar berikutnya sepertinya tentang “relationship and how to fight for it”.

    Selanjutnya, di prolog, novel terbitan Stiletto Book; sebuah penerbit buku perempuan ini kembali mengentak dengan setting yang to the point, khas novel-novel populer. Dari setting perkenalan ini pun, tertangkap bahwa novel ini adalah tipe novel chicklit atau metropop yang mengetengahkan gaya hidup kosmopolitan dengan serba-serbi persoalannya.

    “Mungkin sebenarnya dia ingin berbicara dengan Cynthia, teman satu lantai yang extension-nya hanya beda 1 angka dengannya. Dari sepuluh orang, ada kira-kira dua orang yang berniat mencari Cynthia, tapi malah memutar nomor extension Luisa.” (halaman 7)

    And, di sinilah kebetulan perkenalan dua tokoh utama itu—Luisa dan Raka. Ehemm ... seorang bos muda yang disegani diam-diam punya kisah dengan salah satu bawahan di kantor.

    Selain setting kantor yang hiruk pikuk dengan seabreg rutinitas, setumpuk file, tugas-tugas mengejar deadline, Dian Mariani bisa dibilang tidak terlampau detil dalam mengeksplorasi keseluruhan setting. Meskipun, setting tak melulu di kantor. Cukup banyak scene di rumah makan, warung makan pinggir jalan, rumah sakit, apartemen, dan bahkan Singapura. Deskripsi dilakukan seperlunya, diutamakan yang terkait penuh dengan konflik antar tokoh. Porsi dialog di sepanjang cerita juga bisa dibilang cukup mendominasi ketimbang narasi.

    Walaupun begitu, saya menikmati wisata kuliner yang disertakan dalam adegan-adegan kebersamaan Luisa dan Raka. Saya bahkan sampai penasaran dengan beberapa kuliner, seperti kwetiauw siram di Karet, persis seperti reaksi Raka sesudah diajak mencicipi. Yap, dengan browsing hahaha... Juga ada subway di Singapura yang awalnya terdengar mirip salah satu istilah transportasi. Oh, ternyata itu semacam sandwich yang banyak dijual di Singapura (salah satu yang terkenal adalah yang di Changi Airport). At last, saya juga menikmati penggambaran Jakarta di musim penghujan, yang somehow membantu menimbulkan efek romantis di sepanjang cerita.

foto dari SINI

subway club mealts


    Finally You ini juga kental dengan selipan percakapan dalam bahasa Inggris dan istilah-istilah dunia bisnis. Sebagai contoh: turnover, plant managers, consumer goods, share holder, head hunting, dan kawan-kawannya. Bagi Anda pembaca yang kurang memahami bahasa Inggris bisa jadi akan mengeluhkan hal ini. Tapi, berhubung saya cukup menguasai, saya fine-fine saja, bahkan terpancing untuk browsing beberapa istilah bisnis tersebut. Hal ini menurut saya juga wajar dan logis, mengingat ini adalah novel bertema kehidupan kosmopolitan, wanita muda lajang yang berkarir sekaligus punya sisi-sisi kehidupan pribadi yang melodramatis. Di dalam pekerjaan pun, para pelaku bisnis ini memang terbiasa berkomunikasi dengan kolega asing, sehingga tak heran jika terbawa dalam keseharian.

    Bab-bab dalam novel pun diberi judul berbahasa Inggris—kecuali satu bab berjudul Tentang Masa Lalu, which is saya nggak paham mengapa beda sendiri. Pilihan judul bab sinkron dengan judul novel sendiri yang juga in English.

    Kemahiran penulis dalam menggunakan istilah-istilah asing ini tak terelakkan dari kehidupan aslinya sebagai karyawan di sebuah perusahaan swasta di Jakarta. Saya malah curiga bahwa karakter Luisa sebagian besarnya diambil dari karakter sang penulis sendiri hehehe... which is good menurut saya, karena pasti penulis lebih mudah mendalami karakter.

    Dari sebuah pernyataan Luisa pun, saya sesungguhnya bisa menebak apakah endingnya happy atau sad hehe... tapi, toh itu tidak mengurangi keasyikan dan keseruan selama membaca hingga halaman akhir, tanpa tergoda untuk mengintip.

    Di sisi lain, penulis berhasil menyuguhkan pasang surut emosi dari hubungan Luisa dan Raka, juga munculnya pihak-pihak yang turut menginterupsi, seperti Saskia, Hans, atau Yuli yang meskipun perannya kecil tapi punya sedikit kejutan manis. Saya dibuat betah membalik lembar demi lembar untuk lekas mengetahui kelanjutan kisah Luisa dan Raka, atau perkembangan perasaan mereka. Ada kalanya saya ikut gemas, merenung, apa yang saya perbuat jika saya berada di posisi mereka (mendalami banget, ya, hehe...).

    Kepekatan konflik batin Luisa dan Raka pun berkesinambungan dengan karakter mereka yang begitu kuat digali dan disajikan dalam cerita. Berkembangnya konflik hingga menuju leraian dan ending bisa dikatakan padu dengan karakter para tokoh. Tokoh Raka, misalnya, yang bad in words or in expressing emotion, mampu menyedot perhatian saya. Bahkan kekonyolannya yang sering stalking on Luisa di medsos dan upayanya untuk bisa romantis.

    “Kalau dipikir-pikir, ajaib juga ya Pak Raka ini? Luisa bermain-main dengan pikirannya. The most eligible bachelor in the office. Early thirty dan sudah ada di jajaran posisi tinggi dengan gelar Master of Engineering dari Stanford University. Ganteng, super cool, dan pntar.” (halaman 58)

    Sebaliknya, Luisa digambarkan sederhana, suka mengenakan flat-shoes, fans berat buku dan hot chocolate, pandai merangkai kata dalam bentuk tulisan (sampai-sampai tweet-nya puitis semua), sekaligus blak-blakan namun perhatian. Pun dia juga bisa galau ketika merasa terintimidasi oleh Saskia yang secara fisik jauh lebih menarik namun sangat liberal.

    Kisah pencarian cinta sejati ini sarat pesan. Salah satu yang mengemuka adalah bahwa tak ada manusia yang sempurna namun kita tetap bisa mencintai dengan cara yang sempurna. Menerima masa lalu sebagai satu paket dengan seseorang yang kita cintai. Kisah ini juga menyentil peribahasa: writing tresno jalaran soko kulino. Cinta bisa tumbuh karena kebersamaan dan penerimaan.
 
    Ada beberapa kutipan yang saya sukai dalam novel ini:
•    Raka mengangkat ranselnya. “Kamu lebih penting dari masa lalu kamu.” (halaman 222)
•    “I think my photographic memory was in love with you since that very first moment.” (halaman 268)
•    “He fits me, kata Luisa dalam hati. He always does. I just need some times to realize. And some (unreasonable) reasons to believe.” (halaman 270)

Terlepas dari typo dan kalimat kurang efektif di sejumlah halaman, well, jika saya harus menyebut tiga kata untuk menggambarkan novel ini; saya akan menyatakan: simply sweet (and) romantic. Great job buat Dian Mariani.



Rabu, 03 Desember 2014

Ibu Sang Matahari Kami

Posted by Menukil Aksara | 6:39:00 AM Categories:
foto hasil gugling

Ibu. Satu kata panggilan yang pasti sangat akrab di telinga anak manusia mana pun di dunia. Siapa yang terlahir ke muka bumi tentulah beribu, memiliki sesosok wanita yang mengantarkan kehadiran ke dunia fana. Rahim seorang ibulah yang dititipi Sang Khaliq sebagai tempat berdiam, berlindung, sebelum siap menyongsong kehidupan yang rentan akan ujian.

    Sebagai makhluk Allah yang menetapi kodrat penciptaan, seorang perempuan dianugerahi kekuatan, baik fisik maupun psikis yang dalam hal-hal tertentu melampaui laki-laki. Simak saja sebuah penelitian yang menyebutkan bahwa laki-laki pun tak sanggup menanggung rasa sakit selama proses melahirkan, yang bisa diukur tingkat sakitnya lewat kecanggihan instrumen penelitian masa kini. Pun, perempuan dianugerahi air mata yang menjadi sumber kekuatan ketika persoalan pelik hidup menerjang.

    Mengutip pemaparan Rena Puspa dalam buku Bahagia Ketika Ikhlas, “Ibarat seorang calon tentara yang akan dilantik menjadi tentara, dia harus terlebih dahulu menjalani masa karantina dan penggemblengan. Begitu juga yang terjadi pada seorang calon ibu. Melalui proses kehamilanlah masa penggemblengan menjadi seorang ibu itu dimulai, dan saat kelahiran merupakan proses lulusnya calon ibu, menjadi fase awal menjadi seorang ibu yang sesungguhnya.”

    Risiko kematian yang bisa saja menimpa pada seorang calon ibu selama proses melahirkan, tak pelak kerap memunculkan ketakutan luar biasa. Di lain sisi, ketakutan luar biasa justru akan membuat proses kelahiran tidak lancar, karena otot-otot pada daerah vagina dan panggul yang berguna untuk menopang keluarnya si janin berubah menegang dan mengeras—alih-alih lentur, sehingga mengganjal keluarnya kepala bayi. Bayangkan pula rasa sakit yang justru kian terasa.

    Ini masih risiko selama proses kehamilan dan melahirkan. Sesudah sang anak lahir, tumbuh, berkembang, berderet persoalan akan muncul.  Wajar saja jika Allah menganugerahi berbagai macam hormon (antara lain estrogen, progesteron, oksitosin, dan dopamin) yang berhubungan dengan tugas besar seorang ibu, yaitu memelihara, menyayangi, dan mendorong seorang wanita mengasah terus naluri keibuannya.

foto dari SINI

    Pengalaman hidup kita masing-masing bersama ibu tercinta sudah tentu tak sama. Bahkan, bisa jadi ada diantara teman-teman yang tak berkesempatan merasakan belaian hangat seorang ibu dalam waktu yang lama. Saya akan berbagi sekelumit kisah saya dan Ibu yang tak sempurna. Meskipun demikian, semoga tetap ada hikmah yang dapat dipetik darinya.

    “Ibu sudah tidak ingat lagi wajah Bapak. Mbah Kakung-mu katanya berkulit bersih, berwibawa, dan disegani oleh warga desa,” tutur Ibu.

    “Bapak tidak meninggalkan warisan berlimpah, hanya sepetak tanah yang sekarang berdiri rumah di atasnya.”

    “Mbah Putri nggak menikah lagi ya, Bu? Lalu bagaimana Mbah menghidupi anak-anaknya?”

    “Nggak. Mbahmu kerja serabutan asal bisa membeli makan dan membiayai sekolah. Mbah juga jualan jajan. Ibu dulu selalu membantu Mbah mengolah kripik pisang dari pohon pisang kami sendiri.”

    “Eka juga ingat, Bu. Sewaktu kecil, Eka sering melihat proses membuat kripik pisang di rumah Mbah.”

    Ingatan menarikku pada kenangan bertahun-tahun silam. Ah, rasa manis dan renyah kripik pisang buatan Mbah sangat kurindukan. Kini Mbah sudah tiada, akibat stroke di usia senja.

    “Kamu masih ingat Om Danang, tho? Anak dari Mbah Ratno, adiknya Mbah Putri?”

    “Oh, iya ingat,” sahutku seraya membayangkan Om Danang yang hitam manis berperawakan tinggi besar.

    “Dulu sewaktu Om Danang masih kecil, seumuran keponakanmu, Ibu yang membantu mengasuhnya.”

    “Oya? Sewaktu itu Ibu sudah besar kah? Kenapa Ibu yang mengasuh?”

    “Ibu seumuran anak SD. Om Danang itu dulu anak yang rewel, nyaris tiap malam dia tidak segera tidur. Hobinya mengajak Ibu main bola di rumah malam-malam. Kan saudaranya banyak, jadi tenaga Ibu dibutuhkan.”

    Aku mengangguk-angguk. Keluarga Mbah Ratno memang cukup berada, hasil jerih payah berdagang di pasar kota.

    “Mungkin Lik Ratno kasihan sama Ibu. Jadi Ibu sering disuruh bantu-bantu di rumahnya. Lumayan kan, dapat uang saku untuk menambah biaya sekolah,” Ibu menimpali.

    Perbincangan kami sore itu pastilah sangat membekas di hati Ibu. Ibu bertubuh paling kecil jika dibandingkan saudara-saudaranya yang lain. Entah itu faktor genetik ataukah jejak kerja keras Ibu semasa kanak-kanak.

“Kamu ingat kan sungai Bengawan Solo, beberapa ratus meter dari rumah Mbah Putri? Selepas mengajar di sekolah lama, Ibu dipindahtugaskan ke sekolah yang terletak di seberang sungai itu.”

    “Iya ingat, Bu. Namanya SDN Sranak, kan, ya? Nggak terbayangkan kalau Eka yang harus menyeberang sungai tiap hari ke sana. Perahunya juga kecil, dikayuh manual pula. Siang hari tentulah terik matahari sangat menyengat di sungai.”  
  Ibu tersenyum mengiyakan.

    Sebagai sosok yatim dari keluarga biasa, Ibu termasuk idealis. Bagi beliau, pendidikan adalah nomor satu. Kedua anak perempuannya juga harus berpendidikan tinggi. Ibu rela menyisihkan gaji untuk biaya pendidikan dan hidup sederhana. Maka ketika saya pernah gagal setia pada pilihan program studi di bangku kuliah, dan memilih menulis ketimbang bekerja kantoran usai menikah, Ibu jelas-jelas mengutarakan kekecewaannya. Tapi, sebagai seorang ibu, pintu maaf itu selalu terbuka. Kesabaran dan kasih sayang itu tetap mengucur deras.

Dan meski pernikahan Ibu tak berjalan mulus, perceraian tak menyurutkan idealismenya. Saya tahu betul mengapa Ibu terpaksa menyudahi ikatan dengan Bapak. Bahkan Ibu pun meminta ‘izin’ pada anak-anaknya yang tatkala itu telah beranjak dewasa ketika dihadapkan pada pilihan menyakitkan itu. Saya tak menampik jika Ibu bertahan dari kemelut rumah tangga yang tak berkesudahan demi anak-anaknya. Kami masih kecil, masih butuh Bapak, pasti itu alasan Ibu. Jadi, dari sisi mana saya berhak menghakimi Ibu sebagai sosok egois? Tidak, sama sekali bukan. Bahkan selama usia pernikahan yang panjang, bisa saya nyatakan bahwa Ibu telah banyak berkorban. Rumah yang kini kami diami, itu adalah hasil jerih payah pengabdian Ibu sebagai guru pemerintah dengan gaji yang jauh dari melimpah.

Walaupun saya dan Ibu tak sering mengucapkan kata sayang secara verbal, mengingat karakter kami yang sama-sama keras, namun bukti cinta itu bertebaran di sepanjang kehidupan kami. Maka, maafkan ananda, Ibu, jika hingga detik ini belum bisa membahagiakan seperti yang Ibu mau. Semoga segala pengorbanan Ibu dibalas lebih indah oleh Sang Maha Pemberi Balasan. Love you, Mom...
foto dari SINI



*Artikel  ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan: Hati Ibu Seluas Samudera





Selasa, 02 Desember 2014

Baik Atau Sholihah?

Posted by Menukil Aksara | 8:50:00 PM Categories:

    Sesungguhnya karena usia pernikahan saya dan suami yang baru melewati tahun pertama, belumlah dikata layak untuk menulis artikel ‘berat’ ini. Namun, sesingkat apa pun, saya yakin tetap ada saja hikmah yang dapat dipunguti, berceceran di sepanjang perjalanan kami berdua.

    Semenjak sah menyandang status suami-istri hingga kini, kami dipisahkan jarak lebar antara ujung pulau dengan ujung lain. Disebabkan beberapa alasan pekerjaan dan keluarga, untuk sementara kami memilih menjalani LDL (Long Distance Love). Suami bekerja di Jakarta, saya tinggal di rumah Ibu di Jawa Timur. Seperti yang bisa dibayangkan, pasti ada onak duri di jalan kebersamaan kami. Komunikasi yang dibatasi jarak, ruang, dan (kadang) waktu membuat kami tak bisa bebas
mengutarakan uneg-uneg. Tak jarang pula terjadi kesalahpahaman yang bermuara pada perselisihan—terutama di awal-awal usia pernikahan. Hidup terpisah juga bisa menjadi cobaan tersendiri. Bagi perempuan yang sebelum menikah terbiasa mandiri, bebas pergi ke mana pun bila ada kepentingan pribadi, bebas bergaul dengan siapa pun, sesudah menikah tentulah akan ada masa adaptasi di mana dia harus kerap mengingatkan diri sendiri bahwa sekarang sudah terikat. Pergi ke mana pun harus meminta izin, menyusun prioritas urusan yang harus dihadiri, bahkan meskipun menjalani biduk rumah tangga jarak jauh.

    Dari pengalaman beberapa teman dekat maupun orang-orang yang pernah saya kenal, menjalani LDL memang tak mudah, namun bukan berarti mustahil. Harus ada kepercayaan dan komunikasi yang dipertahankan dengan baik. Walaupun, tetap tak menampik fakta bahwa tak seharusnya LDL dikekalkan hingga bertahun-tahun. Ada wejangan yang mengatakan, bahwa sebisa mungkin suami-istri berkumpul dalam satu atap demi keharmonisan dan tumbuh kembang anak-anak (jika sudah ada).

    Kembali ke topik istri yang baik, sebelumnya saya berpikir apa itu definisi dari istri yang baik? Apakah ada beda istri yang baik dengan istri yang sholihah yang akrab disematkan dalam doa setiap pengantin?

    Sebagai muslimah, saya memahami bahwa merupakan sebuah kewajiban agar saya belajar tentang ilmu agama. Ilmu agama sendiri itu luas cakupannya. Baik mengenai kehidupan pribadi sehari-hari sedari bangun tidur hingga tidur kembali, sampai urusan kenegaraan. Salah satu cakupan di dalamnya adalah mengenai pernikahan. Pernikahan sendiri dimasukkan dalam urusan muamalah. Di mana ijab qabul menjadi penanda diaturnya hubungan antara dua anak manusia, laki-laki dan perempuan dalam urusan pengaturan kehidupan berumah tangga. Ilmu pernikahan ini wajib dipahami dan dikuasai oleh setiap calon pengantin agar kelak tak buta atau gagap bila telah naik ke bahtera rumah tangga. Menilik definisi istri yang baik, maka menurut pandangan Islam, istri yang sholihah sendiri sudah pasti akan mencerminkan sosok istri yang baik.

    Menikah adalah pilihan sadar setiap laki-laki dan perempuan dalam islam. Sebelum terjadinya akad nikah, pilihan masih terbuka lebar, akan tetapi setelah adanya akad nikah, adalah sebuah pengkhianatan terhadap makna akad itu sendiri apabila satu pihak senantiasa mencari-cari keburukan dan kesalahan pasangan dengan merasa benar sendiri.

    Pasutri pasti menginginkan keluarganya selalu tentram dan langgeng. Namun harapan pasti menjumpai aral melintang. Perselisihan dan pertengkaran takkan terelakkan pada dua manusia yang saban hari berinteraksi, bahkan hidup dalam satu atap. Ini boleh jadi karena tidak mengetahui manakah yang menjadi hak atau kewajiban dari masing-masing pasutri. Oleh karena itu, mengetahui kewajiban suami atau kewajiban istri sangatlah penting. Mengerti hak dan kewajiban juga membantu seorang istri mewujudkan harapan menjadi istri sholihah, yang insya Allah baik di mata suami maupun Allah.

Keagungan Hak Suami

Hak suami yang menjadi kewajiban istri asalnya dijelaskan dalam ayat berikut ini,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.” (QS. An Nisa’: 34)

Hak suami yang menjadi kewajiban istri amatlah besar sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ لأَزْوَاجِهِنَّ لِمَا جَعَلَ اللَّهُ لَهُمْ عَلَيْهِنَّ مِنَ الْحَقِّ
“Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk sujud pada yang lain, maka tentu aku akan memerintah para wanita untuk sujud pada suaminya karena Allah telah menjadikan begitu besarnya hak suami yang menjadi kewajiban istri” (HR. Abu Daud no. 2140, Tirmidzi no. 1159, Ibnu Majah no. 1852 dan Ahmad 4: 381. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
وليس على المرأة بعد حق الله ورسوله أوجب من حق الزوج
“Tidak ada hak yang lebih wajib untuk ditunaikan seorang wanita –setelah hak Allah dan Rasul-Nya- daripada hak suami” (Majmu’ Al Fatawa, 32: 260)
Jika kewajiban istri pada suami adalah semulia itu, maka setiap wanita punya keharusan mengetahui hak-hak suami yang harus ia tunaikan.

Berikut adalah rincian mengenai hak suami yang menjadi kewajiban istri:

Pertama: Mentaati perintah suami

 Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci” (HR. An-Nasai no. 3231 dan Ahmad 2: 251. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)
Begitu pula tempat seorang wanita di surga ataukah di neraka dilihat dari sikapnya terhadap suaminya, apakah ia taat ataukah durhaka.

Al Hushoin bin Mihshan menceritakan bahwa bibinya pernah datang ke tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena satu keperluan. Seselesainya dari keperluan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya,
أَذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قَالَتْ: مَا آلُوْهُ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْهُ. قَالَ: فَانْظُرِيْ أينَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
“Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab, “Sudah.” “Bagaimana (sikap) engkau terhadap suamimu?”, tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi. Ia menjawab, “Aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lihatlah di mana keberadaanmu dalam pergaulanmu dengan suamimu, karena suamimu adalah surga dan nerakamu.” (HR. Ahmad 4: 341 dan selainnya. Hadits ini shahih sebagaimana kata Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1933)

Namun ketaatan istri pada suami tidaklah mutlak. Jika istri diperintah suami untuk tidak berjilbab, berdandan menor di hadapan pria lain, meninggalkan shalat lima waktu, atau bersetubuh di saat haidh, maka perintah dalam maksiat semacam ini tidak boleh ditaati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada ketaatan dalam perkara maksiat. Ketaatan itu hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (kebaikan).” (HR. Bukhari no. 7145 dan Muslim no. 1840)

Di sini kemudian kembali harus diingat kewajiban beramar ma’ruf nahi munkar. Jika suami atau anggota keluarga ada yang berbuat salah atau kerusakan, wajib untuk diingatkan. Saling mengingatkan ini akan mempertahankan bahtera pada jalur yang benar, jalur menuju keridhoan Allah dan jalur menuju jannah-Nya.

Kedua: Berdiam di rumah dan tidaklah keluar kecuali dengan izin suami
Allah Ta’ala berfirman,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” (QS. Al Ahzab: 33).

Seorang istri tidak boleh keluar dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya. Baik si istri keluar untuk mengunjungi kedua orangtuanya ataupun untuk kebutuhan yang lain, sampaipun untuk keperluan shalat di masjid.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak halal bagi seorang istri keluar dari rumah kecuali dengan izin suaminya.” Beliau juga berkata, “Bila si istri keluar rumah suami tanpa izinnya berarti ia telah berbuat nusyuz (pembangkangan), bermaksiat kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, serta pantas mendapatkan siksa.” (Majmu’ Al-Fatawa, 32: 281)

Ketiga: Taat pada suami ketika diajak ke ranjang
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِىءَ لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Jika seorang pria mengajak istrinya ke ranjang, lantas si istri enggan memenuhinya, maka malaikat akan melaknatnya hingga waktu Shubuh” (HR. Bukhari no. 5193 dan Muslim no. 1436).


Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ini adalah dalil haramnya wanita enggan mendatangi ranjang jika tidak ada uzur. Termasuk haid bukanlah uzur karena suami masih bisa menikmati istri di atas kemaluannya” (Syarh Shahih Muslim, 10: 7). Namun jika istri ada halangan, seperti sakit atau kecapekan, maka itu termasuk uzur dan suami harus memaklumi hal ini.

Keempat: Tidak mengizinkan orang lain masuk rumah kecuali dengan izin suami
Pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada haji Wada’,
فَاتَّقُوا اللَّهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ
“Bertakwalah kalian dalam urusan para wanita (istri-istri kalian), karena sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanah dari Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian atas mereka adalah mereka tidak boleh mengizinkan seorang pun yang tidak kalian sukai untuk menginjak permadani kalian” (HR. Muslim no. 1218)

Dalam lafazh Ibnu Hibban disebutkan hadits dari Abu Hurairah,
لاَ تَأْذَنُ المَرْأَةُ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَهُوَ شَاهِدُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak boleh seorang wanita mengizinkan seorang pun untuk masuk di rumah suaminya sedangkan suaminya ada melainkan dengan izin suaminya.” (HR. Ibnu Hibban 9: 476. Kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim)
Hadits di atas dipahami jika tidak diketahui ridho suami ketika ada orang lain yang masuk. Adapun jika seandainya suami ridho dan asalnya membolehkan orang lain itu masuk, maka tidaklah masalah. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 3: 193)

Kelima: Tidak berpuasa sunnah ketika suami ada kecuali dengan izin suami
Para fuqoha telah sepakat bahwa seorang wanita tidak diperkenankan untuk melaksanakan puasa sunnah melainkan dengan izin suaminya (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99). Dalam hadits yang muttafaqun ‘alaih, dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidaklah halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sedangkan suaminya ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya.” (HR. Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)

Dalam lafazh lainnya disebutkan,
لاَ تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ غَيْرَ رَمَضَانَ
“Tidak boleh seorang wanita berpuasa selain puasa Ramadhan sedangkan suaminya sedang ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya” (HR. Abu Daud no. 2458. An Nawawi dalam Al Majmu’ 6: 392 mengatakan, “Sanad riwayat ini shahih sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim”).

Jadi, puasa yang mesti dilakukan dengan izin suami ada dua macam: (1) puasa sunnah yang tidak memiliki batasan waktu tertentu (seperti puasa senin kamis), (2) puasa wajib yang masih ada waktu longgar untuk melakukannya. Contoh dari yang kedua adalah qodho’ puasa yang waktunya masih longgar sampai Ramadhan berikutnya.

Keenam: Tidak menginfakkan harta suami kecuali dengan izinnya
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُنْفِقُ امْرَأَةٌ شَيْئًا مِنْ بَيْتِ زَوْجِهَا إِلاَّ بِإِذْنِ زَوْجِهَا
“Janganlah seorang wanita menginfakkan sesuatu dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya” (HR. Tirmidzi no. 670. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan)

Ketujuh: Berkhidmat pada suami dan anak-anaknya
Semestinya seorang istri membantu suaminya dalam kehidupannya. Hal ini telah dicontohkan oleh istri-istri shalihah dari kalangan shahabiyah seperti yang dilakukan Asma` bintu Abi Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhuma yang berkhidmat kepada suaminya, Az-Zubair ibnul ‘Awwam radhiyallahu ‘anhu. Ia mengurusi hewan tunggangan suaminya, memberi makan dan minum kudanya, menjahit dan menambal embernya, serta mengadon tepung untuk membuat kue. Ia yang memikul biji-bijian dari tanah milik suaminya sementara jarak tempat tinggalnya dengan tanah tersebut sekitar 2/3 farsakh.” (HR. Bukhari no. 5224 dan Muslim no. 2182)

Demikian pula khidmat Fathimah binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah suaminya, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Sampai-sampai kedua tangannya lecet karena menggiling gandum. (HR. Bukhari no. 5361 dan Muslim no. 2182)

Kedelapan: Menjaga kehormatan, anak dan harta suami
Allah Ta’ala berfirman,
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
“Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada” (QS. An Nisa’: 34). Ath Thobari mengatakan dalam kitab tafsirnya (6: 692), “Wanita tersebut menjaga dirinya ketika tidak ada suaminya, juga ia menjaga kemaluan dan harta suami. Di samping itu, iawajib menjaga hak Allah dan hak selain itu.”

Kesembilan: Bersyukur dengan pemberian suami
Seorang istri harus pandai-pandai berterima kasih kepada suaminya atas semua yang telah diberikan suaminya kepadanya. Bila tidak, si istri akan berhadapan dengan ancaman neraka Allah Ta’ala.

Seselesainya dari shalat Kusuf (shalat Gerhana), Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda menceritakan surga dan neraka yang diperlihatkan kepada beliau ketika shalat,
وَرَأَيْتُ النَّارَ فَلَمْ أَرَ كَالْيَوْمِ مَنْظَرًا قَطُّ وَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ. قَالُوا: لِمَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: بِكُفْرِهِنَّ. قِيْلَ: يَكْفُرْنَ بِاللهِ؟ قَالَ: يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ وَيَكْفُرْنَ اْلإِحْسَانَ، لَوْ أَََحْسَنْتَ إِلىَ إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ، ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ
“Dan aku melihat neraka. Aku belum pernah sama sekali melihat pemandangan seperti hari ini. Dan aku lihat ternyata mayoritas penghuninya adalah para wanita.” Mereka bertanya, “Kenapa para wanita menjadi mayoritas penghuni neraka, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Disebabkan kekufuran mereka.” Ada yang bertanya kepada beliau, “Apakah para wanita itu kufur kepada Allah?” Beliau menjawab, “(Tidak, melainkan) mereka kufur kepada suami dan mengkufuri kebaikan (suami). Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang istri kalian pada suatu waktu, kemudian suatu saat ia melihat darimu ada sesuatu (yang tidak berkenan di hatinya) niscaya ia akan berkata, ‘Aku sama sekali belum pernah melihat kebaikan darimu’.” (HR. Bukhari no. 5197 dan Muslim no. 907).

Kesepuluh: Berdandan cantik dan berhias diri di hadapan suami
Sebagian istri saat ini di hadapan suami berbau asap (alias: dapur) dan jarang mau berhias diri. Namun ketika keluar rumah, ia keluar bagai selebriti. Ini sungguh terbalik. Seharusnya di dalam rumah, ia berusaha menyenangkan suami. Demikianlah yang dinamakan sebaik-baik wanita.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci” (HR. An-Nasai no. 3231 dan Ahmad 2: 251. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)

Kesebelas: Tidak mengungkit-ngungkit pemberian yang diinfakkan kepada suami dan anak-anaknya dari hartanya
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)” (QS. Al Baqarah: 264).

Keduabelas: Ridho dengan yang sedikit, memiliki sifat qona’ah (merasa cukup) dan tidak membebani suami lebih dari kemampuannya
Allah Ta’ala berfirman,
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. Ath Tholaq: 7)

Ketigabelas: Tidak menyakiti suami dan tidak membuatnya marah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ : لاَ تُؤْذِيْهِ , قَاتَلَكِ اللهُ , فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكَ دَخِيْلٌ يُوْشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا
“Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya di dunia melainkan istrinya dari kalangan bidadari akan berkata, “Janganlah engkau menyakitinya. Semoga Allah memusuhimu. Dia (sang suami) hanyalah tamu di sisimu; hampir saja ia akan meninggalkanmu menuju kepada kami”. (HR. Tirmidzi no. 1174 dan Ahmad 5: 242. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Keempatbelas: Berbuat baik kepada orang tua dan kerabat suami

Kelimabelas: Terus ingin hidup bersama suami dan tidak meminta untuk ditalak kecuali jika ada alasan yang benar
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الجَنَّةِ .
“Wanita mana saja yang meminta talak kepada suaminya tanpa ada alasan (yang dibenarkan oleh syar’i), maka haram baginya mencium wangi surga.” (HR. Tirmidzi no. 1199, Abu Daud no. 2209, Ibnu Majah no. 2055. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Keenambelas: Berkabung ketika meninggalnya suami selama 4 bulan 10 hari
Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا  فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ  وَاللَّـهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. Al Baqarah: 234)

Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ ، إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“Tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung atas kematian seseorang lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, yaitu (selama) empat bulan sepuluh hari.” (HR. Bukhari no. 5334 dan Muslim no. 1491)

    Di samping kewajiban-kewajiban yang tersemat di dada seorang istri di atas, ada hal-hal yang acapkali dipandang sepele namun turut memengaruhi keharmonisan dan kelanggengan hubungan pasutri. Antara lain membiasakan panggilan sayang dan kalimat-kalimat manis atau pujian diantara pasutri. Tidak hanya di awal masa pernikahan saja, sebagai bukti cinta romantis pengantin baru, namun untuk seterusnya hingga rambut ditumbuhi uban. Rasulullah SAW saja mencontohkan secara konkrit mengenai hal ini, dengan membuat panggilan kesayangan khusus untuk Aisyah ra. atau mandi bersama, minum dari satu gelas yang sama, dan sebagainya. Pun, istri yang diperlakukan baik dan merasa dicintai oleh suami, akan berimbas positif pada sikap dan perbuatan istri terhadap anak-anak dan mertua.

    Semua pemaparan kewajiban istri di atas, semoga bisa menjadi pelajaran bagi saya pribadi, juga saudara, teman yang turut membaca artikel ringan ini. Tak ada manusia yang sempurna, tapi kita bisa memilih untuk mencintai dengan cara yang sempurna. Mencintai suami dengan cara yang telah dituntunkan oleh suri teladan kita, Nabiyullah Muhammad SAW.

Referensi utama:
*pengalaman pribadi dan saudara
*www.muslim.or.id

*Tulisan ini diikutsertakan dalam giveaway istri yang baik

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube