Minggu, 14 Desember 2014

[resensi] Filosofi Buah Peach dan Cinnamon Cappucino

Posted by Menukil Aksara | 11:44:00 AM Categories:

Judul Novel           : A Cup of Tarapuccino
Penulis                   : Riawani Elyta dan Rika Y. Sari
Penyunting Aksara : Mastris Radyamas
Penata Letak          : Puji Lestari
Desain Sampul       : Andhi Rasydan
Penerbit                  : Indiva
Cetakan                  : Pertama, April 2013
Jumlah Halaman     : 304 hlm.; 19 cm
ISBN                        : 978-602-8277-88-4

Sinopsis:

Tara yang berjilbab sedang sibuk-sibuknya membesarkan sebuah usaha bakery bersama sang sepupu, Raffi, di Batam. Toko yang diberi mana Bread Time itu bahkan berancang-ancang mencetak majalah yang akan rutin terbit sebagai salah satu sarana promosi. Tara memerlukan partner untuk mengelola majalah. Di saat inilah, kehadiran seorang Hazel seakan tepat. Pria muda misterius yang kerap berkunjung sebagai pelanggan toko ini melamar lowongan tersebut dan diterima. Di sisi lain, tak ada karyawan toko yang tahu kehidupan pribadi Hazel yang cukup pelik.
     
Di lain sisi, dikisahkan seorang Diaz yang harus menanggung ‘warisan’ utang bertumpuk dari mendiang ayahnya. Dia juga musti banting tulang menghidupi ketiga adik tiri dan ibu tiri yang belakangan jatuh sakit serius. Upaya pelunasan utang warisan inilah yang menjurumuskannya pada sindikat distributor barang-barang selundupan.

    Di Bread Time sendiri suatu ketika timbul insiden demi insiden ganjil yang bahkan nyaris merenggut nyawa kolega mereka. Diduga ini ada kaitannya dengan pemutusan hubungan kerja dengan mitra distributor utama mereka, Calvin & Co. Meski demikian, baik Tara maupun Raffi telah bulat untuk tak meneruskan kontrak niaga dengan penyuplai mereka itu. Raffi yang sedikit banyak didorong oleh rasa cemburu justru menuding Hazel terlibat dalam serangkaian insiden tersebut. Apa sebenarnya alasan kuat pemutusan tersebut? Benarkah Calvin & Co dan Hazel terlibat dalam tindak sabotase terhadap Bread Time? Lantas bagaimana dengan kisah romansa segitiga antara Tara, Raffi, dan Hazel? Akan adakah sebuah pernikahan? Apa pula hubungan Diaz dengan kisah Hazel? Sebaiknya Anda membaca sendiri kisah seru penuh intrik ini dan temukan keseruan di dalamnya.

Review:

    “Saat pertama kali melihatnya, kau akan merasa seolah melihat sebuah peach dengan warna kulitnya yang cantik, membuat orang pasti tak tahan untuk mengupasnya, dan isi di dalamnya juga tak kalah mempesona. Tapi, di saat kau memakannya, pertama-tama kau akan terkejut akan rasa asamnya yang sangat. Tapi saat kau terus mengunyahnya, kau akan merasakan rasa dan sensasi yang luar biasa, sensasi rasa yang elegan, yang membuat kau tak akan bisa melupakannya,”
(halaman 44)

    Kutipan di atas sesungguhnya ditujukan untuk menggambarkan salah seorang tokoh utama. Namun, bagi saya deskripsi di atas dapat juga berlaku untuk memandang kehidupan. Ada kalanya kita tertipu oleh dunia dan isinya yang sekilas indah, namun sesudah ‘mencicipi’ ujian demi ujian barulah kita sadar bahwa dia juga menyimpan kejutan yang luar biasa dan tak terlupakan.

    “Ini memang bukan pilihan selera yang umum. Tidak semua orang bisa menoleransi rasa kayu manis saat meninggalkan rasa tajam dan spicy di lidah. Namun baginya, secangkir minuman ini seolah-olah menjadi representasi atas kehidupannya yang telah bertahun-tahun memang bergerak di luar kebiasaan dan kelumrahan.” (halaman 39)

    Kali ini secangkir minuman favorit seorang Hazel digunakan dengan cerdas oleh duo penulis sebagai perlambang yang sekaligus mendeskripsikan karakter sang tokoh.

    Menurut saya gaya deskripsi seperti di atas mengena sekaligus unik. Menciptakan suatu keindahan tersendiri dalam novel ini. Setting sebuah bakery yang identik dengan makanan pun seolah mendukung dengan gaya tersebut.

    Jujur, saat membaca selintas judul dan sedikit mengintip resensi seorang blogger, saya sempat berharap akan banyak istilah dunia kuliner, khususnya bakery, pengolahan roti, jenis-jenisnya, atau menu-menu di Bread Time yang menggiurkan. Tapi agaknya tebakan saya itu kurang tepat. Karena berbeda dengan novel salah seorang penulisnya—Mbak Riawani Elyta, The Coffee Memory yang kental dengan istilah-istilah barista dan pengolahan kopi, maka novel A Cup of Tarapuccino ini lebih mengarah pada intrik dan seluk beluk dunia bisnis. Baik pengelolaan, promosi, hubungan kerja sama dengan distributor, kaitan dinas kesehatan, dan semacamnya. Tokoh utama di novel ini bukanlah seorang pastry chef, melainkan pengusaha.

    Dan di luar dugaan saya juga bahwa porsi seluk beluk bisnis kuliner lebih mendominasi ketimbang pasang surut kisah asmara para tokohnya. Bahkan bisa dikatakan saya dijamu oleh suguhan plot sarat suspense yang menggelitik otak dan rasa penasaran saya akan kasus yang dihadirkan. Racikan Mbak Riawani Elyta dan Rika Y. Sari dalam menciptakan alur yang maju-mundur, petunjuk-petunjuk kecil yang sengaja disisipkan, dan kekuatan karakter tokoh yang melebur menjadi bacaan yang mengasyikkan. Bahkan dalam satu bab kita akan disuguhi dua setting berbeda sekaligus, namun masih memiliki keterkaitan.

    Kalau bisa disebut kekurangan, itu sebatas typo, ketidakkonsistenan dua penulis terhadap sejumlah ejaan (kadang dipisah, kadang disambung), dan sejumlah kalimat yang masih kurang efektif (kepanjangan). Daftar isi yang hanya berisi list bab dan halaman menurut saya juga kurang efisien. Berbeda misalnya jika tiap bab diberi judul yang menarik. Atau sekalian saja daftar isi dihilangkan dari lembar novel. Bagi saya itu bukan masalah krusial. Toh, saya menemukan beberapa novel ternama juga tidak mencantumkan daftar isi.

    Novel ini juga dengan cukup lantang menyuarakan inovasi bisnis kuliner yang pro syariah dalam manajemennya. Disisipi juga dengan kritikan dan sindiran atas berbagai fakta mengenaskan di negara kita.

    “Menyelundupkan barang secara ilegal, juga bahkan manusia untuk menjadi pekerja, lebih tepatnya dipekerjakan, atau bahkan diperhambakan. Jelas tak bisa ditoleransi oleh undang-undang manapun. Namun, bukankah undang-undang sendiri bak pisau bermata dua? Menangkap dan menghukum pelaku, namun dengan mudah menggeser sabda hukum untuk dan atas alasan uang? Dan bukankah para illegal worker dan illegal products yang seolah perputarannya tak dapat dibendung itu sebenarnya ‘dampak’ dari lemahnya sistem, rancunya hukum, dan deret panjang barisan oknum pengeruk keuntungan sendiri?” (halaman 223)   

    So, nggak rugi banget baca novel satu ini. Kita tak melulu dihibur kisah cinta romantis nan dramatis tapi diajak merenung lebih dalam mengenai banyak aspek kehidupan.

7 komentar:

  1. Next time, aku mau baca buku. semoga masih ada yang jual, xixixii....

    BalasHapus
  2. setahu saya buku ini diterbitkan ulang dengan penambahan di Indiva dik Fardelyn. Coba deh kontak dik Yeni.

    BalasHapus
  3. makasih Melani reviewnya, jadi udah baca brp buah nih novel saya? hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. belum semua, Mbak, hehe. baru lima, sama Sayap-sayap Sakinah.

      Hapus
  4. setuju. Buku ini juga porsi romancenya nggak banyak. Tapi bagi saya menjadi contoh yang menarik untuk cafe syar'i (halah istilah apa pula ini). Jadi sentilan yang menarik bagi para pengusaha muslim.

    Saya juga sudah mereview buku ini. Meski nggak seteliti Mbak Melani :D
    http://www.atriadanbuku.blogspot.com/2014/08/a-cup-of-tarapuccino.html

    BalasHapus
  5. Reviewnya bagus, bisa sampe merenungi gitu.

    BalasHapus

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube