Selasa, 06 Maret 2018

Soulmate in Samarkand: Pencarian Cinta Sejati dan Jati Diri

Posted by Menukil Aksara | 1:35:00 PM Categories:
Judul buku                : Soulmate in Samarkand
Penulis                      : Astrid Tito & El Devi
Editor                       : Birulaut
Penerbit                    : RDM Publishers
Tahun terbit               : Februari, 2018, cetakan pertama
Tebal buku                : 233 hlm.

BLURB:
    Wanita cantik itu membuka syal yang melingkari leher jenjangnya. Ia memperlihatkan tato barunya. Gambar dua sayap dengan nama Wangsa Cahaya terpatri di lambang itu. Gambar abadi itu ia sematkan dengan cinta di kulitnya yang seputih susu.

    Tapi ekspresi Wangsa justru di luar dugaan. Ingatan Wangsa malah tertarik seutuhnya pada pesan sang paman. “Pasangan jiwamu sangat cantik. Ia akan melindungimu dengan ‘sayap’nya.” Apakah Caroline, wanita di hadapannya-lah yang ditakdirkan menjadi pasangan jiwanya? Seperti tato bergambar sayap itu?

    “It’s my first tattoo, My first love. Aku sengaja menaruhnya di leher, agar kamu begitu dekat. Aku yakin, Daddy pasti mengizinkan hubungan kita sampai kita menikah.” Ucap Caroline lagi. Namun perjalanan Wangsa ke Samarkand mengubah segalanya.

    Di bumi Uzbekistan itu ia terpesona dengan Nicol, street musician cerdas. Jatuh hati pada Zilola, wanita sexy yang kaya raya. Serta takluk pada Amaranggana, wanita cantik dan gesit, namun bisu dan tuli.

    Lalu, siapakah pasangan jiwa Wangsa yang sebenarnya? Ini bukan sekedar kisah pencarian pasangan jiwa. Ini adalah kisah pencarian cinta sejati dan jati diri.

Sinopsis:
    “Apa yang telah terjadi adalah takdir-Nya. Badai datang, maka pepohonan akan memperkuat akarnya.” (hlm. 126)

    “Semua bayi harus jatuh dulu sebelum bisa benar-benar berdiri.” (hlm. 159)

    Wangsa Cahaya yatim piatu semenjak kanak-kanak. Dia tumbuh besar bersama pamannya, Wangsa Cakra yang sekaligus mengajarinya ilmu beladiri pencak silat. Sebenarnya, Wangsa adalah nama klan keluarga dan anggota keluarga yang lain disapa dengan nama kedua, kecuali Wangsa Cahaya yang disapa Wangsa. Menginjak remaja, Wangsa menuai berbagai prestasi sebagai atlet pencak silat nasional, bahkan di kompetisi tingkat internasional. Namun, Wangsa tak puas, apalagi ketika merasa negara kurang mengapresiasi profesi atlet. Dia pun memutuskan berpindah kewarganegaraan dan mencoba peruntungan sebagai stuntman dalam film-film Hollywood lewat seorang relasi. Itu pun tak terlampau lama, ketika dia tergiur tawaran seorang konglomerat Indonesia untuk menjadi bodyguard putri kesayangannya yang seorang supermodel dengan bayaran sangat tinggi. 

Kemewahan hidup melenakan Wangsa dari aturan-aturan agama, demikian juga kedekatannya dengan putri sang konglomerat, Caroline. Ia nyaris melamar Caroline, ketika gadis cantik itu menunjukkan tato bergambar sayap dengan ukiran nama Wangsa di bagian tubuhnya. Wangsa mendadak teringat pernyataan Paman Cakra, menyusul kabar mengejutkan mengenai sang paman yang terbaring di ruang intensif sebuah rumah sakit. Yang lebih menyesakkan, Paman Cakra kemudian meninggal secara tragis tanpa Wangsa ketahui dengan pasti penyebabnya. Berbekal wasiat sang paman untuk menyerahkan sebuah plakat kepada Wangsatanu Sulaymanov di Samarkand, bertolaklah Wangsa ke bumi Uzbekistan, meninggalkan Caroline yang mendendam.

Baru menjejakkan kaki di Samarkand, Wangsa berkenalan dengan Zilola, seorang gadis cantik kaya raya dalam sebuah insiden. Ketika akhirnya berhasil menemukan perguruan di mana Wangsatanu Sulaymanov berada, Wangsa justru dibuat bingung dengan sebuah pertanyaan sederhana yang dilontarkan, namun tak mampu dijawab dengan benar. Begitu juga dua laki-laki dan seorang perempuan yang sempat menyerangnya tiba-tiba di perguruan. Merasa dipermainkan, Wangsa pun pergi sebelum sempat menyerahkan plakat.
Selepas itu, Wangsa bertemu seorang seniman jalanan cerdas yang mengaku bernama Nicol. Tak disangka, Wangsa kehilangan segala harta benda sesudah kebersamaan singkat dengan Nicol, diikuti perkenalan dengan Boris dan Levi, yang menambah masalah. Wangsa pun terlunta-lunta di jalanan, hingga di titik terendahnya tiga orang dari perguruan Sulaymanov yang pernah beradu fisik dengannya menemukan dan menolong. Temur Bek, Ammer de La Ray, dan Amaranggana, mereka ternyata murid-murid Wangsatanu Sulaymanov. Seiring waktu, Wangsa mulai berbaur dan berguru di perguruan Sulaymanov. Bahkan dia memiiki ketertarikan pada Amara, gadis bisu tuli misterius yang selalu bersarung tangan hitam, berilmu beladiri tinggi dan berpakaian ala ninja namun berhati emas.

Hingga sebuah pemaparan tentang jati diri Wangsatanu Sulaymanov, latar belakang Klan Wangsa yang berseteru dengan Klan Hassis, juga rencana perjodohan Wangsa dengan Amara, membuat Wangsa  tak bisa menerima begitu saja. Dia memilih menjauhkan diri sementara waktu ke Tashkent, di mana dia kembali berjumpa Zilola. Tapi kehadiran Levi dan terbongkarnya kedok Zilola dan Levi, menyusul sebuah pertarungan sengit memaksa Wangsa kembali ke perguruan Sulaymanov dalam kondisi fisik yang tak lagi sempurna. Wangsa nyaris putus asa karena tak bisa menerima takdir-Nya. Sedangkan Amara, Temmur, dan Ammer terus berusaha membangkitkan kembali semangat hidup dan menyadarkan Wangsa. Hingga suatu hari, terungkaplah rahasia masa kecil Wangsa yang berkaitan dengan Amara. Wangsa pun harus memilih, apakah melanjutkan perjuangan keluarga untuk membasmi mafia besar Klan Hassis atau kembali ke kehidupan lamanya yang bergelimang harta dan akrab dengan maksiat.

REVIEW:
    “Hidup memang permainan semata. Tapi bukan untuk dimain-mainkan... “ (hlm. 146)

    “... Setiap tekanan, setiap kesedihan dan setiap kekecewaan yang diberikan-Nya, sama sekali bukan untuk melemahkan dan menghancurkan manusia. Sebaliknya, malah membuat kita lebih kuat. Tekanan semakin besar, maka kekuatan semakin besar. Akhirnya akan menghancurkan semua batu dalam hidup.” (hlm. 203)

    Mengenai karakter tokoh utama, Wangsa Cahaya, saya antara tidak suka dengan bersimpati atas perjalanan hidupnya. Dia sosok yang lemah bila menyangkut harta dan perempuan cantik. Fisiknya yang rupawan, dibekali kemampuan beladiri memang logis menjadi ujian bagi dirinya sendiri maupun para wanita. Tapi perkembangan karakternya menjadi fokus dan pesan moral utama cerita sehingga bisa saya terima. Saya suka dengan sosok Paman Cakra dan Kakek Sulaymanov yang bijak dan meletakkan pondasi prinsip bagi Wangsa, meski seringkali dilanggar juga, hehe... Dan, tokoh yang paling favorit tentu saja Amara, gadis dengan penampilan tak biasa, mampu mengubah kekurangannya menjadi kelebihan. Karakter perempuan yang kuat.

    Seting di beberapa kota, Jakarta, Sumedang, Singapore city, hingga Tashkent dan Samarkand jelas menarik. Pilihan POV orang ketiga pun membuat penulis leluasa mendeskripsikan detail seting, beserta nuansa religi, sejarah, budaya, dan kuliner yang menyatu dengan plot cerita. Karena salah satu penulis pernah berkunjung ke bumi Uzbekistan, menurut saya ‘rasa’ yang disisipkan menjadi poin plus. 

    Alur cerita cepat, menggunakan campuran alur maju-mundur dengan jalinan plot yang cukup kompleks. Ibarat kepingan puzzle yang harus saya satukan satu per satu untuk menyusun gambaran utuh cerita yang menarik. Alur cepat ini selain jadi poin plus, berisiko juga sebenarnya, terutama bisa jadi membuat pembaca kurang terikat dengan emosi tokoh. Di momen sedih, misalnya, kadang terasa cepat lewat dan kurang gereget. Meski saya turut merasa sangat gemas setiap kali Wangsa diberi ujian hidup, lantas harus disemangati dan disadarkan orang-orang terdekat. Memang bandel sih, ya, Wangsa ini, hehe...

    Diksi yang digunakan mudah dipahami, dialognya natural dengan sedikit unsur bahasa asing sesuai karakter tokoh. Hanya saja, saya masih mendapati typo, kesalahan ejaan, dan kalimat-kalimat yang menurut saya bisa lebih efektif. Deskripsi seting maupun karakter tokoh juga seharusnya bisa lebih ‘showing’ ketimbang ‘telling’.

    Secara keseluruhan, novel ini bertema dan berpremis menarik, menawarkan petualangan dan aksi membasmi mafia narkoba yang seru. Pesan moral bagus, beberapa di antaranya mengutip ayat dan hadits. Ending-nya juga logis dan bisa saya terima. Recommended bagi para pembaca penyuka genre religi dengan sentuhan yang beda dan kadar romance yang tidak dominan.

0 komentar:

Posting Komentar

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube