Selasa, 27 Februari 2018

Among the Pink Poppies: Ketidakjujuran Tak Pernah Berujung Membahagiakan

Posted by Menukil Aksara | 11:32:00 AM Categories:
Judul buku     : Among the Pink Poppies
Penulis           : K. Fischer
Penyunting      : Shara Yosevina
Penerbit          : Bhuana Sastra (BIP Gramedia)
Tebal buku      : 551 hlm
Cetakan          : pertama, 2017

BLURB:
    Saras bertemu gadis kecil bernama Amelia di tempatnya bekerja di pusat teknologi kota Linz, Austria. Ibunya Amelia sudah meninggal dunia. Saras terenyuh dan ingin berteman dengan Amelia dan paman merangkap ayah asuhnya, Jonas. Mereka jadi sering bertemu. Saras mulai meyayangi Amelia, bahkan ia semakin dekat dengan Jonas hingga keduanya jatuh cinta.

    Sementara di Jakarta, ibunya yang diktator sudah mempunyai calon suami untuk Saras. Ketika mengetahui tentang hubungannya dengan Amelia dan Jonas, ibunya dan seluruh keluarganya langsung memojokkan Saras. Dengan semakin bertambahnya konflik baik antara Saras dan keluarganya, maupun dengan ‘keluarga baru’ di Austria, ia mulai belajar untuk mengambil keputusan secara dewasa.

SINOPSIS:
    “Saras berdiri menatap kota Linz yang tertidur di kegelapan malam. Bahkan kota ini mampu mengubah nasibnya. Dari kota penuh barak budak perang menjadi kota pusat teknologi yang disegani. Mengapa ia yang merdeka, membiarkan dirinya terjajah orang lain?” (hlm. 6)

    “Sekolah, kerja, menikah, punya anak, jadi tua,meninggal. Sudah. Hanya itukah arti hidupku?” (hlm. 475)

    Saras adalah warga negara Indonesia yang melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi di Linz, Austria, lantas bekerja di pusat teknologi kota itu, Ars Electronica. Dia tinggal sendiri, jauh dari keluarganya di Jakarta. Saras adalah bungsu dari lima bersaudara, di mana keempat kakaknya sudah menikah. Ayahnya seorang pebisnis yang supersibuk, amat jarang bicara dari hati ke hati dengan anak-anaknya. Sedangkan ibunya yang merupakan anak tunggal di keluarganya sangat suka mengatur segala urusan, sehingga menjadi sosok ibu yang diktator. Eyang—ibu dari ibunda Saras masih hidup, meskipun kesehatannya mulai menurun dan hanya mampu berbaring di tempat tidur. Setiap hari Minggu, semua keluarga wajib berkumpul di rumah sang ibu, termasuk Saras yang wajib ‘hadir’ via sambungan Skype. Pertemuan wajib yang menurut Saras sama sekali tidak efisien, karena masing-masing anggota keluarga toh sibuk dengan urusannya. Hanya kepada sang eyanglah Saras senang bercengkerama dan mengabarkan setiap detail perkembangan kehidupannya di Linz.

    Suatu hari, ketika memimpin workshop untuk sebuah taman kanak-kanak di tempatnya bekerja, Saras bertemu Amelia. Bermula dari niat baik, saat Amelia merajuk ingin berkomunikasi dengan ibunya yang sudah meninggal lewat robot Telenoid, Saras pun melakukan sebuah ‘kebohongan kecil’. Ketika seorang rekan kerja memintanya meminta maaf dan meluruskan kesalahpahaman, Saras justru berujung berkenalan dengan Amelia dan paman sekaligus ayah asuhnya, Jonas, di trem yang sehari-hari menjadi kendaraan tumpangannya. Perkenalan itu lambat-laun mendekatkan Saras dengan keduanya, hingga tak disadari ia sudah jatuh hati. Amelia dan Jonas memiliki sahabat, sebuah keluarga kecil: Sigi, Lisa, dan anak mereka yang seumuran dengan Amelia bernama Leoni. Sahabat keluarga ini pun menerima Saras dengan hangat. Lewat keakraban ini Saras mengetahui beberapa rahasia dan permasalahan keluarga Amelia, termasuk bagaimana kisah mendiang ibunya, Babsi, dengan ayah kandungnya Florian yang belum pernah dijumpai. Saras juga jadi tahu bahwa selain bekerja di perusahaan kayu milik Sigi, Jonas yang dulunya seorang koki profesional sukses di Amerika Serikat juga sedang merintis usaha restoran sendiri.

    Di lain pihak, ibundanya semakin gencar menjodohkan Saras dengan Roi, yang notabene merupakan anak dari teman baik sekaligus rekan bisnis keluarganya. Ibunda Saras bahkan mengatur sedemikian rupa hingga Roi mampir ke Linz untuk bertemu Saras. Dari pertemuan singkat inilah Saras menyadari bahwa Roi yang dikenalnya semenjak sekolah tak benar-benar berubah. Ia tetap tak mendapatkan ketertarikan apalagi rasa suka pada Roi. Ketika mencurahkan isi hati pada eyangnya, Saras juga memohon bantuan untuk membujuk ibunya membatalkan rencana perjodohan. Tapi keinginan tak selalu sejalan sesuai rencana. Eyangnya meninggal tiba-tiba, membuat Saras terpukul dan sangat kehilangan. Puncaknya, ibunya yang mencium gelagat tak menyenangkan dari Saras mengultimatumnya untuk segera pulang. Namun kepulangannya yang sempat ditunda-tunda pun tak membuahkan hasil positif. Saras justru sakit hati dan merasa disudutkan. Giliran ibundanya yang mengunjunginya di Linz, bersama kakak-kakaknya dengan niatan buruk mempermalukan Saras di depan Jonas.

    Ketika konflik keluarga Saras memanas, Jonas yang tak tahu menahu merasa sangat kecewa setelah Saras pada akhirnya mengungkapkan secara jujur. Apalagi, kala itu Jonas sendiri sedang tertekan memikirkan gugatan permohonan hak asuh Amelia dari Florian yang mendadak muncul. Seiring waktu berjalan, Saras mendapatkan rencana menyelesaikan pertikaiannya dengan sang ibu, dan Jonas perlahan menyadari bahwa Saras tak sepenuhnya bersalah. Namun, perkara Telenoid yang sempat tak diselesaikan Saras di masa lalu membuat keadaan kembali buruk. Di sinilah Saras dituntut bersikap dewasa dan berani jujur atas segala perasaan dan pendapatnya demi kebahagiaannya sendiri.

REVIEW:
    “Banyak orang bersama tapi merasa sendiri...Dua orang bersama seringkali sudah menjadi tantangan tersendiri. Tiga orang bersama bahagia, itu karunia.” (hlm. 292)

    “Jangan takut keluar dari dunia kita, yang penting kita tahu siapa yang kita hadapi.” (hlm. 331)

    “Sesuatu yang indah butuh proses, tapi itu tugas kita, membuat proses itu, sehingga yang indah menjadi kenyataan.” (hlm. 520)

    “Sekarang aku tahu, selama ini, aku membiarkan diriku tidak bahagia karena aku tidak berani jujur.” (hlm. 544)  

    Kutipan-kutipannya nggak melulu tentang cinta, kan? Justru kebanyakan menyentil tentang pilihan-pilihan yang kita ambil dalam kehidupan. Itu salah satu poin plus penting dari novel ini juga. Mengangkat tema keluarga, sebagai nilai tambahan, penulis menggabungkan dua keluarga beda budaya, beda benua sebagai fokus cerita. Menurut saya ini sebuah tantangan.

    Dikisahkan menggunakan sudut pandang orang ketiga, menurut saya pilihan POV ini sudah cukup tepat. Saya tetap dapat ikut merasakan pergulatan batin yang dirasakan Saras, meskipun bukan dikisahkan lewat sudut pandangnya. Kehadiran tokoh kanak-kanak seperti Amelia dan Leoni pun mencerahkan suasana, sehingga cerita tidak monoton konflik orang dewasa yang rumit. Kadang adegan dan perkataan Amelia pun mampu mengaduk-aduk perasaan juga meskipun terkesan polos. Jika ditanya siapa karakter protagonis favorit, selain Amelia, saya rasa Jonas patut disukai. Sosoknya yang good looking, seorang chef, dewasa, dan penyayang, memang tipikal yang akan mudah disukai pembaca. Jonas juga digambarkan memiliki sisi manusiawi, di mana dia bisa tersinggung ketika harga dirinya dilukai dan dibohongi. Ini membuatnya tak seperti malaikat yang sempurna. Sedangkan Saras, tipikal perempuan muda cerdas kebanyakan, yang selalu serbasalah di mata ibunya. Saya bisa memahami dan bersimpati atas posisinya, walaupun mau tak mau dia juga kerap membuat saya gemas karena tidak berani bersikap jujur dan tegas. Tapi penulis berhasil menggambarkan perkembangan karakternya dengan baik. Sedangkan sosok ibunda Saras menjadi sosok ibu diktator yang sangat menyebalkan. Cara berpikir dan bersikapnya mengundang amarah karena kelewatan dalam memandang rendah orang lain dan tak mau menerima masukan. Penulis tak lupa memberikan latar belakang yang logis atas karakter sulit sang ibu ini.

    Seting Linz pun sangat baik dideskripsikan. Sejalan dengan rentang waktu kisah yang cukup lama, terdapat ruang luas untuk memasukkan poin-poin deskripsi, semacam street food dan street art festival, hingga event Klangwolke, sisipan sejarah dan kuliner kota, hingga beberapa seting tempat yang bersifat personal seperti ladang pink poppies, restoran Yon, dan rumah pengintaian berburu. Semuanya manis, membuat saya ingin sekali merasakan berada di sana. Momen-momen indah maupun sedihnya juga sangat terasa dengan detail yang disajikan.

    Konflik cerita terbilang rumit. Melibatkan masalah personal, hukum, maupun keluarga. Mampu bikin saya ikut gondok, geregetan, sedih, namun juga tersenyum. Penulis memberikan penyelesaian konflik yang memuaskan, logis, dan bisa saya terima.

Awalnya saya cukup tercengang mendapati jumlah halaman buku yang terbilang tebal, apalagi untuk ukuran novel bergenre romance-family drama. Sempat terbersit, apakah akan membosankan atau terlampau ‘drama’ konfliknya? Dan nyatanya saya menikmati dan ikut merasa jatuh cinta pada kota Linz, pada keluarga Sigi, pada si kecil Amelia, dan kisah cinta Saras-Jonas. Novel karya penulis Indonesia yang layak banget dibaca dan direkomendasikan. Terutama jika kamu penyuka kisah cinta beda budaya dengan pernak-pernik rintangannya.

0 komentar:

Posting Komentar

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube