Minggu, 31 Desember 2017

Impian Demian: Mengorbankan Impian, Mungkinkah?

Posted by Menukil Aksara | 11:25:00 AM Categories:
Judul buku                : Impian Demian
Penulis                      : Nimas Aksan
Editor                       : Dion Rahman
Penerbit                    : PT Elex Media Komputindo
Tebal buku               : vii + 350 hlm.
Cetakan                   : pertama, 2017

BLURB:

    “Impianku bukan berada di sini bersamamu dan sepabrik dengan perempuan sensi lainnya yang bergerombol membahas lipstik. Aku mengambil jurusan arsitektur bukan iseng-iseng seperti saat kamu ikutan lotre dan buummm... namamu keluar sebagai pemenang. Aku ingin membuat gedung. Aku selalu membayangkan bisa membangun banyak sekali gedung tinggi yang indah di negeri-negeri yang jauh dari sini.”

    “Kenyataannya kamu telah berada di sini, Demian. Di gedung rusak yang harus kamu bangun kembali.”


    Impian Demian Radityawangga untuk menjadi arsitek gedung-gedung bertingkat di seluruh dunia terancam kandas ketika suatu ketika dia didatangi oleh Alexandra Hardianty, Public Relation dari Sara Cosmetic, perusahaan kosmetik yang diwariskan kedua orangtuanya. Alexandra membuka kenyataan bahwa dia memiliki kewajiban memimpin perusahaan yang sedang mulai sekarat itu, sebagai pengabdiannya pada mendiang sang ibu, Sara Amalia, pendiri Sara Cosmetic.

    Keadaan semakin memburuk ketika Demian berkonflik dengan Hilda, ibu tirinya, yang memegang hak cipta atas Aqualove, produk kosmetik temuan terbaru yang seharusnya bisa menolong Sara dari kebangkrutan.

    Mampukah Demian dan Alexandra bersama-sama mengatasi krisis dan menyelamatkan pabrik kosmetik yang nyaris bangkrut itu, sementara di sisi lain, kesempatan untuk meraih impiannya mulai memanggil-manggil?


SINOPSIS:

    Demian akhirnya lulus dan menyandang gelar sarjana teknik arsitektur dari sebuah universitas terkemuka di Bandung. Dia sempat tertinggal dari kedua sahabat karibnya, Rio dan Dewi, yang lebih dahulu diwisuda dan kini menghadiri upacara kelulusannya sebagai perwakilan keluarga. Demian yang belum lama kehilangan sosok ayahnya, menyusul kepergian ibunda tercinta bertahun-tahun sebelumnya, nyaris tak memiliki keluarga lain. Sebenarnya dia memiliki ibu tiri bernama Hilda dengan putri tunggalnya yang telah beranjak remaja, Lucia, namun mereka sama sekali tak berhubungan akrab layaknya sebuah keluarga. Bahkan, bisa dibilang Demian membenci Hilda yang mendadak hadir menggantikan posisi sang mama dulu. Hubungan Demian dengan mendiang papanya juga buruk akibat perlakuan keras sang papa yang berbeda jauh dengan kasih sayang dan kelembutan sang mama.

    Belum puas Demian menikmati euforia usai diwisuda, seorang perempuan muda yang tampak optimis datang menemuinya. Dia mengaku bernama Alexandra, pentolan Public Relation di perusahaan kosmetik yang sebelumnya dipimpin papa Demian. Alexandra menuntut Demian sesegera mungkin kembali ke Jakarta, menghadiri rapat penting perusahaan, dan memimpin menggantikan sang papa. Al—sebutan akrab Alexandra—juga mengungkap fakta bahwa perusahaan sedang mengalami krisis. Meskipun awalnya menolak mentah-mentah dan sempat menghindar datang ke kantor, Demian akhirnya muncul. Hanya satu hal yang membuatnya berusaha menghadapi kenyataan dan bersedia bertanggung jawab atas Sara Cosmetic, yaitu rasa sayangnya pada sang mama, sang pendiri perusahaan.

    Dalam perjalanan memikul amanat tersebut, Demian dan Alexandra menjadi dekat. Kedekatan hubungan Al dengan mendiang papa Demian—yang salah satunya dipicu hubungan persahabatan lama papa Demian dengan papa Alexandra—menjadikan sikap Al lebih cair kepada Demian. Keduanya pun tak sekadar bawahan-atasan tapi tim kompak dalam mengatasi krisis perusahaan. Al meminta Demian memperbaiki hubungan dengan Hilda dan Lucia, tak hanya demi kebaikannya, tapi juga demi Aqualove, produk temuan teranyar yang hak ciptanya dimiliki Hida. Jika rencana Hilda hengkang dari Sara Cosmetic benar-benar terjadi, maka bukan mustahil Aqualove akan jatuh ke pihak lain. Permintaan berat yang tak serta merta disepakati Demian. Hingga suatu ketika, minggatnya Lucia dari rumah menjadi pengubah segalanya. Walaupun insiden Lucia sempat menyebabkan kesalahpahaman besar dan keretakan hubungan Demian, Rio, dan Dewi, namun juga membuka jalan perdamaian dengan Hilda.

    Kepiawaian Al dalam menyusun strategi ‘penyelamatan’ patut diacungi jempol. Sosoknya tentu saja sangat dibutuhkan perusahaan dalam jangka panjang. Al bahkan berhasil melobi seorang konglomerat untuk berinvestasi. Tapi, kabar pertunangan dan rencana pernikahan dalam waktu dekat antara Al dengan Rivan, jelas buruk bagi Demian. Apa lagi dia sebenarnya memendam rasa pada Al. Selama ini, masalah keluarga secara tak sadar membuatnya takut berkomitmen. Sementara itu, impian menjadi arsitek lewat Cornery Block—sebuah perusahaan bonafit—telah  memanggil-manggil di depan mata. Maka kali ini, Demian diuji sekali lagi untuk memperjuangkan tak hanya impian menjadi arsitek tapi juga mimpi masa depan bersama wanita yang dicintainya.


REVIEW:

    “Dalam menjalankan sesuatu, kita harus totalitas. Jangan nanggung, karena katanya kita hanya akan menjadi orang yang biasa-biasa saja.” (hlm. 192)

    “... kamu akan menjadi dewasa karena kekecewaan. Kamu akan menjadi dewasa karena terluka. Kamu akan menjadi dewasa karena terluka. Kamu akan menjadi dewasa justru karena hal-hal menyakitkan yang kamu terima, dan hal-hal yang kamu inginkan tapi nggak bisa kamu dapatkan.” (hlm. 286)

    Sesuai judul yang mengisyaratkan bahwa kisah ini adalah tentang Demian dan ‘milik’ Demian, maka tepat menurut saya jika POV yang digunakan adalah orang pertama, aku—Demian. Saya jadi keasyikan ‘menguliti’ cara berpikir dan apa saja yang dirasakan Demian, sang tokoh utama. Menurut saya, Mbak Nimas cukup berhasil membawakan peran tokoh laki-laki dengan segala konflik batinnya di sini. Demian yang anak tunggal, sangat menyayangi mamanya, cenderung membenci ayahnya karena prasangka, takut berkomitmen terutama dengan perempuan sehingga mendapat imej player, tapi punya impian menjadi arsitek besar. Kedekatan dan keakraban interaksi Demian dengan Rio dan Dewi pun tergambarkan secara baik dengan menghadirkan sosok mama Rio dan sapaan akrab serta banyolan khas tiga sahabat karib yang kerap membuat saya tertawa. Sebut saja trio Harry Potter, Ron Weasley, dan Hermione, juga Frodo dari “LOTR”, serta Arthur si robot android dari “Passengers” yang diselipkan sepanjang cerita dan ternyata cocok dengan selera humor saya. Tak lupa deskripsi fisik dan karakter Rio maupun Dewi yang tak jarang kocak juga. Mungkin jika saya membaca di sebelah seseorang, saya akan tertular kebiasaan buruk Dewi tertawa sambil memukul orang di dekatnya, hehe...

    Kehadiran Alexandra sebagai tokoh sentral lain, sekaligus ‘partner in crime’ Demian, tak hanya di kantor tapi juga di luar kantor, juga membuat cerita lebih seru. Saya suka karakter Al yang dewasa, patuh dan sayang pada sang mama, selalu optimis, ramah, dan cerdas. Gambaran sosok wanita muda masa kini yang tak kehilangan kebaikan hati meski harus mengikuti gaya hidup wanita karir di kota megapolitan Jakarta. Chemistry antara Al dengan Demian pun pas, walaupun bagi saya kisah romansa mereka tak mendominasi. Bisa dimaklumi, karena kisah ini bersetting dua dunia bisnis dan profesi yang bertolak belakang dan konflik utama yang harus lebih mendapat perhatian penulis.

    Dan masih menyambung, setting dunia bisnis dan pabrik kosmetik dengan segala lika-likunya dipaparkan dengan cukup baik. Saya jadi tahu lebih banyak informasi terkait dunia bisnis yang notabene berfokus mempercantik penampilan kaum hawa ini. Juga peran public relation dalam menaikkan imej produk dan nama perusahaan dan keutamaannya dalam sebuah perusahaan berskala besar. Pemaparan lewat dialog antartokoh juga membantu sehingga lebih mudah saya pahami dan tak terkesan membosankan. Konflik keuangan perusahaan dan konflik batin para tokohnya juga tercipta dengan plot yang apik dan alur maju (dengan sesekali kilasan ingatan tokoh akan masa lalu) yang relatif cepat. Saya juga menghargai unsur kisah keluarga dan persahabatan di sini yang sangat terasa, juga pesan moral akan kedewasaan. Plot twist tetap ada, meskipun saya bisa meraba garis besar penyelesaian konflik. Selain itu, di bagian akhir ada secuil kisah penutup tak terduga yang menghibur.

    Secara keseluruhan, saya puas dan suka dengan novel ini, yang juga merupakan salah satu judul dari seri ‘City Lite’ Elex Media. Saya jadi tak sabar membaca judul lain dari seri terbaru ini. “Impian Demian” saya rekomendasikan bagi kalian yang suka membaca kisah romansa ala kota megapolitan atau metropolitan dengan kesibukan dunia perkantoran dan gaya hidup modernnya.

Kamis, 30 November 2017

Rainbow After The Rain: Romansa Islami Diselimuti Isu Terorisme

Posted by Menukil Aksara | 1:45:00 PM Categories:
Judul buku                : Rainbow After The Rain: Love In Moscow
Penulis                      : Angelique Puspadewi
Penerbit                    : Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit               : 2017, cetakan pertama
Tebal buku                : 216 hlm.

BLURB:
    Arabel adalah keluarga korban terorisme yang mendendam. Suatu hari, gadis yang berprofesi sebagai penulis ini ditantang editornya menulis kisah bertema terorisme.

    Semua berawal dari kedatangan sepupu Arabel, Reno dan sarah, untuk bulan madu di Rusia. Reno membawa sahabatnya, Dimitri, yang perlahan tapi pasti membuat Arabel sadar bahwa teror adalah sifat manusia yang tidak terkait agama mana pun.

    Seiring waktu, Arabel jatuh cinta pada Dimitri. Pria itu dan riset penulisan menjadi alasannya datang ke Bali. Padahal sejak kejadian Paddy’s, Arabel bersumpah tidak akan menginjakkan kaki ke Pulau Dewata. Di tempat itu pula semua kesakitan kembali datang. Dimitri membongkar rahasia besar yang menjungkir-balikkan dunia Arabel.

    Akankah Arabel menerima Dimitri dan masa lalunya seperti pelangi yang datang setelah hujan?

SINOPSIS:
    “Benar bahwa masa lalu menentukan perilaku masa depan, tetapi salah jika untuk membawa keburukan masa depan. Sebagai manusia yang diberi kecerdasan emosional, harus dapat menerima masa lalu dan berdamai dengannya.” (hal. 29)

    “Mengabulkan doa bagi siapa yang sungguh-sungguh meminta adalah janji Allah yang tertera dalam Kitab Suci. Tetapi adalah hak Allah kapan waktu doa itu dikabulkan.” (hal. 40)

    “Jangan samakan semua perilaku manusia hanya karena mereka dalam komunitas yang sama. Di dunia ini, tidak ada yang seratus persen baik begitupun sebaliknya.” (hal. 113)

    Adegan diawali dengan setting Denpasar di tahun 2002, kala tragedi bom Bali terjadi. Arabel dan keluarga, beserta tante dan sepupunya yang sedang berlibur mendadak diliputi kecemasan dan kekalutan yang luar biasa. Papa Arabel, Alberto, berada di Paddy’s Pub, Legian ketika bom meledak. Jasad Alberto tak ditemukan dan keluarga lantas memilih merelakan, menganggap Alberto telah tiada dalam tragedi tersebut. Kecuali Arabel, sang putri sulung sekaligus putri kesayangan Alberto, yang memilih menyimpan dendam pada para pelaku bom, termasuk malu mengakui diri sebagai muslim yang notabene memiliki keyakinan yang sama dengan para teroris.

    Kisah kemudian bergulir ke tahun 2015, di Moskow, Rusia. Reno sepupu Arabel yang baru menikah dengan istrinya, Sarah, datang berkunjung sekaligus hendak berbulan madu di Rusia. Sarah adalah perempuan muda berjilbab yang hangat. Reno juga mengajak serta seorang sahabat. Pria berdarah melayu yang memiliki nama khas Rusia, Dimitri. Pria muda tampan ini langsung menyedot perhatian Arabel. Arabel kemudian menyadari fakta bahwa Dimitri seorang yang religius, bahkan menolak bersentuhan tangan dengan nonmahram, sesuatu yang membuat Arabel risi dan enggan. Arabel sendiri selama ini bahkan berniat berpindah keyakinan dengan mencari pria calon pendamping nonmuslim. Sayangnya, sang mama terang-terangan menentang dan selalu menemukan alasan untuk membatalkan keinginan Arabel. Bahkan mamanya memilih menetap di Moskow—alih-alih menemani si bungsu Adriana di Paris—salah satu alasannya demi menjaga Arabel. Tak henti sang mama mendoakan agar Arabel mendapat hidayah. Bahwa kebencian Arabel pada agamanya tak berdasar, apa lagi jika itu disebabkan oleh tragedi bom di masa lalu.

    Interaksi dengan Reno, Sarah, dan Dimitri selama beberapa waktu, meskipun cukup singkat, ternyata mampu membuka sedikit hati Arabel atas kebenaran. Arabel juga mulai tergerak kembali dengan aktivitas ibadah ataupun mempelajari kembali Islam. Hingga suatu hari, Arabel yang seorang penulis diminta Misja sang editor untuk menulis kisah terbaru yang mengangkat topik terorisme. Misja yang mengetahui kisah Arabel menganggap Arabel yang paling pantas menulis topik ini ketimbang penulis lain yang dikenalnya. Walaupun sempat menolak dan pesimis atas kemampuannya menulis topik yang traumatis itu, akhirnya Arabel menerima tantangan Misja. Tak lama setelah Reno, Sarah, dan Dimitri kembali ke Indonesia, Arabel dan mamanya menyusul terbang ke Jakarta demi riset menulis buku sekaligus mengunjungi Tante Sisi, mama dari Reno.

    Rupanya takdir membuat Arabel lantas menginjakkan kaki juga di Bali. Melawan traumanya, Arabel diajak oleh Dimitri menelusuri kembali jejak tragedi beserta monumen peringatannya. Tak dinyana, di Bali pula Dimitri yang semenjak Arabel tiba di Jakarta telah mengungkap sisi lain kehidupan yang cukup mengejutkan, kembali membongkar rahasia besar hidupnya. Kali ini, Arabel yang mulai merasakan cinta pada Dimitri sangat syok dan merasa dunianya dijungkirbalikkan. Dia harus memilih antara berdamai dengan takdir ataukah kembali mendendam.
REVIEW:
    “Setiap takdir Allah baik.” (hal. 127)

“Dad kerap menenangkan dengan mengatakan bahwa pelangi pasti muncul asal sabar menunggu. Atau, jikapun tidak, bukan salah pelangi, melainkan pandangan kita yang gagal mencari.” (hal. 128)

    “Kesabaran adalah kunci dari setiap penyelesaian masalah. Seseorang yang penuh emosi sulit menemukan jalan.” (hal. 129)

    Buku ini merupakan salah satu judul dari seri novel romance “Around The World With Love” terbaru dari Gramedia Pustaka Utama. Sebagai novel bergenre romance, saya sama sekali tidak menyangka topik terorisme dan agama yang bisa dibilang sensitif diangkat dalam kisah ini. Ini juga jadi kali pertama bagi saya membaca karya Mbak Angelique Puspadewi. Menurut saya, dia cukup berhasil menggali sisi kemanusiaan dan religi dalam kisah ini, selain unsur romansa yang tetap sangat terasa. Mengambil alur maju (kecuali di bagian prolog), kisah perdamaian dengan takdir milik Arabel ini tergolong cepat dengan menggunakan POV orang ketiga yang rapi.

    Setting Rusia dan Indonesia yang dipilih pun disajikan dengan apik dan berkesesuaian dengan topik dan logika cerita. Saya sangat menyukai eksplorasi wisata Rusia, terutama Moskow dan Saint Petersburg yang cukup banyak mendapat porsi. Apa lagi, ada nuansa religi selama Ramadan di sana, juga fenomena White Night di Sungai Neva. Saya pun bertambah kagum dengan para muslim minoritas yang pada faktanya memang berhasil beradaptasi di sana hingga masa sekarang. Salah satu pesan kebaikan dan wawasan yang menjadi poin plus dari novel ini. Interaksi dan dialog-dialog tukar pikiran yang bernas dan menyentuh yang ditampilkan antartokoh pun sangat menarik.

    Mengenai penokohan, sosok Arabel yang blasteran Italia-Indonesia tak hanya cantik dan pintar, tetapi juga memiliki sisi rapuh yang manusiawi. Saya sempat dibuat teramat jengkel dan gemas dengan sikap emosional dan mudah berburuk sangka dari Arabel. Tapi gara-gara Arabel juga saya merasa tertohok dan pasti ada pembaca yang menangis. Ini bisa dibilang bukti bahwa Mbak Angelique sukses mengaduk-aduk emosi pembaca. Sedangkan tokoh pria, Dimitri Aldebaran, digambarkan nyaris sempurna. Tampan, mapan, religius, dan bertanggung jawab, tapi tetap menyimpan sisi manusiawi yang bisa saja khilaf. Pembawaan Dimitri yang jauh lebih kalem dan dewasa ketimbang Arabel menurut saya jadi paduan yang klop sehingga chemistry antara mereka berdua terasa. Tokoh-tokoh lain menurut saya tak kalah penting dalam jalinan cerita. Seperti Reno, Sarah, Mom alias Mama Arabel, Adriana, Misja, dan Tante Sisi. Masing-masing berhasil menciptakan plot yang mengasyikkan untuk diikuti. Ada dua tokoh yang membuat saya cukup penasaran, sayangnya hanya ditampilkan sekilas, yaitu Ergata dan Rando. Well, saya rasa dua tokoh ini bolehlah dibuatkan kisah sendiri, hehe...

    Secara keseluruhan, novel ini sangat layak dibaca dan dikoleksi oleh para pencinta genre romance, terutama yang mengidamkan romansa dengan ide yang nggak biasa dan tokoh pria yang ‘husband material’. Saya yakin pembaca wanita akan dibuat baper dengan kisah Arabel dan Dimitri. Banyak pesan moral dan kutipan-kutipan bagus juga di dalamnya. Obviously recommended.

Menemani Setiap Detik Rasa Sepi: Kisah Cinta Dua Remaja Beda Dunia

Posted by Menukil Aksara | 9:51:00 AM Categories:
Judul buku          : Menemani Setiap Detik Rasa Sepi
Penulis                : Adrindia Ryandisza
Penyunting          : Jason Abdul
Penerbit              : PT Falcon
Tebal buku          : 342 hlm.; 14 x 20.5 cm
Cetakan              : pertama, November, 2017

BLURB:
Naomi cantik dan anggota pemandu sorak terbaik di sekolahnya. Tapi setiap latihan dan pertandingan dia merasa kesepian dalam keramaian.

Dia punya teman-teman, dulu. Dia punya keluarga sangat bahagia, dulu. Semua berubah setelah setiap detik rasa sepi menemaninya selalu.

Suatu kali, Naomi meminta kepada Tuhan agar dikirimkan teman sejati. Dan dari miliaran manusia di bumi ini, hadirlah seorang cowok tampan sekali.

Hanya saja sosok cowok ini berbeda, bahkan Naomi bisa tembus melewati tubuhnya. Satu hal lagi, cowok ini mengaku sebagai “jodoh” Naomi.

Oh.
Lalu hidup Naomi tidak sama lagi setelah itu...

SINOPSIS:
“Naomi juga tidak begitu peduli tentang pandangan orang lain kepadanya. Hanya karena mereka melabeli Naomi dengan hal-hal yang jelek, dia tidak akan sakit-sakitan atau mati karenanya.” (hal. 11)

“Dari segala yang ada di dunia, apa sulitnya ngasih yang enggak akan biarin menusuk dari belakang? Tinggal ngasih yang enggak akan biarin aku ngerasa sepi? Yang selalu siap ada di mana dan kapan pun yang aku mau?” (hal. 21)

Naomi, seorang siswi kelas XI sekolah elit Cikal Bangsa di Jakarta, cantik, anggota terbaik tim pemandu sorak, tapi terkenal jutek, tak segan mengutarakan isi pikirannya, dan tidak mau berteman dengan siapa pun. Naomi sengaja menutup diri karena pengalaman buruk pertemanan di masa lalu. Tak ayal, Naomi selalu merasa kesepian, baik di sekolah maupun di rumah. Apa lagi, kedua orang tuanya kini lebih memilih sibuk dengan urusan bisnis dan tak lagi meluangkan waktu untuk anak mereka. Naomi merasa dilupakan dan marah dengan kondisinya. Hal inilah yang suatu hari memicunya ‘menantang’ Tuhan, menuntut dikirimi seseorang yang sedia dan setia menemani setiap waktu. Tak disangka, Tuhan seolah mengabulkan ‘tuntutannya’ dengan munculnya sesosok cowok tampan seusianya secara mendadak. Tak hanya mendadak, cowok ini bahkan muncul di kamar Naomi dan segala benda tembus padanya. Sosok ini mengaku bernama Rayhan dan menyatakan diri sebagai jodoh Naomi.

Naomi yang awalnya sangat syok mendapati sesosok roh gentayangan alias hantu menyebutnya ‘jodoh’ dan bersikap ramah, pada akhirnya terpaksa menerima. Mulai saat itulah Rayhan selalu ‘menguntit’ ke mana pun Naomi pergi. Hingga Naomi terpaksa membuat ‘nota kesepakatan’ berisi aturan untuk Rayhan. Meskipun bukan manusia, ternyata perlahan Naomi merasakan kenyamanan dengan keberadaan Rayhan yang cerewet, selalu ingin tahu, dan bahkan takut menonton film horor. Rayhan mampu membuat Naomi melupakan kesepian dan bahkan tertawa lepas. Tanpa disadari, rasa nyaman ini perlahan berubah menjadi rasa suka.
Di sekolah dan klub pemandu sorak, Naomi memiliki rival sekaligus musuh bebuyutan bernama Nicky, yang memiliki kembaran cowok bernama Nick. Duo kembar ini tak bosan membuat masalah dengan Naomi. Puncaknya, ketika di pesta dansa sekolah, Nicky bersekongkol dengan beberapa kakak kelas cewek menyekap Naomi. Beruntung, Rayhan datang menolong. Kejadian ini mengungkap satu fakta mengejutkan tentang Rayhan dan membuat konflik dengan Nicky bertambah runyam. Percekcokan besar kembali terjadi, hingga Nicky dan Naomi dipanggil kepala sekolah. Sayangnya, ketika orangtua Naomi dihubungi, mereka tak hadir. Naomi merasa muak dan meratapi nasibnya yang dilupakan orangtua.

Final pertandingan basket yang mampu mengalihkan kesedihan Naomi. Di sekolah lawan ini pulalah Naomi Rayhan menemukan sekeping ingatan masa lalunya. Kembalinya ingatan Rayhan tentang kehidupan lalunya sedikit demi sedikit inilah yang lantas membuat Naomi bertekad untuk mencari tahu siapa sebenarnya Rayhan, mengapa rohnya sampai bergentayangan, dan ia lupa akan jati dirinya? Tapi, Naomi juga takut jika suatu saat, Rayhan tak lagi ‘menghantuinya’ dan pergi begitu saja jika sudah mengingat jati dirinya. Di sinilah Naomi diharuskan membuat pilihan yang tepat.
REVIEW:
Membaca blurb novel di kover belakang, saya sempat mengira ini novel remaja dengan kemasan misteri horor. Sebuah tema yang tak biasa untuk bacaan remaja. Tapi ternyata penulis mengemas cerita dengan ringan, sehingga cerita tetap bernuansa teenlit yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari remaja, terutama di kota besar Indonesia. Sama sekali tidak menyeramkan ala novel horor. Penggambaran sosok hantu Rayhan pun justru ramah, baik, ceria, dan berwajah tampan. Ditambah rasa suka yang tumbuh di antara keduanya, membuat kisah menjadi asyik dengan teka-teki akan nasib cinta mereka. Kover pun menarik dan menggambarkan judul.

Ada beberapa hal yang menjadi catatan saya. Ini bersifat subjektif, saya rasa. Bisa jadi, pembaca lain memiliki opini yang berbeda dari saya. Pertama, tentang pemilihan POV atau sudut pandang penceritaan. Menurut saya, akan lebih pas jika digunakan POV orang pertama (aku, Naomi) ketimbang POV orang ketiga. Karena, fokus cerita dari awal hingga akhir adalah Naomi, jadi feel akan lebih terasa jika pembaca diajak menelusuri kisah dari sudut emosi dan isi pemikiran Naomi. Selain itu, saya mendapati di beberapa bagian, terdapat pernyataan yang agak kurang meyakinkan tentang apa yang dipikirkan tokoh lain, padahal digunakan POV orang ketiga, yang menurut saya seharusnya berperan sebagai ‘dia’ yang maha tahu. Kedua, konflik keluarga antara Naomi dan orangtuanya, kurang dieksplor. Saya mengharapkan kemunculan adegan—sedikit sekalipun—yang melibatkan kehadiran orangtua Naomi dan membuat cerita lebih mengaduk-aduk emosi serta menegaskan kesepian yang dirasakan Naomi. Ketiga, terkait penyelesaian masing-masing konflik yang agak kurang menohok, terkesan terburu-buru. Baik itu konflik antara Naomi dengan Nicky – Nick, Naomi dengan orangtuanya, maupun Naomi dengan Rayhan.

Secara keseluruhan, teenlit yang satu ini menawarkan ide segar yang menarik dan menghibur. Fenomena merenggangnya hubungan antara anak-orangtua pun memang tak asing lagi di era sekarang dan layak diangkat. Juga persaingan tak sehat dan aksi yang menjurus ke arah bullying di kalangan remaja. Kisah Naomi ini bisa menjadi cerminan bagi pembaca remaja. Bahwa hal-hal buruk tak lantas dicontoh hanya demi dianggap populer atau diterima dalam lingkaran pertemanan.

Sabtu, 11 November 2017

Glaze: Galeri Patah Hati Kara dan Kalle

Posted by Menukil Aksara | 7:07:00 AM Categories:
Judul buku                 : Glaze
Penulis                       : Windry Ramadhina
Editor                         : Gita Romadhona
Proofreader                : Tharien Indri
Ilustrasi isi                 : Windry Ramadhina
Penerbit                     : Roro Raya Sejahtera (imprint Twigora)
Cetakan                     : pertama, Januari 2017
Tebal buku                 : iv + 396 hlm; 14 x 20 cm

han lama
BLURB:
Seperti glasir di permukaan keramik, aku merasakanmu sepanjang waktu.
Mataku tak lelah menatapmu, diam-diam mengabadikan senyumanmu di benakku.
Telingaku mengenali musik dalam tawamu, membuatku selalu rindu mendengar cerita-ceritamu.
Bahkan ketika kita berjauhan, aku selalu bisa membayangkanmu duduk bersisian denganku.

Seperti glasir di permukaan keramik, kepergianmu kini membungkusku dalam kelabu.
Ruang di pelukanmu terasa kosong tanpa dirimu.
Dadaku selalu sesak karena tumpukan kesedihan mengenang cintamu.
Bahkan ketika aku ingin melupakanmu, bayanganmu datang untuk mengingatkan betapa besar kehilanganku.

Aku menyesal telah membuatmu terluka, tapi apa dayaku?
Aku yang dulu begitu bodoh dan naif, terlambat menyadari kalau kau adalah definisi bahagiaku.

SINOPSIS:
    “Eliot, dia seperti sebongkah batu besar dalam karung lusuh yang harus kupanggul bertahun-tahun. Dan, kini karena dia sudah tidak ada, aku tidak memiliki beban. Tetapi, herannya, aku masih bisa merasakan sakit yang muncul di dadaku... “ (hal. 16)

    “Dia mencintai Kara. Sungguh-sungguh mencintai Kara. Dan, dia menitipkan perempuan itu kepadaku.” (hal. 87)

    “Aku... tidak ingin menangis lagi. Aku ingin... setiap mengingat Eliot... aku tersenyum.” (hal. 138)

    “Aku suka membuat keramik,” katanya, “tapi aku tidak akan bisa membuat keramik yang sama dua kali.” “Kenapa?” “Mengulang sesuatu, yang seperti itu bukan seni.” (hal. 167)

    Adegan diawali dengan kematian Eliot di rumah sakit disusul suasana pemakaman. Kalle, kakak laki-laki Eliot adalah satu-satunya anggota keluarga yang masih tersisa, setelah kedua orangtua mereka meninggal ketika mereka masih kecil. Kedua bersaudara tersebut diasuh oleh tante dan om mereka. Kalle dewasa lantas mewarisi tanggung jawab mengelola perusahaan properti peninggalan orangtua sekaligus mendiami rumah besar milik keluarga. Sedangkan Eliot, semasa hidup dewasanya justru tinggal di sebuah rumah cukup sederhana di pinggiran kota Bogor.

    Sepeninggal Eliot, Kalle berkewajiban mengurus rumah di Bogor tersebut, termasuk barang-barang Eliot. Kalle berencana menjual rumah itu. Di sanalah lantas Kalle menemukan sebuah video wasiat Eliot. Ternyata Eliot gemar membuat rekaman video tentang kesehariannya di Bogor. Anehnya, di video terakhirnya Eliot menitipkan suatu hal berharga, tapi bukan benda melainkan seorang gadis bernama Kara, yang kemudian Kalle tahu adalah kekasih Eliot. Kara ternyata tinggal di sebuah rumah bersebelahan dengan rumah Eliot dan kucing hitamnya kerap menerobos masuk.

    Awalnya Kalle tak terlalu ambil pusing dengan wasiat Eliot. Apa lagi hubungannya dengan sang adik tak terlalu dekat semasa Eliot hidup. Kalle bisa dibilang membenci Eliot karena suatu hal. Namun, Kalle kemudian menyadari bahwa Kara adalah gadis yang pernah dilihatnya di rumah sakit dan pemakaman. Sebuah pertemuan juga membuat Kalle mengenal Kara, apa lagi mereka bertetangga selama di Bogor, dan tante Kalle cukup akrab dengan gadis itu. Kara adalah seorang seniman keramik yang memiliki bengkel kerja di rumahnya, juga mengajar seni keramik pada anak-anak sekolah alam milik sahabatnya, Rere. Di mata Kalle, Kara adalah gadis aneh yang benar-benar kacau. Kara selalu berpenampilan berantakan, pelupa, dan ceroboh, tapi juga naif dan baik. Perlahan, Kalle mulai menaruh perhatian. Hingga sebuah kejadian di tanah pemakaman Eliot membuat Kalle merasakan hal lain terhadap Kara, meskipun masih tak mau mengakui. Kalle juga berpikir rekaman-rekaman Eliot tentang Kara meracuni pikirannya.

    Suatu ketika, Kara mendapat penawaran tak terduga untuk berpartisipasi dalam sebuah pameran seni di galeri milik Inoue-san, seorang kurator senior dari Jepang, yang memiliki galeri di Jakarta. Sebenarnya itu merupakan pameran terakhir yang diadakan sebelum galeri beralih fungsi dan kepemilikan ke tangan perusahaan milik Kalle. Tak disangka, Kara berhasil menciptakan sebuah karya memukau, bahkan menarik perhatian seorang profesor seni keramik Jepang yang juga merupakan kenalan Inoue-san. Profesor tersebut juga menawari Kara untuk belajar lebih lanjut seni pewarnaan keramik di Tokyo. Tawaran menarik yang sempat ditolak namun kemudian diterima oleh Kara. Persetujuan Kara ini ada kaitannya dengan Kalle dan apa yang ditemukannya di ruang kerja Kalle. Selama perpisatersebut, baik Kara maupun Kalle berusaha mendefinisikan kembali arti bahagia mereka.


REVIEW:
    “Saat membuat keramik, kita memindahkan sebagian jiwa kita ke dalamnya. Jiwa yang bahagia menghasilkan keramik yang bahagia. Jiwa yang muram menghasilkan keramik yang muram.” (hal. 178)

    “Cinta Eliot kepada Kara, aku bisa merasakannya. Jelas dan nyata. Seakan-akan, Eliot merasuki aku.” (hal. 215)

    “Ciuman Kalle seperti serbuk sihir yang membawa aku terbang tinggi. Sangat, sangat, sangat tinggi. Aku tidak tahu cara kembali.” (hal. 298)

    “Dia pergi dari rumah Eliot untuk selamanya. Malam itu, aku membuat banyak keramik yang menangis.” (hal. 328)

    Blurb-nya beda, berbentuk puisi, kovernya indah, itu kesan pertama saya terhadap "Glaze". Kisah yang sedari halaman awalnya sudah sendu ini mengajak saya menelusuri perasaan dan pemikiran dua tokoh utamanya: Kara dan Kalle, menggunakan sudut pandang orang pertama (mereka berdua secara bergantian). Pemberian judul tiap bab sesuai pergantian POV juga sangat membantu memberikan ‘peringatan’ kepada saya, sehingga saya bisa menyesuaikan diri. Dan, salut sekali dengan ide brilian ini. Tak banyak penulis novel yang memilih POV orang pertama dari dua tokoh sekaligus, apa lagi dua tokohnya ini laki-laki dan perempuan. Tentu dibutuhkan usaha ekstra secara laki-laki dan perempuan jelas berbeda dalam mengekspresikan diri masing-masing. Dan, tak hanya itu, ternyata Kak Windry menambahkan poin plus dengan memberi sentuhan personal pada Kara, misalnya julukan 'Kumal'. Cara dia berbicara, berpikir, bertindak pun punya kekhasan. Seperti ungkapan ‘sangat, sangat, sangat’ dan ‘loop, chamois, spons’, juga tiruan bunyi ‘hu hu hu’, ‘ngit ngit ngit’ yang sering kali muncul dalam bab ‘Kara’. Saya jadi lebih mudah membayangkan sosok Kara, seolah dia lebih hidup di benak saya. Saya juga suka dengan karakter Kalle. Seorang pria yang menyimpan luka, membuat saya turut merasakan berbagai emosi yang campur aduk dan dirasakannya terkait sang papa dan adiknya semasa mereka hidup. Tokoh yang mengundang simpati sekaligus manusiawi dari segi karakternya.

    Setting Bogor juga punya nilai personal bagi saya, karena saya juga mencintai kota hujan tersebut, punya kenangan mendalam di sana, sehingga sangat terasa feel-nya terutama ketika di jelang akhir, Kara menggambarkan kerinduannya akan kesemrawutan Bogor. Juga penggambaran sekolah alam, anak-anaknya yang berisik tapi menggemaskan, bengkel keramik dan galeri seni yang sangat apik. Pemaparan tentang seni keramik, proses dan filosofinya pun cukup mudah dipahami orang awam seperti saya tanpa meninggalkan kesan keindahannya. Ilustrasi isi pun sangat membantu menjadikan sosok Kara, Kalle, Eliot, dan adegan-adegan dalam novel lebih hidup.

    Perkembangan karakter Kalle maupun Kara pun mengalir, tak terkesan terburu-buru, sehingga saya bisa merasakan ketika mereka patah hati, terkungkung kesedihan, lantas proses merelakan, jatuh cinta lagi, patah hati lagi dan pada akhirnya berusaha mendefinisikan kebahagiaan. Saya terhanyut dengan jalinan kisah keduanya, juga konflik batin dan keraguan yang jelas mengambang. Pada akhirnya, ending memuaskan. Tiga kalimat paling akhir dari bab penutupnya, wow, sederhana tapi sangat tepat sasaran. Kalimat tersebut bercokol dalam benak saya hingga lama setelah saya meletakkan buku. Mirip salah satu ungkapan dalam novel, “seakan-akan Kalle merasuki aku.”. Satu lagi karya brilian dari seorang Windry Ramadhina yang sangat saya rekomendasikan.

    “Baik-baik saja tidak sama dengan bahagia.” (hal. 366)

Jumat, 10 November 2017

Bellamia: Interoffice Romance, Mungkinkah Berhasil?

Posted by Menukil Aksara | 9:42:00 AM Categories:
Judul buku               : Bellamia
Penulis                     : Ika Vihara
Penyunting              : Kuntari P. Januwarsi
Perancang sampul  : Nani Susianti
Penerbit                  : Phoenix Publisher
Cetakan                   : pertama, Agustus 2017
Tebal buku              : x + 294 hlm.; 14 x 21 cm

BLURB:
    Amia selalu percaya bahwa karier dan cinta tidak boleh berada di dalam gedung yang sama. Interoffice romance lebih banyak membawa kerugian bagi karier seseorang. Sudah banyak kejadian pegawai mengundurkan diri setelah putus cinta dan Amia tidak ingin megikuti jejak mereka.

    Selain di kantor, di mana Gavin bisa bertemu dengan gadis yang menarik perhatiannya? Gavin tidak ada waktu untuk ikut komunitas, tidak bertemu dengan teman kuliah maupun teman SMA dan lebih banyak menghabiskan hidup di kantor.

    Ketika Amia patah kaki dalam simulasi terorisme, Gavin—dengan alasan bertanggung jawab sebagai atasan—mulai membuka jalan untuk mengubah pandangan Amia. Namun Amia mengajukan satu syarat. 

    Merahasiakan hubungan dari semua orang.

SINOPSIS:
    “Every relationship, broken or not, has made us better person.” (hal. 23)

 “If someone truly wants to be with us, no external factors can stop them. If it does, that shows the priority they give us.” (hal. 46)

    “Engineer tidak diajari untuk berbohong.” (hal. 141)

Bellamia atau Amia bekerja di kantor yang didominasi karyawan pria, terutama para engineer. Meskipun begitu, dia justru sedang patah hati setelah putus dari mantan kekasih yang seorang pengacara. Namun, mantan kekasihnya ini tak sepenuhnya mau melepaskan. Ketika Amia sedang berusaha menyelesikan urusan dengan sang mantan kekasih, suatu hari, berdasarkan perintah atasan langsungnya, Amia diminta menyerahkan sesuatu ke seorang atasan bernama Gavin yang masih terasa asing di telinganya. Ternyata Gavin termasuk dalam top management atau yang biasa ia sebut bos besar. Bos besar satu ini baru pindah dan akan menempati rumah dinas. Pertemuan pertama Amia dengan Gavin sempat meninggalkan kesan tersendiri. Antara jengkel karena harus membantu Gavin, yang mana bukan merupakan job desc Amia, namun juga menyenangkan karena Gavin adalah sosok pria yang sangat menarik dari segi fisik dan penampilan. Dan ternyata demikian pula yang dirasakan Gavin, yang menganggap Amia menarik meskipun jutek dan suka ceplas-ceplos. 

    Pertemuan mereka disusul pertemuan-pertemuan tak disengaja lain, baik di kantor maupun di luar kantor. Hingga suatu hari, Amia menemukan Gavin di rumah orangtuanya, sedang mengobrol akrab dengan sang kakak, Adrien. Ternyata Gavin merupakan kawan lama semasa Adrien berkuliah di luar negeri. Bagi Gavin, fakta bahwa Amia adalah adik kesayangan Adrien menjadi tantangan tersendiri, karena Adrien sangat mengetahui masa lalu Gavin, terutama terkait petualangan cintanya di masa muda. Adrien sebenarnya tak setuju jika Gavin mendekati adiknya. Tetapi Gavin tak menyerah. Dia tetap melancarkan aksi pedekate langsung kepada Amia dengan berbagai cara. Amia pun luluh dan memberi Gavin kesempatan, dengan syarat bahwa kedekatan mereka harus dirahasiakan dari semua rekan kerja, kecuali Savara alias Vara, sahabat terdekat Amia di kantor.

    Pada awalnya hubungan Amia dan Gavin berjalan mulus. Hingga Gavin perlahan mulai kerap dihinggapi cemburu akibat rekan-rekan pria Amia yang terang-terangan mendekati, juga seringnya Gavin sulit dihubungi dan ditemui karena alasan kesibukan kerja. Perselisihan pun tak dapat dihindari. Puncaknya, suatu hari foto pribadi Amia bersama Gavin tersebar hingga cibiran dan sindiran terhadap Amia berdatangan. Disusul pula dengan masalah keluarga yang harus dihadapi Amia hingga menyebabkannya hilang kontak dengan Gavin selama beberapa waktu. Amia memang menyimpan sebuah rahasia besar tentang dirinya dan orangtuanya yang belum diketahui Gavin dan belum siap diceritakan. Di sinilah cinta mereka diuji dan dipertanyakan. Benarkah Amia siap menjalin komtmen serius dengan Gavin dan siapkah Gavin menerima Amia apa adanya. 


REVIEW:
    “Love, As it is an explosion of feeling. Seseorang tiba-tiba menjadi nomor satu dan mengalahkan segala hal lain dalam hidup.” (hal. 162)

    “Menurut Amia, jealousy is ten percent flattering and ninety percent annoying.” (hal. 193)

    “Orang-orang yang berhasil menjaga hubungannya—dengan pacar atau pasangan hidup—dalam waktu lama biasanya adalah orang yang tahu caranya ‘bertengkar’ dan tahu caranya mencegah pertengkaran agar tidak sampai membahayakan hubungan mereka.” (hal. 265)

    Baru kali ini saya membaca novel romance yang mengangkat topik utama interoffice romance. Mungkin bisa dibilang, mirip kisah cinta lokasi (cinlok), rasa suka yang disebabkan terbiasa bertemu atau berinteraksi. Namun menurut saya, kisah Amia dan Gavin ini cukup berbeda, karena Gavin bukan co-worker Amia, tetapi atasan dari atasan, sehingga dari dekripsi tugas mereka logisnya tak kerap terlibat interaksi langsung. Maka bisa dibilang, ini adalah kisah cinta yang bermula dari ketidaksengajaan pertemuan di tempat kerja yang sama, berlanjut ketertarikan dan perkenalan lain yang berproses mendekatkan Amia dan Gavin.

    Setting dunia kerja yang dipilih cukup unik, yaitu dunia engineering dan pembangkit listrik. Seharusnya banyak rekan kerja pria Amia yang tereksplor, namun penulis sengaja menfokuskan perhatian pembaca pada Gavin sebagai tokoh sentral. Sosok Gavin sekilas mendekati sempurna, dari segi fisik, penampilan, kecerdasan, latar belakang pendidikan, latar belakang keluarga, hingga dedikasinya pada profesi. Namun, lantas diungkapkan konflik-konflik pribadi yang membuka sisi-sisi lemah Gavin sehingga sosok ini menjadi sosok manusiawi yang nggak mustahil bisa kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan sosok Amia saya rasa cukup familiar dalam novel romance umumnya. Cantik, berpenampilan menarik dan feminin, pintar, meskipun jutek dan ceplas-ceplos, juga dibesarkan dalam keluarga yang hangat. Sisi rahasia keluargalah yang kemudian menjadikan sosok Amia memiliki sisi msterius dan memendam luka. Dan penulis berhasil membuat saya penasaran dengan menahan detail rahasia itu hingga akhir.

Penggunaan POV orang ketiga menjadi pilihan aman. Alurnya pun relatif cepat, konfliknya padat tapi tak terkesan terlalu dipaksakan, gaya penulisannya santai, dipadukan dengan istilah dan pernyataan dalam bahasa Inggris. Secara keseluruhan sangat menghibur dan saya menikmati membacanya. Ada cukup banyak adegan lucu dan menyentil dan kutipan-kutipan yang tersebar yang menarik untuk diperhatikan. Bisa dikatakan, novel ini ‘quoteable’, cocok sekali bagi pembaca yang senang menandai berbagai pernyataan dalam novel yang dibaca. Ada satu kejutan manis yang dihadiahkan penulis di bagian paling akhir yang sukses membuat saya tersenyum. Saya juga menyukai unsur kisah keluarga di dalam novel ini, yang membuat novel ini menyentuh, selain menghibur. Kisah cinta yang sukses bikin baper dan kisahnya tak jauh dengan keseharian, terutama di dunia kerja kota besar.

“Their superordinate-subordinate reationship makes everything double trouble.”

Everything We Keep: Tentang Membebaskan Diri dari Ikatan Masa Lalu

Posted by Menukil Aksara | 9:36:00 AM Categories:
Judul buku                  : Everything We Keep
Penulis                        : Kerry Lonsdale
Alih bahasa                 : Endang Sulistyowati
Penerbit                     : PT Elex Media Komputindo
Tahun terbit                : 2017
Tebal buku                 : 314 hlm.

BLURB:
    Si koki Aimee Tierney punya resep sempurna untuk masa depannya: menikahi kekasih masa kecilnya, membangun sebuah keluarga, dan membeli restoran orangtuanya. Namun saat tunangannya, James Donato, hilang akibat kecelakaan kapal, semua rencana matangnya seolah ikut tersapu ke lautan bersama James. Bukannya melangkah sebagai mempelai di lorong gereja, hari yang seharusnya menjadi hari bahagia bagi Aimee, malah menjadi hari pemakaman tunangannya.

    Sambil berjuang untuk menata kembali hidupnya, Aimee terus menyelidiki misteri di balik kematian James. Penyelidikan ini pun menimbulkan banyak tanya dalam dirinya, dan hanya kebenaran yang dapat membebaskan Aimee dari ikatan masa lalunya..., atau mungkin malah menghancurkannya.

SINOPSIS:
    “Selalu hanya ada kami berdua. Tidak pernah ada orang lain; kami saling mencintai sebesar itu. Kami tumbuh bersama dan berjanji untuk menjadi tua bersama. Aku tidak bisa membayangkan akan menginginkan hal lain selain hidup yang kami rencanakan bersama.” (hal. 28)

    “Merasa bersalah adalah sesuatu yang wajar. Tapi jangan memendamnya terlalu lama seperti aku. Kau hanya akan merasa depresi dan tidak ada yang bisa kau lakukan untuk mengubah masa lalu.” (hal. 35)

    “Perasaan paling buruk di dunia adalah tidak diingat oleh satu-satunya orang yang tidak bisa kau lupakan.” (hal. 271)

    Kisah dibuka dengan adegan pemakaman di sebuah gereja. Aimee menghadiri pemakaman tunangan sekaligus pria yang seharusnya menikahinya di gereja tempat direncanakan dilangsungkan pernikahan. James Donato, tunangan Aimee, sebelumnya dilaporkan hilang dalam sebuah kecelakaan kapal, di Meksiko, hingga berakhir pulang dalam peti mati. Segala rencana indah masa depan yang telah dirancang Aimee bersama James hancur seketika. Di pemakaman, Aimee mendapat kejutan tak menyenangkan lain. Seorang wanita asing mendatanginya sembari mengatakan bahwa James sebenarnya masih hidup. Lacy, wanita cenayang itu juga meninggalkan sebuah kartu nama. Meskipun tergelitik, Aimee memilih mengabaikan perkataan Lacy.

    Beberapa waktu kemudian, Aimee mendapati kenyataan pahit bahwa restoran milik orangtuanya mengalami kebangkrutan dan terpaksa dijual sebelum dia sempat membeli, sesuai harapan dan rencana sebelum kematian James. Pilihan dia sekarang hanyalah mencari tempat lain dan membuka restoran sendiri. Selama Aimee berjuang mati-matian melewati masa berduka dan depresi, Kristen, suaminya Nick, dan Nadia setia mendukung dan menyertai. Mereka adalah sahabat terbaik Aimee. Hingga suatu hari, atas saran Nadia, Aimee mengunjungi galeri seni yang menjadi salah satu proyek kerja Nadia. Di sanalah Aimee berkenalan dengan Ian Collins, seorang fotografer yang memamerkan karyanya di galeri. 

Aimee menemukan tempat strategis untuk membuka kafe sendiri. Perkenalan dengan Ian meninggalkan kesan manis. Ian tampaknya tertarik pada Aimee. Meskipun sempat terhalang dana dan jaminan, tempat incaran Aimee akhirnya berhasil disewa untuk kafe barunya. Di tengah upaya melanjutkan hidup itulah, Lacy kembali menghantui Aimee dengan petunjuk tentang keberadaan James. Sedangkan di sisi lain, Thomas kakak James menunjukkan gelagat mencurigakan. Berbekal petunjuk Lacy, Aimee menyewa detektif swasta untuk menyeldiki, namun tak membuahkan hasil memuaskan. Karena masih dibayangi rasa penasaran akan misteri kematian James dan ingin terbebas dari masa lalu, Aimee memutuskan nekat terbang ke Puerto Escondido, Meksiko, di mana petunjuk mengindikasikan keberadaan James. Di kota itu Aimee berjumpa seorang pria bernama Carlos yang sangat mirip James tapi juga berbeda dalam banyak hal. Melalui berbagai usaha, ditemani Ian, Aimee menyibak satu per satu tabir misteri tentang James, keluarganya, dan apa yang sesungguhnya terjadi di masa lalu. Hingga dia pada akhirnya Aimee harus memilih apa yang akan dilakukan, termasuk pilihan hatinya terhadap Ian.


REVIEW:
    “... tidak peduli seberat apa pun bulan-bulan itu. Aku menjadi sosok yang ebih kuat dan lebih percaya diri. Dan aku tidak mau kehilangan kehidupan yang sudah kuciptakan untuk diriku sendiri.” (hal. 289)

    “Dari semua orang, seharusnya kau yang paling mengerti bahwa kau tidak bisa berhenti mencintai seseorang dalam waktu singkat.” (hal. 301)

    “Jangan terbiasa terlalu mudah melepaskan sesuatu.” (hal. 301)

Menggunakan sudut pandang Aimee sebagai orang pertama dalam bercerita (aku), novel ini dibagi dalam dua bagian bab besar, sesuai setting tempat: bab di Los Gatos, California dan bab Puerto Escondido, Meksiko. Alur yang digunakan adalah campuran, dibuka dengan adegan di masa sekarang, lalu berkesinambungan kilas balik masa lalu disajikan. Penulis piawai mengeksekusi pergantian alur ini, membuatnya saling berhubungan, antara apa yang terjadi di masa sekarang dan masa lalu. Karena novel ini selain romance juga kental nuansa misteri suspense, maka pengungkapan petunjuk dilakukan bertahap, membuat pembaca bertahan menyimpan rasa ingin tahu dan digiring lewat kisah-kisah di masa lalu.

Tentang penokohan, Aimee sebagai tokoh sentral digambarkan dengan baik dan mengundang simpati saya sebagai pembaca. Emosi, pemikiran, yang dirasakan Aimee yang terpuruk kesedihan dan kehilangan, bercampur dengan kebahagiaan jatuh cinta lagi, lantas hantaman emosional ketika menghadapi dilema seolah menulari saya, sehingga kisah ini terasa sekali feel-nya. Aimee yang merupakan pastry chef, cantik, memiliki orangtua yang harmonis, sahabat-sahabat baik, sangat mencintai James yang dikenalnya sejak kecil terasa kuat karakternya. James sendiri dideskripsikan lewat kenangan Aimee. Sosok pria yang memikat, memiliki bakat melukis yang bagus, namun dibesarkan dalam keluarga kaya dengan segala konflik dan rahasia kelam. Konflik batin James terkait tanggung jawab perusahaan keluarga yang dibagi bersama sang kakak, Thomas, dan keberadaan sepupu tak bersahabat, Phil, menjadi satu titik di mana saya menjadi sangat penasaran. Sedangkan sosok Ian Collins sang fotografer, tak kalah berkesan. Ian ini sosok dewasa, pengertian, meskipun ternyata menyimpan rahasia dan luka terkait orangtuanya. Perpaduan tiga tokoh tersebut saja sudah menjadi elemen yang membuat kisah ini menarik dan betah saya ikuti hingga akhir. Tokoh-tokoh lain juga turut mendukung kesatuan cerita dan memainkan perannya dengan baik. Selain penokohan, pemilihan setting Puerto Escondido juga menarik. Deskripsi yang dibangun juga berpadu baik dengan jalinan cerita, tak terkesan ‘dijelaskan’. 

Secara keseluruhan, saya sangat puas dengan novel karya pertama Kerry Lonsdale ini. Karya ini berhasil memukau saya dari segala aspek: ide, penokohan, konflik, alur, setting, twist, dan ending. Meskipun ada beberapa petunjuk yang berhasil saya tebak kesesuainnya dengan ending, tetap saja ada kejutan yang terlewat dan berhasil membuat saya gemas. Saya juga menghargai pemilihan kover yang indah sekaligus sangat menggambarkan cerita. Sangat saya rekomendasikan bagi para pencinta novel romance terjemahan, terutama bagi kamu yang suka dengan kisah tentang melanjutkan hidup dan menghadapi masa lalu.

“Tidak apa-apa jika ingin melepaskan, Aimee.”

Selasa, 07 November 2017

Unforgettable Sunset: Love in Santorini

Posted by Menukil Aksara | 10:45:00 AM Categories:
Judul buku                    : Unforgettable Sunset
Penulis                          : Indah Hanaco
Desain sampul               :  Orkha Creative
Desain isi                      : Nur Wulan
Penerbit                        : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan                        : pertama, 2017
Tebal buku                    : 252 hlm.

BLURB:
    “Kau sendirian, Miss? Kalau boleh tahu, siapa namamu? Atau... haruskah kupanggil ‘Milikku’?”

    Sapaan lancang yang awalnya dilontarkan sambil lalu oleh Terry Sinclair itu mengubah hidup Masha Sedgwick. Kegeramannya pada pria hidung belang itu malah mengantarkan Masha pada petualangan hati yang menyusahkan.

    Terry tidak punya niat ambisius apa pun saat menggoda Masha yang ditemuinya saat berlibur di Santorini. Tapi Tuhan malah membuatnya menahan tinju seorang model mabuk untuk melindungi Masha. Dan berakhir dengan perasaan cinta yang meluap-luap dan tak bisa dikendalikan.

    Masalahnya, meski akhirnya terbelit cinta, Masha dan Terry adalah dua orang yang tak berani mengambil risiko untuk berkomitmen. Terry penderita cedera otak yang mungkin tak pernah sembuh. Sementara Masha selalu bergidik jika diajak menikah karena terlalu takut dikhianati.

    Namun, suara hati tak bisa dikekang lebih lama. Masha dan Terry, suka atau tidak, sudah saling jatuh cinta.

    Pertanyaannya, bagaimana mereka bisa bertahan?

SINOPSIS:
    “Aku pria bijak, Graeme. Hanya saja, orang cenderung memberi penilaian yang keliru.” (hal. 19)
    “Itu namanya takdir, Terry. Aku percaya, semua terjadi karena izin-Nya.” (hal. 79)

Usai pertunangan yang putus, Masha Sedgwick memutuskan rehat dari rutinitas kerja di perusahaan mode milik keluarganya. Dia memilih berlibur ke Santorini. Di sanalah, ia mengenal Terry Sinclair, pria tampan bermata hijau yang di kesan pertama membuat Masha menganggapnya playboy karir yang hobi menggoda wanita-wanita cantik. Tapi, di pertemuan kedua, Terry yang berada di sebuah tempat yang sama justru menolongnya dari ancaman insiden yang melibatkan kekerasan fisik. Merasa ingin melindungi, Terry berinisiatif mengajak Masha menikmati keindahan tanah Zeus dengan berpelesiran bersama sebagai kenalan baru.

    Dari kebersamaan di perjalanan selama beberapa hari di Santorini, Masha dan Terry saling mengenal sekilas tentang kehidupan satu sama lain dan meninggalkan kesan yang lebih dalam bagi Terry. Meski berusaha mengelak, Terry pada akhirnya menyerah dan memilih menemui Masha  ketika mereka sudah kembali ke London, berbulan-bulan kemudian. Terry juga berutang penjelasan atas batalnya rencana kepulangan bersama semasa di Santorini. Masha tentu saja kaget dengan kemunculan mendadak Terry. Lebih terkejut lagi ketika Terry terang-terangan mengakui perasaan sukanya dan meminta kesempatan pada Masha untuk mengenal lebih dekat. Meski tak sepenuhnya yakin, akhirnya Masha mengiakan permintaan tersebut.

    Masha sebenarnya juga tertarik pada Terry, namun kesan luar yang ditampilkan Terry yang tak meyakinkan dan traumanya pada hubungan romantis, apa lagi yang melibatkan komitmen serius masih besar. Hal ini ada kaitannya dengan kisah orangtuanya dan perasaan takut akan dikhianati. Sedangkan Terry, juga menyimpan luka dan kisah sendiri terkait pernikahan dan keluarga. Selain itu, sebagai veteran, Terry merupakan penderita cedera otak dengan risiko tak pernah sembuh. Dua orang ini memutuskan menjalani hubungan tanpa tekanan komitmen dan tanpa masa depan menuju pernikahan. Namun, seiring berjalannya waktu, mereka tak mampu memungkiri perasaan cinta yang kian kuat. Sempat mengalami naik-turun hubungan, kesalalahpahaman dan percekcokan, Terry menetapkan hati melamar Masha. Sayangnya, tindakan ini menuai petaka dan penolakan. Di sinilah keduanya lantas dihadapkan pada pilihan, apakah akan terus memperjuangkan cinta ataukah menyerah dan menyudahi perasaan masing-masing.


REVIEW:
    “Ah, cinta adalah sesuatu yang tidak bisa diprediksi kapan datang dan perginya. Juga sebesar apa yang bisa dikecap seseorang.” (hal. 200)
“Itulah gunanya teman, melengkapi kita. Teman dan pasangan punya fungsi yang kurang-lebih sama.” (hal. 207)

Awalnya saya mengira kisah Terry dan Masha ini cukup sederhana. Nyatanya perkiraan saya cukup meleset. Selain cinta, kisah ini mengangkat banyak isu penting. Ada isu seputar veteran perang, korban perang, dan fakta kasus-kasus trauma mereka yang mencengangkan. Juga terselip isu toleransi agama, terutama di Inggris, dan konflik rumah tangga terutama perceraian yang disebabkan perselingkuhan dan kekerasan domestik. Kak Indah Hanaco agaknya cukup berani dengan pilihan ini sekaligus menambah poin plus untuk novel romance ini.

    Setting Santorini yang dipilih pun sangat indah dan memukau, dipaparkan lewat deskripsi yang apik dan luwes, bahkan sudah tergambar sekilas melalui ilustrasi kover yang cantik. Wawasan seputar sejarah Santorini pun dapat kita temui dalam buku. Memilih penggunaan POV orang ketiga juga tepat, sehingga penulis lebih leluasa mengeksplorasi setting dan deskripsi karakter tokoh.

    Penokohannya juga kuat, menampilkan sosok veteran yang rupawan, tapi di luar dugaan memiliki pengalaman hidup yang tak sederhana di usia yang masih terbilang muda. Saya sangat suka karakter Terry, dengan sisi ceria maupun suramnya. Sosok tokoh fiksi yang tak akan mudah dilupakan pembaca, sekaligus ‘menantang’ bagi penulis. Sedangkan Masha dengan segala trauma dan kerapuhannya memang amat menggemaskan. Dia juga mewakili sosok perempuan konservatif di tengah negara yang sekuler dan lingkungan kerja yang dekat dengan para model. Cara masha bertindak dalam hubungan romantis pun seolah menyentil para kaum wanita, termasuk saya, sehingga kerap memicu salah paham dengan pasangan. Banyak momen konyol dan lucu yang menghibur sekaligus menjadi cerminan kaum hawa umumnya. Chemistry antara Masha dan Terry pun bagus, sangat terasa, sehingga bikin saya baper dan tersenyum-senyum. Kak Indah pun menyelipkan detail-detail yang mampu membuat pembaca baper.

    Tokoh-tokoh lain, seperti keluarga Masha dan dua sahabat Terry pun sukses menarik perhatian saya. Prilly yang kerap menjengkelkan dengan hobi ikut campurnya dan Noel yang misterius. Juga Miles dan Graeme, dua sahabat Terry yang punya karakter bertolak belakang dan saling melengkapi. Persahabatan mereka mengundang simpati. Saya pribadi bisa dibilang jatuh suka dan penasaran dengan sosok Miles, yang sempat disebut Terry sebagai Masha versi pria. Saya berharap Kak Indah akan menuliskan kisah spesial sendiri tentang Miles, di novel selanjutnya.

    Novel yang tak terlalu tebal ini alurnya relatif cepat, dengan konflik yang disajikan dengan apik, dan kilas balik kisah yang disampaikan mampu menyampaikan pesan maupun mengungkap satu per satu konflik dan rahasia masa lalu secara bertahap. Penyelesaian ceritanya memuaskan dan manis, sesuai ekspektasi saya. Saya merekomendasika novel ini sebagai bacaan ringan berbobot yang layak dikoleksi bersama seri ‘Around The World With Love’ lainnya. Sebuah petualangan bacaan yang berkesan bagi saya.


Welcome Home Rain: Memahami Arti Mimpi dan Ambisi

Posted by Menukil Aksara | 10:40:00 AM Categories:
Judul buku                      : Welcome Home, Rain
Penulis                            : Suarcani
Penyunting                      : Midya N. Santi
Penerbit                          : Gramedia Pustaka Utama
Tebal buku                      : 304 hlm.; 20 cm
Cetakan                          : pertama, 2017

BLURB:
    “Kamu tahu apa bedanya mimpi dan ambisi, Ghi?”

    Ghi tidak mau lagi menyanyikan Welcome Home, Rain, lagu duet ciptaan Kei. Sejak pemuda itu memergoki Kei keluar dari kamar hotel dengan bos perusahaan rekaman terkenal, ia tidak lagi mau berhubungan dengan segala hal tentang gadis yang menjadi kekasih sekaligus pasangan duetnya. Toh, job menyanyi masih mengalir deras untuk Ghi yang sudah lebih dulu tenar dan dipuja banyak orang.

    Bagi Kei, skandal itu menutup pintu mimpinya. Bermain piano dan menyanyi tidak lagi dapat dilakukan tanpa menghadirkan perih di hati. Bahkan omelan Mama yang setiap hari mengisi hari-hari mereka dalam kemiskinan setelah Papa bunuh diri tak mampu memaksanya kembali ke dunia musik.

    Hingga tawaran duet di panggung pada hari Valentine tiba. Baik Ghi ataupun Kei tidak dapat mengelak. Ghi butuh membuktikan kepada fans dan haters yang mengejeknya cengeng karena belum bisa move on. Kei butuh uang untuk melunasi utang Mama yang tak sanggup lepas dari hidup mewah.

    Dengan kembali berduet di panggung, mereka berusaha memahami arti mimpi dan ambisi yang sesungguhnya.

SINOPSIS:
    “Piano adalah cinta pertamanya.” (hal. 26)
    “Ghi tidak membenci hujan, ia hanya kesal karena kenangan itu akan selalu mengekor ketika titik-titik air menjejak tanah.” (hal. 31)
    “Setiap luka itu butuh obat, Ghi. Termasuk sakit hati. Tapi kalau ngobatinnya saja longgak mau, kapan luka lo sembuh?” (hal. 42)
    “Kenapa milih piano?”
    “ Mungkin karena piano itu seperti hujan,” kata Kei. “Mereka bisa menghasilkan polifoni.” (hal. 74)

Kei sang pianis yang pernah menjadi penyanyi pendatang baru sekaligus partner duet Ghi, kini menjauh dari dunia hiburan. Sebuah skandal yang menghebohkan media massa memaksanya menyingkir sekaligus mengakhiri hubungan asmaranya dengan Ghi secara tragis. Kei berusaha hidup normal meskipun masih kerap mendengar cemoohan masyarakat dan teman-teman sekampusnya. Dia juga harus rela diomeli sang mama tentang kebodohannya. Juga tuntutan untuk tetap menopang gaya hidup mewah orangtua satu-satunya itu. Sepeninggal sang papa sekaligus bangkrutnya bisnis keluarga, Mama melampiaskan segalanya pada Kei. Hingga suatu hari, tawaran untuk berduet kembali dengan Ghi di panggung dalam sebuah acara besar  datang lewat Soraya, manajer Ghi.

    Ghi sendiri tetap eksis menyanyi dan masih dipuja fans, walaupun di belakang ada saja haters yang mencibir terkait keputusannya menolak menyanyikan lagu duet dengan Kei dulu. Meski Ghi mengelak, pada faktanya dia memang patah hati dan sakit hati pada Kei dan atas skandal yang dulu terjadi. Kali ini Soraya memaksanya membuktikan bahwa dia tidak seperti sangkaan para haters. Pada akhirnya, baik Ghi maupun Kei menyerah dan terpaksa menerima tawaran duet di panggung tersebut dengan alasan masing-masing.

    Di saat bersamaan, seorang pria yang jauh lebih dewasa bernama Sunu mengenalkan diri sebagai kenalan Mama Kei dan bermaksud menjalin hubungan serius dengan Kei. Kei tentu saja menolak, namun dia tak kuasa menolak mentah-mentah. Kehadiran Sunu dan kembalinya Kei menyanyi di kafe milik Danan, yang sempat disaksikan Ghi, membuat Ghi makin membenci Kei. Namun Kei tak ambil pusing. Kei tetap memilih bungkam tentang kehidupan pribadinya. Bahkan terhadap Donna, adik Danan yang juga merupakan sahabat karibnya, Kei menutup diri. Persahabatan dengan Donna yang berubah pelik karena suatu hal juga menjadi alasan Kei menjaga jarak.

    Tanpa disangka, kembalinya Kei dan Ghi berduet mengungkap banyak rahasia. Tentang rahasia besar keluarga Kei, rahasia kelam Donna, apa yang terjadi dengan bos perusahaan rekaman besar, hingga perasaan Kei dan Ghi satu sama lain. Mereka juga mengoreksi kembali apa tujuan mereka bermusik selama ini, tentang mimpi dan ambisi, dan arti penting keluarga.


REVIEW:
    “... jika kamu berhenti nyanyi hanya karena omongan para hater, itu sama saja dengan menitipkan uang kamu di dompet mereka.” (hal. 108)
    “Membenci itu wajar, tapi kalau sampai lo benci diri sendiri karena patah hati sebegitu dalam, itu sudah kelewatan namanya.” (hal. 117)
    “Mimpi, cita-cita... itu tidak akan pernah lenyap, bisa kita gapai kapan pun kita mau selama kita berusaha.” (hal. 234)
    “Sama halnya dengan lagu, setiap kehidupan memiliki melodinya sendiri. Not-not itu adalah momen-momen dalam hidup.” (hal. 295)

    Menggunakan alur campuran maju-mundur dan sudut pandang orang ketiga dalam penceritaan, novel dengan tema musik, cinta, dan konflik kehidupan ini sangat menarik bagi saya. Semenjak awal, nuansa sendu dengan dilatarbelakangi hujan yang kerap turun juga sangat mendukung emosi yang saya rasakan selama membaca.

    Penulis berhasil menggabungkan keindahan lagu, musik (terutama piano) dengan hujan, beserta segala filosofinya sepanjang cerita. Bagi pembaca awam seperti saya, informasi dan filosofi permainan piano disajikan dengan apik, menggunakan istilah-istilah dan pemaparan yang mudah dipahami, tak hanya lewat deskripsi langsung, tapi juga diselipkan dalam adegan dan dialog. Bagi saya, musik menjadi jiwa cerita, tak sekadar tempelan atau pemanis.

    Dua tokoh utama, Kei dan Ghi memang bukan sosok dengan karakter manis yang membuat saya terpesona dengan segala kelebihan mereka. Mereka cenderung mewakili sisi manusiawi; dua anak muda yang berusaha memahami hidup dengan segala keterbatasan mereka. Ghi, meskipun secara penampilan rupawan, dipuja banyak penggemar, namun punya sisi rapuh, terutama pasca kandasnya kisah cinta dengan Kei. Ghi juga menampilkan sisi ‘nakal’ dengan kegemarannya tebar pesona, menggoda para gadis cantik yang mengelilinginya. Sementara Kei, gadis dengan latar belakang keluarga yang pelik, sangat tertutup, dan cenderung keras kepala jika sudah menetapkan sesuatu hingga membuat saya gemas, kadang seolah lebih suka menyiksa diri sendiri ketimbang berbagi kesedihan dengan orang lain. Tapi, bagaimanapun, Kei mengundang simpati atas ketegarannya menjalani ujian hidup dan kasih sayangnya terhadap sang mama. Kak Suarcani menurut saya mengajak pembaca memaknai hidup yang tak selalu manis lewat dua sosok ini. Tokoh-tokoh lain seperti Donna, Danan, Soraya, Damian, Sunu, hingga Mayuni sang mama pun cukup kuat menyokong jalinan cerita.

    Konflik yang disuguhkan juga tak melulu soal cinta anak muda, tapi juga tentang kejamnya dunia hiburan, tentang keluarga (hubungan anak dan orangtua), bahkan filosofi kehidupan seperti filosofi koin. Meski rumit, karena penulis mengungkapkan runut, termasuk rahasia-rahasia besar lewat kilas balik, saya merasa puas. Eksekusi ending dan twist pun mampu ‘membayar’ kekesalan saya sepanjang cerita dengan baik. Novel yang briian dalam hal ide dan eksekusi, hingga saya rasa sangat recommended bagi para pencinta romance young-adult Indonesia. Sebuah pengalaman membaca yang sama sekali tak mengecewakan.

Kala langit tak mampu menahan,
Mentari tidak cukup hangat menyentuh,
Kamu turun menghapus debu,
Menyapaku dalam deru
Welcome home, Rain


Jumat, 27 Oktober 2017

[RESENSI] Project D: (Bukan) Detektif Cinta

Posted by Menukil Aksara | 7:17:00 AM Categories:
Judul buku                         : Project D
Penulis                                : Elsuya
Editor                                 : Risma Megawati
Desainer sampul & grafis: Jeanne
Penerbit                             : Penerbit Clover (M&C)
Cetakan                             : pertama, 2017
Tebal buku                        : 224 hlm

BLURB:
    Project D adalah sebuah grup detective SMA, yang misinya membantu cewek-cewek agar tak tertipu oleh cowok iseng!

    Kia berinisiatif membuat Project D setelah kisah LDR-nya kandas akibat sebuah pengkhianatan. Namun jika untuk menyelesaikan misi, Kia harus berhadapan dengan Devan—cowok antisosial yang hobinya menghabiskan waktu di depan komputer—masih bisakah Kia menyelesaikan misi Project D?

SINOPSIS:
    “Di dunia ini memang tidak ada yang selalu baik-baik saja selamanya. Barangkali, termasuk hubungan Kia dan Alan.” (hal. 14)
    “Melihat Inez dan teman-temannya, mendatangkan ide di kepala Devan. Ide brilian untuk membalas Arga.” (hal. 17)
    “Ia sangat membutuhkan bantuan Devan, karena Devan adalah harapan terakhir bagi Kia untuk menyelamatkan cinta pertama dan hatinya.” (hal. 37)
    “Lo punya teman, punya keluarga, kenapa lo sampai segininya cuma buat cowok lo? Kalaupun cowok lo pergi, dunia lo juga nggak bakal kiamat, kok!” (hal. 68)

    Azkiya Naura Rahman atau yang kerap disapa Kia sedang kelimpungan. Alan, pacarnya, mendadak memberitahukan mengenai kepindahannya ke Malang. Kia was-was, akankah cinta pertamanya itu bertahan dalam hubungan jarak jauh Jakarta-Malang? Dan, seolah menjawab kekhawatirannya, Alan mulai sulit dihubungi belakangan ini. Kia harus mencari cara untuk memastikan semua baik-baik saja dengan Alan dan hubungan mereka, tapi jarak memisahkan.

    Berawal dari keisengan Arga, satu-satunya sahabat SMA-nya, Devan memutuskan membalas dengan hal konyol lain. Menitipkan sepucuk surat pada Kia, ternyata keputusan yang salah, kia bahkan tak membaca surat tersebut. justru, sekarang Devan yang kesusahan ketika tiba-tiba Kia meminta bantuannya untuk memata-matai sang pacar di Malang.

    Kia sadar dia melakukan hal konyol dan berisiko. Meminta bantuan Devan, si Mister Freak yang antisosial, berpenampilan jadul, dan selalu sibuk dengan laptop dan headphone. Jika bukan karena saran Inez yang menyatakan bahwa kemampuan IT Devan di atas rata-rata, Kia tak sudi memohon-mohon pada Devan.

    Setelah tersentil oleh ucapan Arga, Devan memutuskan membantu Kia. Tapi tak disangka, hal itu akan berbuntut panjang. Merasa tak puas dengan hasil pengintaian Devan, Kia meminta bantuan lain yang lebih sulit dan berisiko. Ketika Devan menolak, Kia malah nekat pergi ke Malang sendirian. Hanya karena iba, Devan ‘tepaksa’ menemani Kia tanpa diminta. Perjalanan tersebut membuahkan hasil, meski pahit. Kia harus menerima kenyataan bahwa cinta pertamanya harus kandas oleh sebuah pengkhianatan. Patah hati, Kia justru tak langsung ingin pulang. Devan pun terpaksa menemani gadis itu di Jatim Park lantas bermalam di sekitar Bromo.

    Selama perjalanan di Malang dan Bromo itulah, Kia menemukan fakta lain tentang Devan dan Arga, yang selama ini tak diketahui teman-teman sekolah maupun guru-guru mereka. Tentang rumor kasus pemukulan, hobi mengoleksi video porno, bahkan aktivitas apa yang sebenarnya sedang Devan lakukan akhir-akhir ini sehingga tampak sibuk dengan laptop. Devan ternyata tak seburuk yang dia duga. Hal ini ditambah pengalaman patah hatinya, menerbitkan ide untuk membentuk grup detective di kepala Kia. Nahasnya, Devan adalah orang pertama yang ingin Kia rekrut. Setelah usaha yang tak mudah, Kia berhasil membujuk Devan.

    Sayangnya, misi mulia Project D atau grup detective bentukan Kia tak berjalan mulus. Ketika nyaris tak menemukan kasus untuk diselidiki, Kia mendapat saran untuk menyelidiki April—mantan Devan—dari Arga. Namun, rencana itu sempat teralihkan oleh jadwal tur liburan sekolah ke Bali. Di Bali, Kia bersama Karen dan Inez sahabatnya akan menjalankan misi mak comblang. Tak disangka, alih-alih berhasil mencomblangi Inez dengan Rio sang ketua OSIS, Kia justru mengalami insiden yang berujung saling curiga dengan Karen.

    Perang dingin Kia dan Karen berlanjut hingga usai liburan. Belum juga ketahuan dalang pemicu konflik ini, Kia menyaksikan fakta tak menyenangkan atas April dan sang pacar, Reymond. Bahkan, tak lama kemudian, Reymond dikabarkan terjatuh dari tangga dan terluka. Kali ini, Kia, Devan, dan kawan-kawan mau tak mau bersatu mengungkap satu per satu misteri dan menemukan siapa yang harus bertanggung jawab atas terjatuhnya Reymond, sekaligus menyelesaikan masalah antara Kia dan Karen, juga dilema hati yang dialami Kia dan Devan terkait perasaan masing-masing.

REVIEW:
    “Sekarang, Kia punya dua kasus yang menunggu untuk diselesaikan. Kia tersenyum puas karena sepertinya menjadi detective mulai membuatnya sibuk! Kesibukan yang menyenangkan.” (hal. 117)
    “Semua orang berubah, kan? Sama seperti perasaan kamu.” (hal. 205)
    “Itulah yang membuat gue iri sama persahabatan cowok... Bahkan setelah sederet kejadian mengerikan, mereka bisa tiba-tiba bersahabat tanpa ada kata-kata manis penuh penyesalan, maaf, dan lain sebagainya layaknya cewek.” (hal. 206)
    “Kali ini, tanpa perlu bantuan Devan, tanpa perlu membuat grup detective, tanpa perlu membawa embel-embel Project D, Kia sudah mampu membuat keputusan.” (hal. 208)

    Menggunakan sudut pandang orang ketiga, dengan alur maju, novel remaja yang didominasi setting Jakarta ini menawarkan format cerita yang cukup berbeda dari novel-novel remaja lain. Masih dengan ciri khas novel remaja yang ceria, gaya bercerita yang santai dan mengalir, kali ini saya diajak mengikuti kisah Kia dan Devan dengan pernak-pernik dunia remaja mereka, termasuk kenakalan remaja, dengan sentuhan gaya detektif. Kasus yang diangkat memang bukan kasus berat semacam pembunuhan, karena ini bukan novel misteri-thriller, tapi lebih kepada kasus yang melbatkan hubungan antar remaja di sebuah SMA, termasuk kisah cinta mereka. Alurnya cepat, plotnya cukup rapi, termasuk teka-teki dan petunjuk yang disebar sepanjang cerita. Saya merasa tergelitik untuk ikut berspekulasi atau sekadar menebak-nebak ‘siapa dan kenapa’.

    Karakter para tokoh utama, terutama Kia dan Devan menarik, karena mereka bertolak belakang dan kerap menampilkan perselisihan dalam menetapkan sesuatu. Gaya interaksi ‘musuh tapi teman’ yang perlahan berubah menjadi ‘benci tapi cinta’ memang seringkali muncul dalam novel-novel temaja, diwarnai kekonyolan yang mengundang tawa atau senyum. Saya suka karakter Devan yang diagambarkan culun, antisosial, nggak goyah dengan konsep imej dan popularitas ala anak zaman sekarang, dan berkemampuan di atas rata-rata di bidang IT tapi tidak ngin menonjolkan diri di hadapan orang banyak tentang hal ini. Perkembangan karakter para tokoh utama juga terasa, sekaligus membawa pesan positif tentang pendewasaan diri.

    Salut juga dengan pesan moral lewat beberapa konflik antar tokoh, tentang kenakalan remaja,  menjadi sindiran halus tentang pergaulan remaja yang kerap melampaui batas. Menurut saya semuanya kekinian, mewakili kondisi sekarang. Penulis juga menyisipkan beberapa wawasan umum lewat adegan di Malang dan Bali, sekaligus menjadi deskripsi setting yang cukup cerdas.

    Jika ada hal yang agak mengganggu, bagi saya itu semata masalah deskripsi karakter yang agak terlalu diulang-ulang. Meskipun mungkin dimaksudkan sebagai penekanan, tapi menurut saya itu kurang perlu. Misalkan kalimat Devan yang freak dan geek, yang muncul cukup sering hingga saya merasa sedikit bosan. Selain itu, saya merasa puas dengan keseluruhan cerita, termasuk ending. Ketika saya mengira penulis telah menyudahi kisah Kia dan Devan, saya disuguhi kejutan lain. Kover buku juga cerah dan desainnya simpel, menurut saya sesuai dengan tema dan genre. Recommended untuk dibaca para remaja dan penyuka teenlit Indonesia.

“Kasus ini terjadi, (bukan) karena cinta.”
  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube