Selasa, 27 Februari 2018

Labirin: Melepas Tak Sama dengan Melupakan

Posted by Menukil Aksara | 3:35:00 PM Categories:
Judul buku            : Labirin
Penulis                  : Aci Baehaqie
Penyunting            : Jia Effendie
Penerbit               : Bhuana Sastra (BIP Gramedia)
Tebal buku           : 357 hlm
Cetakan               : pertama, 2017

BLURB:
    Berbagai episode hidup telah dilewati Ayla, hingga pada suatu saat, ia membuat satu keputusan yang membawanya pada penyesalan panjang dan menyeretnya menuju sebuah labirin yang rumit. Labirin masa lalu itu harus ia lewati satu per satu, sehingga pada akhirnya, ia bisa menemukan jalan keluar, dan dengan rela melepaskan bagian yang amat berharga dalam hidupnya...

SINOPSIS:
    “Aku tidak akan berbohong... Kisah ini mungkin bukan romansa yang kamu harapkan. Bukan pula kisah percintaan romantis yang kamu inginkan. Justru, ini hanya kisah dia yang terbelenggu oleh patah hatinya sendiri. Sederhana saja... Aku ingin mempersembahkan kisah ini untukmu. Kamu yang mungkin belum mampu atau bahkan belum mau untuk berdamai dengan masa lalu... “
--Aci Baehaqie

“Labirin adalah sebuah puzzle dalam bentuk percabangan jalan yang kompleks dan memiliki banyak sekali jalan buntu.” (hlm. 340)

Aku memang terlalu bodoh untuk mengerti sebuah aturan mendasar untuk bermain di dalam sebuah labirin. Mencari dan menghafal sebelum waktu yang kumiliki semakin habis. Waktu yang sangat singkat itu, malah kupergunakan untuk tenggelam dalam kenangan, bukannya mencari jalan menuju rumah.” (hlm. 341)

Ini kisah tentang Ayla dan masa lalunya. Ketika masih belia, Ayla bersahabat dengan Emi dan Igo. Persahabatan yang mampu bertahan hingga mereka menginjak usia dewasa. Ayla juga dikenalkan dan dekat dengan sepupu Emi, pemuda blasteran Italia bermata hazel yang baik hati bernama Anthony. Kedekatan yang lantas berubah menjadi cinta. Cinta itu pun lantas diuji dengan berbagai masalah dalam kehidupan. Salah satunya dan yang terbesar adalah masalah perbedaan agama antara Ayla yang Muslim dan Anthony yang Katolik. Seolah mengulang ‘kesalahan’ yang pernah diperbuat mendiang kakak laki-lakinya, kisah cinta Ayla ini jelas ditentang sang ayah. Tak hanya itu, persahabatannya dengan Emi pun turut diuji. Emi terperangkap jebakan narkoba karena kurang perhatian orangtua sekaligus terjerumus pergaulan bebas yang buruk. Ketika Emi sedang dalam titik terendah hidupnya ini, ayah Ayla memberikan pilihan sulit. Ayla sempat bertekad tak akan pernah pergi dari sisi Emi maupun Anthony, tapi dia juga tak kuasa mengecewakan orangtuanya. Selain itu, dia sempat mendapatkan peluang beasiswa untuk berkuliah di benua lain, di kampus ternama dunia. Sebuah kesempatan emas yang nyaris dia lepaskan demi persahabatan dan cinta. Hingga di satu titik, Ayla pun akhirnya memilih tetap pergi, beberapa waktu kemudian.

Kisah lantas bergulir hingga terkuak kehidupan Ayla dewasa yang bekerja di sebuah perusahaan arsitektur bonafit, Larry & Amelie Architecture and Planning inc. yang berbasis di Singapura, sesuai bidang keilmuannya. Dia kerap melanglang dunia demi pekerjaan, bertemu aneka macam orang yang menjadi klien, atau secara tak sengaja berkenalan dengan orang-orang asing yang menorehkan kenangan. Tapi, sesungguhnya Ayla belum mampu melepaskan diri dari bayang-bayang masa lalu, terutama penyesalan akan keputusan yang menyebabkannya kehilangan orang-orang tersayang. Hingga suatu hari, dia dipertemukan kembali dengan Igo yang telah menjadi seorang perancang busana yang mulai mendunia, juga Dio dan Kayla yang merupakan kawan-kawan semasa kuliah di Bandung. Dari sinilah satu per satu orang dari masa lalu dijumpainya kembali, termasuk Emi dan Anthony yang sudah putus kontak selama bertahun-tahun. Ayla pun sedikit demi sedikit berusaha keluar dari labirin masa lalunya, berdamai, dan memperbaiki hubungan persahabatan yang lama merenggang.

REVIEW:
    “Dalam hidup, terkadang tidak penting bagaimana kamu memulainya, yang terpenting adalah bagaimana kamu mengakhirinya. Berhasil atau tidak tergantung perspektifmu.” (hlm. 92)

    “Rahasia kebahagiaan saya adalah karena tidak satu keputusan pun di dalam hidup saya, yang kemudian saya sesali. Tidak ada sama sekali. Karena itu, tidak ada bayangan masa lalu yang mengejar dan menghantui saya.” (hlm. 302)

    “Ada begitu banyak hal yang indah ketika kita tersesat, yaitu saling menemukan. Mungkin bukan menemukan seseorang yang selalu aku tunggu. Namun, setidaknya aku berhasil menemukan diriku sendiri.” (hlm. 340)

    Sesuai ‘warning’ penulis di kover belakang dan halaman awal, saya sejak awal tak berekspektasi akan kisah romansa yang manis. Dan benar saja, novel yang memakai sudut pandang orang pertama (Ayla/aku) ini benar-benar seperti labirin atau puzzle berceceran yang harus saya susun dan rapikan agar berhasil mendapat jalan keluar. Dikisahkan secara acak dalam segi seting waktu, menggunakan sistem penanda bulan dan tahun di awal tiap pergantian momen adegan. Ya, alurnya berjalan campuran, maju dan mundur, berkisar antara tahun 2001 hingga tahun 2018. Membaca novel dengan alur campuran yang acak seperti ini jelas sebuah tantangan, karena saya harus pandai mengingat atau menghafal rentetan kejadian dan hubungannya satu sama lain hingga akhirnya menjadi satu kisah utuh yang bisa dipahami.

    Dari segi seting, sesuai profesi Ayla yang tadi saya sebutkan, ada banyak kota dari berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia yang menjadi latar cerita. Juga disajikan detail desk job, rancangan bangunan, dan team work di perusahaan di mana Ayla bernaung. Deskripsinya saya nilai cukup baik, tak lupa bersenyawa dengan alur, plot, dan pesan yang ingin disampaikan, jadi tidak asal digambarkan indah atau berkesan saja. Selain itu, dalam perjalanan itu Ayla juga bertemu banyak sosok asing yang tak sekadar ‘lewat’, tapi menorehkan berbagai kisah dan pesan hidup masing-masing. Ini juga jadi poin plus novel. Beberapa tokoh yang berkesan bagi saya, antara lain sang filantropis Thomas Grey, Nyonya Chen, dan lelaki tua di Rotterdam.

    Perihal sosok Ayla sebagai tokoh utama, saya tak bisa bilang benar-benar menyukainya. Dia seolah mewakili perempuan kebanyakan yang sekilas tampak sukses dan mapan, tapi menyimpan luka dalam hati dan berusaha untuk mengobati diri. Begitu juga halnya dengan Emi dan Igo yang memiliki rahasia masing-masing. Mungkin sosok yang terbilang charming adalah Anthony, meskipun dia tetap punya kekurangan. Penulis juga menciptakan konflik rumit dengan isu yang sensitif untuk diangkat dalam kisah fiksi, antara lain cinta berbeda agama, lingkaran setan narkoba, pergaulan bebas, kekerasan dalam hubungan pasangan, hingga dilema tentang orientasi seks yang berbeda pada diri Igo dan makna cinta sejati. Emosi yang tercipta lewat pergulatan batin, konflik antartokoh, hingga interaksi persahabatan tiga sekawan dalam novel terasa.

Selain kalimat yang berasal dari dialog antartokoh, penulis juga selalu mengawali tiap bab dengan mengutip kalimat-kalimat penuh makna, entah berasal dari film maupun drama seri, yang kemungkinan menjadi favoritnya sekaligus mengena dengan alur cerita. Bagi kamu yang suka menandai kutipan dalam novel, dijamin kamu akan suka dan menilai novel ini ‘quoteable’.

Secara keseluruhan, ini merupakan novel dengan pilihan topik yang berani dan dieksekusi dengan cukup baik, sehingga tak terkesan dangkal. Novel yang menggambarkan hidup sebagai sebuah perjalanan, baik secara harfiah maupun simbolis. Dan, sebagai debut dari penulisnya, karya fiksi ini sama sekali tidak mengecewakan. Saya menunggu karya-karya selanjutnya dari Aci Baehaqie.
   

Among the Pink Poppies: Ketidakjujuran Tak Pernah Berujung Membahagiakan

Posted by Menukil Aksara | 11:32:00 AM Categories:
Judul buku     : Among the Pink Poppies
Penulis           : K. Fischer
Penyunting      : Shara Yosevina
Penerbit          : Bhuana Sastra (BIP Gramedia)
Tebal buku      : 551 hlm
Cetakan          : pertama, 2017

BLURB:
    Saras bertemu gadis kecil bernama Amelia di tempatnya bekerja di pusat teknologi kota Linz, Austria. Ibunya Amelia sudah meninggal dunia. Saras terenyuh dan ingin berteman dengan Amelia dan paman merangkap ayah asuhnya, Jonas. Mereka jadi sering bertemu. Saras mulai meyayangi Amelia, bahkan ia semakin dekat dengan Jonas hingga keduanya jatuh cinta.

    Sementara di Jakarta, ibunya yang diktator sudah mempunyai calon suami untuk Saras. Ketika mengetahui tentang hubungannya dengan Amelia dan Jonas, ibunya dan seluruh keluarganya langsung memojokkan Saras. Dengan semakin bertambahnya konflik baik antara Saras dan keluarganya, maupun dengan ‘keluarga baru’ di Austria, ia mulai belajar untuk mengambil keputusan secara dewasa.

SINOPSIS:
    “Saras berdiri menatap kota Linz yang tertidur di kegelapan malam. Bahkan kota ini mampu mengubah nasibnya. Dari kota penuh barak budak perang menjadi kota pusat teknologi yang disegani. Mengapa ia yang merdeka, membiarkan dirinya terjajah orang lain?” (hlm. 6)

    “Sekolah, kerja, menikah, punya anak, jadi tua,meninggal. Sudah. Hanya itukah arti hidupku?” (hlm. 475)

    Saras adalah warga negara Indonesia yang melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi di Linz, Austria, lantas bekerja di pusat teknologi kota itu, Ars Electronica. Dia tinggal sendiri, jauh dari keluarganya di Jakarta. Saras adalah bungsu dari lima bersaudara, di mana keempat kakaknya sudah menikah. Ayahnya seorang pebisnis yang supersibuk, amat jarang bicara dari hati ke hati dengan anak-anaknya. Sedangkan ibunya yang merupakan anak tunggal di keluarganya sangat suka mengatur segala urusan, sehingga menjadi sosok ibu yang diktator. Eyang—ibu dari ibunda Saras masih hidup, meskipun kesehatannya mulai menurun dan hanya mampu berbaring di tempat tidur. Setiap hari Minggu, semua keluarga wajib berkumpul di rumah sang ibu, termasuk Saras yang wajib ‘hadir’ via sambungan Skype. Pertemuan wajib yang menurut Saras sama sekali tidak efisien, karena masing-masing anggota keluarga toh sibuk dengan urusannya. Hanya kepada sang eyanglah Saras senang bercengkerama dan mengabarkan setiap detail perkembangan kehidupannya di Linz.

    Suatu hari, ketika memimpin workshop untuk sebuah taman kanak-kanak di tempatnya bekerja, Saras bertemu Amelia. Bermula dari niat baik, saat Amelia merajuk ingin berkomunikasi dengan ibunya yang sudah meninggal lewat robot Telenoid, Saras pun melakukan sebuah ‘kebohongan kecil’. Ketika seorang rekan kerja memintanya meminta maaf dan meluruskan kesalahpahaman, Saras justru berujung berkenalan dengan Amelia dan paman sekaligus ayah asuhnya, Jonas, di trem yang sehari-hari menjadi kendaraan tumpangannya. Perkenalan itu lambat-laun mendekatkan Saras dengan keduanya, hingga tak disadari ia sudah jatuh hati. Amelia dan Jonas memiliki sahabat, sebuah keluarga kecil: Sigi, Lisa, dan anak mereka yang seumuran dengan Amelia bernama Leoni. Sahabat keluarga ini pun menerima Saras dengan hangat. Lewat keakraban ini Saras mengetahui beberapa rahasia dan permasalahan keluarga Amelia, termasuk bagaimana kisah mendiang ibunya, Babsi, dengan ayah kandungnya Florian yang belum pernah dijumpai. Saras juga jadi tahu bahwa selain bekerja di perusahaan kayu milik Sigi, Jonas yang dulunya seorang koki profesional sukses di Amerika Serikat juga sedang merintis usaha restoran sendiri.

    Di lain pihak, ibundanya semakin gencar menjodohkan Saras dengan Roi, yang notabene merupakan anak dari teman baik sekaligus rekan bisnis keluarganya. Ibunda Saras bahkan mengatur sedemikian rupa hingga Roi mampir ke Linz untuk bertemu Saras. Dari pertemuan singkat inilah Saras menyadari bahwa Roi yang dikenalnya semenjak sekolah tak benar-benar berubah. Ia tetap tak mendapatkan ketertarikan apalagi rasa suka pada Roi. Ketika mencurahkan isi hati pada eyangnya, Saras juga memohon bantuan untuk membujuk ibunya membatalkan rencana perjodohan. Tapi keinginan tak selalu sejalan sesuai rencana. Eyangnya meninggal tiba-tiba, membuat Saras terpukul dan sangat kehilangan. Puncaknya, ibunya yang mencium gelagat tak menyenangkan dari Saras mengultimatumnya untuk segera pulang. Namun kepulangannya yang sempat ditunda-tunda pun tak membuahkan hasil positif. Saras justru sakit hati dan merasa disudutkan. Giliran ibundanya yang mengunjunginya di Linz, bersama kakak-kakaknya dengan niatan buruk mempermalukan Saras di depan Jonas.

    Ketika konflik keluarga Saras memanas, Jonas yang tak tahu menahu merasa sangat kecewa setelah Saras pada akhirnya mengungkapkan secara jujur. Apalagi, kala itu Jonas sendiri sedang tertekan memikirkan gugatan permohonan hak asuh Amelia dari Florian yang mendadak muncul. Seiring waktu berjalan, Saras mendapatkan rencana menyelesaikan pertikaiannya dengan sang ibu, dan Jonas perlahan menyadari bahwa Saras tak sepenuhnya bersalah. Namun, perkara Telenoid yang sempat tak diselesaikan Saras di masa lalu membuat keadaan kembali buruk. Di sinilah Saras dituntut bersikap dewasa dan berani jujur atas segala perasaan dan pendapatnya demi kebahagiaannya sendiri.

REVIEW:
    “Banyak orang bersama tapi merasa sendiri...Dua orang bersama seringkali sudah menjadi tantangan tersendiri. Tiga orang bersama bahagia, itu karunia.” (hlm. 292)

    “Jangan takut keluar dari dunia kita, yang penting kita tahu siapa yang kita hadapi.” (hlm. 331)

    “Sesuatu yang indah butuh proses, tapi itu tugas kita, membuat proses itu, sehingga yang indah menjadi kenyataan.” (hlm. 520)

    “Sekarang aku tahu, selama ini, aku membiarkan diriku tidak bahagia karena aku tidak berani jujur.” (hlm. 544)  

    Kutipan-kutipannya nggak melulu tentang cinta, kan? Justru kebanyakan menyentil tentang pilihan-pilihan yang kita ambil dalam kehidupan. Itu salah satu poin plus penting dari novel ini juga. Mengangkat tema keluarga, sebagai nilai tambahan, penulis menggabungkan dua keluarga beda budaya, beda benua sebagai fokus cerita. Menurut saya ini sebuah tantangan.

    Dikisahkan menggunakan sudut pandang orang ketiga, menurut saya pilihan POV ini sudah cukup tepat. Saya tetap dapat ikut merasakan pergulatan batin yang dirasakan Saras, meskipun bukan dikisahkan lewat sudut pandangnya. Kehadiran tokoh kanak-kanak seperti Amelia dan Leoni pun mencerahkan suasana, sehingga cerita tidak monoton konflik orang dewasa yang rumit. Kadang adegan dan perkataan Amelia pun mampu mengaduk-aduk perasaan juga meskipun terkesan polos. Jika ditanya siapa karakter protagonis favorit, selain Amelia, saya rasa Jonas patut disukai. Sosoknya yang good looking, seorang chef, dewasa, dan penyayang, memang tipikal yang akan mudah disukai pembaca. Jonas juga digambarkan memiliki sisi manusiawi, di mana dia bisa tersinggung ketika harga dirinya dilukai dan dibohongi. Ini membuatnya tak seperti malaikat yang sempurna. Sedangkan Saras, tipikal perempuan muda cerdas kebanyakan, yang selalu serbasalah di mata ibunya. Saya bisa memahami dan bersimpati atas posisinya, walaupun mau tak mau dia juga kerap membuat saya gemas karena tidak berani bersikap jujur dan tegas. Tapi penulis berhasil menggambarkan perkembangan karakternya dengan baik. Sedangkan sosok ibunda Saras menjadi sosok ibu diktator yang sangat menyebalkan. Cara berpikir dan bersikapnya mengundang amarah karena kelewatan dalam memandang rendah orang lain dan tak mau menerima masukan. Penulis tak lupa memberikan latar belakang yang logis atas karakter sulit sang ibu ini.

    Seting Linz pun sangat baik dideskripsikan. Sejalan dengan rentang waktu kisah yang cukup lama, terdapat ruang luas untuk memasukkan poin-poin deskripsi, semacam street food dan street art festival, hingga event Klangwolke, sisipan sejarah dan kuliner kota, hingga beberapa seting tempat yang bersifat personal seperti ladang pink poppies, restoran Yon, dan rumah pengintaian berburu. Semuanya manis, membuat saya ingin sekali merasakan berada di sana. Momen-momen indah maupun sedihnya juga sangat terasa dengan detail yang disajikan.

    Konflik cerita terbilang rumit. Melibatkan masalah personal, hukum, maupun keluarga. Mampu bikin saya ikut gondok, geregetan, sedih, namun juga tersenyum. Penulis memberikan penyelesaian konflik yang memuaskan, logis, dan bisa saya terima.

Awalnya saya cukup tercengang mendapati jumlah halaman buku yang terbilang tebal, apalagi untuk ukuran novel bergenre romance-family drama. Sempat terbersit, apakah akan membosankan atau terlampau ‘drama’ konfliknya? Dan nyatanya saya menikmati dan ikut merasa jatuh cinta pada kota Linz, pada keluarga Sigi, pada si kecil Amelia, dan kisah cinta Saras-Jonas. Novel karya penulis Indonesia yang layak banget dibaca dan direkomendasikan. Terutama jika kamu penyuka kisah cinta beda budaya dengan pernak-pernik rintangannya.

Minggu, 25 Februari 2018

Honestly Hurt: Emang Enak Kena Friend Zone?

Posted by Menukil Aksara | 12:04:00 PM Categories:
Judul buku                  : Honestly Hurt
Penulis                        : Elsa Puspita
Penyunting                  : Hutami Suryaningtyas & Dila Maretihaqsari
Penerbit                      : Bentang Belia (Penerbit Bentang Pustaka)
Tebal buku                  : x + 238 hlm.; 20.8 cm
Cetakan                      : pertama, Desember 2017

BLURB:
    Velya kesal! Dua sahabatnya, Gusti dan Chiko, sibuk dengan gebetannya masing-masing. Ia merasa terlupakan, terbuang, nggak lagi jadi pusat perhatian. Velya nggak suka kedua bodyguard-nya itu direbut paksa secara bersamaan. Ia jadi sering merecoki kehidupan Gusti-Chiko dengan cewek-ceweknya.

    Gusti dan Chiko tentu saja nggak kalah kesal. Siapa yang nggak bete jika tiap aksi PDKT-nya kepada cewek selalu dihancurkan? Jadi, Gusti dan Chiko sepakat ingin mencarikan Velya pacar, agar cewek itu mengerti indahnya letup-letup asmara.

    Akan tetapi, apakah semudah itu skenario bisa berjalan dengan lancar? Mereka nggak tahu, bahwa hati sulit diprediksi. Jika rasa cinta salah sasaran, persahabatan mereka sepertinya akan terancam.

SINOPSIS:
      “Sahabat itu ibaratnya tong sampah tanpa filter. Kita bisa bahas apa pun, ngomongin semuanya, tanpa mikir dia bakal ilfil sama kita atau nggak. Tapi, ke pacarnggak bisa gitu.” (hal. 164)

    Velyanata alias Velya, Gustiranda atau Gusti, dan Federico yang akrab disapa Chiko sudah saling kenal, bertetangga dan bersahabat semenjak kanak-kanak. Persahabatan mereka sudah selayaknya saudara. Gusti berperan sebagai sulung yang kalem dan kerap terkesan dewasa, Chiko sebagai si tengah yang easy going dan jail, dan Velya si bungsu yang manja, suka merajuk, dan seenaknya. Dilatarbelakangi riwayat keluarga yang berbeda pula. Gusti dengan orangtua lengkap yang harmonis, Velya bersama mamanya seorang sepeninggal sang papa, dan Chiko yang berorangtua lengkap tapi supersibuk dan nggak akrab satu sama lain.

    Persahabatan itu selalu kompak meskipun adakalanya diwarnai pertengkaran kecil. Hingga ketika masa remaja mulai memengaruhi sikap Gusti dan Chiko, terutama dalam hal ketertarikan terhadap lawan jenis. Kedua remaja lelaki itu mulai rajin melancarkan aksi pedekate terhadap cewek-cewek yang mereka taksir. Tapi Velya yang terbiasa memiliki sahabat sekaligus bodyguard yang selalu siap sedia setiap saat tak menyukai perubahan kondisi ini. Berbagai sikap jail dan merajuk dia tunjukkan seakan sebagai aksi protes. Awalnya Chiko melaksanakan ide mencomblangi Velya dengan Evan, teman sekelasnya yang pintar dan culun. Tapi agaknya Velya tak tertarik pada Evan. Perselisihan serius mulai terjadi ketika Gusti dan Chiko tertarik pada satu gadis yang sama. Sheryl, teman sekolah yang baru kembali selepas menjalani program pertukaran pelajar selama setahun di Amerika, sosok yang dipandang pintar sekaligus cantik oleh Gusti maupun Chiko. Chiko yang merasa lebih menarik dan ‘berpengalaman’ soal pedekate merasa yakin akan menang. Sedangkan Gusti, cowok pintar berkacamata yang sebelumnya tak pernah mau bersaing masalah cewek dengan Chiko juga nggak mau kalah sebelum berusaha. Mereka berdua akhirnya menyepakati akan bersaing secara sportif, dan siapa pun yang kalah harus bersedia menjadi ‘bodyguard abadi’ Velya sampai sahabat mereka itu menemukan cowok yang disukai. Siapa sangka ternyata itu jadi bumerang. Velya yang menyaksikan Sheryl akrab dengan Gusti dan Chiko justru menuduh Sheryl mempermainkan kedua sahabatnya dan mengonfrontasi langsung. Situasi antara Velya dan Gusti sempat menegang, dan berujung pada keputusan Chiko untuk mundur dan memilih menemani Velya setiap saat.

    Tapi mereka tak pernah menduga bahwa hati tidak bisa diprediksi. Perubahan situasi menjadikan Velya dan Chiko seolah memiliki dunia sendiri, sedangkan Gusti merasa terasing. Hingga Velya mulai merasakan suka pada Chiko tapi tak berani bercerita pada siapa pun, justru memilih menjaga jarak. Gusti yang mencium gelagat aneh ini pun akhirnya mengetahui rahasia hati Velya. Di sisi lain, terjadi konflik serius dalam keluarga Chiko. Hal yang sempat membuat Chiko syok, marah, dan nyaris kehilangan arah. Di saat inilah, dia yang mengetahui perasaan Velya mendadak meminta Velya menjadi pacar. Ternyata tak mudah mengubah hubungan sahabat menjadi kekasih. Terasa sekali kecanggungan, apalagi Chiko belum sepenuhnya jujur mengenai masalah yang sedang dihadapi. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi dan mengubah segalanya. Chiko pun dihadapkan pada dilema hati terkait rencana masa depan bersama orangtuanya maupun hubungannya dengan Velya, terutama di penghujung masa sekolah dan persiapan menuju bangku kuliah. Di sinilah persahabatan mereka diuji. Akankah pertemuan terakhir mereka selepas SMA menyisakan kenangan menyakitkan ataukah mampu bertahan dan menjadi kenangan membahagiakan.

REVIEW:
    “... dari patah hati itu kita banyak belajar. Belajar ngelepasin, mencoba buat sembuh. Akhirnya bikin kita lebih kuat. Itu juga bisa jadi semacam ujian yang harus kita lewatin sebelum ketemu orang yang benar-benar tepat.” (hal. 202)

    “Kita mungkin nggak bisa milih mau suka atau naksir sama siapa. Tapi, menurut gue, kita masih bisa ngatur porsi perasaan yang ada itu. Mau dibiarin terus tumbuh, atau pelan-pelan dikendaliin.” (hal. 206)

    “Kita nggak pernah tahu kapan pertemuan terakhir sama orang yang kita sayang. Makanya, sebisa mungkin, di tiap pertemuan yang mungkin jadi terakhir itu, kita jadiin kenangan yang indah, jangan yang nggak enak.” (hal. 211)

    Kutipan-kutipannya bikin baper, kan? Tema persahabatan, cinta pertama, dan keluarga yang diangkat memang bisa dibilang sukses mengaduk-aduk perasaan pembaca. Ketiga tokoh utama remajanya bisa mewakili remaja masa sekarang, lengkap dengan warna-warni dunia mereka beserta masalah yang relevan. Contohnya Chiko, anak tunggal dengan papa yang berdarah Prancis dan sibuk dengan dunia kerjanya sendiri, bisa mewakili sosok remaja kesepian, haus kasih sayang orangtua, sekaligus contoh keluarga dengan perbedaan kultur. Persahabatannya dengan Gusti dan Velya memberikan pengaruh positif sehingga menghindarkannya dari pergaulan yang salah atau perkembangan karakter yang buruk. Saya pun suka nuansa kehangatan keluarga yang digambarkan keluarga Gusti dan mama dari Velya. Mereka memberikan secercah harapan bagi anak-anak korban perselisihan dan perpecahan keluarga, bahwa masih ada harapan dan kehangatan kasih sayang di luar sana.

    Diceritakan dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga, pembaca jadi bebas menyaksikan dan mengulik setiap adegan, isi pikiran dan hati masig-masing tokoh. Interaksi antara Chiko, Gusti, dan Velya pun sangat terasa, bisa jadi bikin iri karena tak semua orang beruntung memiliki sahabat-sahabat baik seperti mereka. Saya juga bisa memahami dan merasakan dilema yang dihadapi Chiko dan Velya terkait perubahan perasaan, dari sahabat menjadi seseorang istimewa yang disukai. Dalam kasus seperti ini, memilih menyatakan suka dan mengubah status sahabat jadi pacar memang selalu berisiko. Jika gagal, sudah pasti akan mengubah banyak hal, termasuk mempertaruhkan hubungan baik yang sudah dibangun. Dan ya, kisah Chiko-Velya ini saya yakin mewakili kisah banyak orang di luar sana.

    Selain dilema sahabat jadi pacar, kisah ini juga membawa kita kepada masa remaja, masa di mana gejolak masa pubertas sangat memengaruhi perkembangan karakter. Salah satunya rasa suka pada lawan jenis yang pertama kali dirasakan. Kisah cinta pertama selalu menyenangkan dibaca, bukan?

    Saya sendiri sempat gemas dan kesal pada Chiko, tahu bagaimana rasanya perasaan suka bertepuk sebelah tangan seperti yang dialami Evan, atau turut senyum-senyum dengan euforia kebahagiaan saat rasa suka bersambut seperti yang dialami Gusti. Masa remaja yang menyenangkan sekaligus jadi titik awal perjalanan menuju kedewasaan. Dan itu semua tetap tak melupakan pesan tentang pentingnya arti keluarga dan orangtua. Bahwa tak ada keluarga sempurna, tapi kita tetap tak bisa memilih dari orangtua mana kita terlahir. Yang bisa dilakukan adalah mengambil pilihan terbaik dan tetap berusaha berada di sisi orang-orang yang kita sayangi.

    Novel remaja yang merupakan salah satu judul seri Belia Writing Marathon ini layak dibaca oleh para pembaca remaja. Menginspirasi, menghibur, dengan ketebalan buku yang pas. Penulis juga menghadiahi pembaca dengan twist dan ending yang logis dan memuaskan, sehingga pesan moral tersampaikan dengan baik. Saya menghargai pilihan penulis, meskipun saya pribadi lebih suka open ending (tak perlu epilog seperti yang ‘dibonuskan’ di buku). Tapi ini hanya masalah selera, sih. Dan satu hal kecil yang saya sedikit kurang sependapat lainnya adalah terkait pilihan jenis huruf untuk judul. Terlalu kecil, kurang menonjol. Sedangkan ilustrasi gambar manis dan menggambarkan cerita.

Anyway, kalau kamu ketemu buku berkover pink kalem ini di toko buku, boleh banget,dong, dibawa ke kasir, hehe.
   

Cerita-Cerita yang Berjuta Rasanya [Sebuah Resensi]

Posted by Menukil Aksara | 11:55:00 AM Categories:
Judul buku             : Berjuta Rasanya
Penulis                   : Tere Liye
Editor                    : Andriyati
Penerbit                 : Mahaka Publishing (imprint Republika Penerbit)
Tebal buku             : vi + 205 hal.; 23.5x20.5 cm.
Cetakan                 : XXVIII, Feb 2017

BLURB:
    Untuk kita, yang terlalu malu walau sekadar menyapanya, telanjur bersemu merah, dada berdegup lebih kencang, keringat dingin di jemari, bahkan sebelum sungguhan berpapasan.

    Untuk kita, yang merasa tidak cantik, tidak tampan, selalu merasa keliru mematut warna baju dan pilihan celana, jauh dari kemungkinan menggapai cita-cita perasaan.

    Untuk kita, yang hanya berani menulis kata-kata dalam buku harian, memendam perasaan lewat puisi-puisi, dan berharap esok lusa ia akan sempat membacanya.

    Semoga pemahaman baik itu datang. Bahwa semua pengalaman cinta dan perasaan adalah spesial. Sama spesialnya dengan milik kita. Tidak peduli sesederhana apa pun itu, sepanjang dibungkus dengan pemahaman-pemahaman yang baik.

SINOPSIS:
    “Cerita dalam buku ini fiksi. Beberapa di antaranya ditulis ulang, terinspirasi dari cerita-cerita lain yang telah ada.”

    “Seseorang yang mencintaimu karena fisik, maka suatu hari ia juga akan pergi karena alasan fisik tersebut.Seseorang yang menyukaimu karena materi, maka suatu hari ia juga akan pergi karena materi. Tetapi seseorang yang mencintaimu karena hati, maka ia tidak akan pernah pergi! Karena hati tidak pernah mengajarkan tentang ukuran relatif lebih baik atau lebih buruk.” (hal. 26)

    Lima belas judul cerita, berwarna-warni kisah cita-cita perasaan dan hikmah, itu yang seolah dijanjikan buku ini untuk pembacanya. Diawali dengan cerita berjudul “Bila Semua Wanita Cantik” dan diakhiri dengan “Antara Kau dan Aku”. Cerita pembukanya bernuansa fantasi komedi, dengan dua tokoh perempuan yang selalu merasa tidak cantik secara fisik, membandingkan diri mereka dengan seluruh wanita cantik yang mereka kenal atau ketahui. Vin dan Jo, dua gadis tidak cantik itu, yang telah bersahabat selama belasan tahun kerap membincangkan ketidakberuntungan mereka, terutama Vin. Hingga suatu malam, tak dinyana doa Vin yang terasa mustahil dikabulkan dalam wujud yang awalnya tampak sebagai kebalikan dari permohonannya. Lantas kejadian demi kejadian ganjil dan dulu terlihat tak mungkin terjadi pada Vin maupun Jo. Hingga Vin lantas menyadari arti kecantikan yang sesungguhnya, tapi semuanya terlambat. Sebuah kisah lucu yang menyentil pemahaman kita.

    Dua cerita sesudahnya bernuansa serupa, berupa sentilan dari kisah-kisah yang dekat dengan keseharian. Hingga saya dibawa berkenalan dengan cerita berseting futuristik di sebuah negeri yang segala sesuatunya bernuansa kecanggihan teknologi, bahkan hingga memengaruhi pengaturan sistem kehidupan penduduknya. Salah satunya adalah kehidupan percintaan yang dinilai mengalami kebuntuan karena kesibukan. Lantas dewan kota menawarkan solusi berupa alat berbasis teknologi maju bernama ‘cintanometer’. Alat ini digadang-gadang dapat membantu kaum muda menemukan calon pasangan cinta yang potensial. Mulanya, alat tersebut membawa dampak yang dinilai positif, hingga beberapa waktu kemudian mereka menyadari dampak buruk yang jauh melebihi kebaikannya.

    Dalam cerita “Harga Sebuah Pertemuan”, saya mendapatkan kejutan menarik dengan paduan misteri dan fantasi. Sebuah cerita pembunuhan beruntun sebuah keluarga yang narasinya disusun menggunakan format layaknya laporan penyelidikan detektif, dengan kemungkinan beberapa skenario pembunuhan. Ternyata kisah ini masih erat kaitannya dengan tema cinta, kali ini bernuansa kelam dengan isu perselingkuhan dan dendam terpendam. Lantas, di cerita selanjutnya, ada Andrei dan kotak pandora misterius yang menyimpan rahasia besar. Sayangnya, sang ibu selalu berpesan agar tidak pernah dibuka, apa pun yang terjadi. Ketika rasa ingin tahu mengalahkan wejangan tersebut, Andrei pun melanggar dan hal itu mengubah segalanya.

    Terdapat juga dua cerita yang ditulis ulang dari cerita yang telah ada dan termahsyur, yaitu “Mimpi-mimpi Laila-Majnun” dan “Kupu-kupu Monarch”. Keduanya memiiki sedikit kemiripan dalam seting di masa lampau dan legenda cintanya. Cerita unik lain muncul dalam wujud sekuel atau kelanjutan cerita, seperti “LOVE Ver. 7.0 & MARRIED Ver. 9.0” yang merupakan kelanjutan dari “Cintanometer”, juga “Kutukan Kecantikan Miss X” yang ditulis ‘sekuelnya’ dengan judul mirip. Beberapa cerita menyuguhi pembaca plot twist yang bisa jadi mengejutkan atau mencengangkan, salah satunya bagi saya ada dalam cerita “Pandangan Pertama Zalaiva”. Kisah tentang gadis yatim piatu yang dibesarkan penuh kasih sayang oleh kakeknya dan impiannya akan cinta sejati.

REVIEW:
    “... kehidupan ini tak selalu memberikan kita pilihan terbaik. Terkadang yang tersisa hanya pilihan-pilihan berikutnya. Orang yang bahagia selalu berpegangan pada pilihan kedua yang terbaik. Melupakan pilihan pertama yang tak pernah bisa kau capai.” (hal. 88)

    “Setidaknya patah hati memberikan sensasi bahwa kita memang masih hidup. Lagipula siapa bilang ditolak cinta itu tidak indah? Itu indah, Bung! Pikirkanlah dari sudut yang berbeda!” (hal. 132)

    “Ya, cinta sejati seperti hantu. Semua orang membicarakannya, tetapi sedikit sekali yang benar-benar pernah melihatnya.”(hal. 182)

    Itulah beberapa kutipan favorit saya yang terdapat dalam buku ini. Bagi saya, sesuai yang dijanjikan dalam blurb, cerita-ceritanya bikin galau, sekaligus mengobati galau, menikam hati sekaligus membalut luka hati, jika saja kita mau menelaah lapis hikmah yang terkandung dalam setiap cerita. Beberapa kisah terasa amat nyata karena dekat dengan kejadian dalam keseharian kita. Beberapa yang lain seolah jauh dari masa lampau tapi memiliki kemiripan dengan kisah-kisah di masa kini. Beberapa lagi bernuansa fiksi ilmian dari masa depan yang seakan diprediksi mungkin sekali terjadi bertahun ke depan nanti, tapi pesannya tetap relevan dengan kisah kita di masa kini. Ada kisah bahagia dan lucu, mampu membuat saya tersenyum bahkan tertawa lebar. Tapi ada pula yang bisa membuat menitikkan air mata atau merasa ikut patah hati. Dan ada cerita yang akhirnya tak saya duga, kadang petunjuknya luput dari perhatian.

    Sudut pandang penceritaan yang digunakan berbeda-beda di tiap judul, dan menurut saya semuanya tepat sasaran. Emosi yang ingin ditularkan dari para tokoh dan konflik mereka tersampaikan. Detail deskripsi seting maupun penyuguhan konflik dan ending  memuaskan, narasi asyik, penokohannya apik, tentu saja dalam porsi cerita pendek.

Bacaan ringan yang bisa jadi tak butuh waktu lama untuk ditamatkan, tapi akan meninggalkan jejak kesan yang kuat bahkan lama sesudah kita menutup buku. Menghibur sekaligus bikin mikir. Khas seorang Tere Liye yang selalu menonjolkan pesan moral dalam karya-karyanya. Bagi penyuka novel, bolehlah sesekali kamu beralih bacaan semacam kumpulan cerita ini. Akan memberikan sensasi dan pengalaman baca baru dan berbeda atau jadi selingan di tengah timbunan bacaan novelmu. Recommended dan nggak heran jika sudah dicetak ulang berkali-kali hingga sekarang.
   
  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube